(Dimuat di Koran Pantura, Kamis, 3 Maret 2016)
Selama menghasilkan uang, segala yang kukerjakan bukanlah soal. Memang betul, duduk-duduk di teras sehabis lari pagi, atau main di pemancingan dari jam sepuluh pagi sampai menjelang ashar, atau sekadar menggelosor di ruang tengah yang ada TV-nya selama seharian penuh lebih tepat dianggap kerjaan orang yang tidak punya kerjaan alias kerjaan pengangguran kelas berat. Tapi, kalau aku tetap menghasilkan uang, meski dengan cara yang kelihatan pemalas, apakah masalah?
Hei, Bung! Di zaman serba susah, yang demikian tolong abaikan. Maksudku, soal menjadi 'terlihat rajin walau maling' atau 'terlihat mandi keringat padahal bukan'.
Mertuaku dulu teryakinkan bahwa aku, calon menantunya, bisa membuat anaknya bahagia dengan pekerjaan kantoran—atau pegawai negeri; tak peduli tak jelas apa yang kukerjakan di ruangku atau tak peduli gajiku bukan hasil benar-benar memeras keringat. Aku hafal tabiat-tabiat macam itu; kau mungkin benar soal lain-lain yang mertuaku saat itu ajukan, seperti: "Apa kerja bapakmu, Le?"
Tentu saja kujawab dengan tidak sejujurnya: pensiunan polisi.
Sebelumnya kutegaskan dulu biar kau tidak salah paham dan anggap aku hanyalah satu dari sekian banyak cecunguk sialan yang mencoba menipu sebuah keluarga, demi mendapatkan keperawanan anak gadis mereka yang aduhai cantik bukan main. Ini tidak sesimpel itu. Yang perlu kutegaskan adalah aku memang mencintai anak gadis itu.
Sarmila namanya. Kalau dilihat dari dekat persis artis sinetron. Dan kalau dari jauh, mirip bidadari; sayap tumbuh di punggung dan aroma tubuh menebar wangi yang amat menggoda. Tapi bisa juga—di waktu tak terduga—Sarmila sangat dekat dengan nenek sihir, sedekat adik perempuanmu waktu bercermin dan si adik itu menemukan jerawat di jidatnya padahal hari itu ada acara reuni teman SMP.
Keadaan ini terjadi bila Sarmila marah karena menangkap basah diriku berbalas SMS dengan perempuan lain. Biasanya ia akan rampas ponselku dan membantingnya dan menyuruhku beli lagi—karena setahu dia kerjaanku menghasilkan uang yang sangat banyak. Kemudian disambung dengan Sarmila yang mengubah wujud jadi nenek sihir dan siap mengutukku jadi apa saja, termasuk jadi presiden. Kau tahu, di sini, menjadi presiden sangat tidak enak. Dan aku sangat tidak suka menjadi presiden—Sarmila tahu itu.
Tapi, aku tidak selingkuh, Manis, kataku padanya. Lalu kujelaskan dengan detail bahwa itu SMS hanya soal bisnis saja dan kamu jangan cemburuan. Sejujurnya senang juga kalau dia cemburu, karena itu tanda Sarmila cinta padaku. Begitulah cara kami menjaga cinta. Saling percaya dan setia, walau aku tak selamanya bisa dipercaya. Kami pacaran kira-kira lima tahun dan tak satu pun ada perselingkuhan.
Masalah kami hanyalah saat ada beberapa orang iri karena katanya aku tidak cocok jadi pacar Sarmila. Katanya, kamu jelek. Atau pakai dukun mana sih? Semacam itulah. Sakit hati juga aku. Tidak kututurkan semua di sini karena aku malu. Kau jangan ketawa. Ini memang benar terjadi. Suatu hari seorang pengemis datang kepada kami (waktu itu aku dan Sarmila lagi piknik di suatu taman). Ketika gadisku memberi uang sepuluh ribu padanya, pengemis itu bilang, "Saya doakan Mbak bisa segera lepas dari pengaruh pelet dan semacamnya." Benar-benar asu. Cinta Sarmila padaku disepelekan dengan dugaan rendah macam itu, dan itu dihargai sebesar sepuluh ribu rupiah!
Aku sendiri sadar mukaku tidak terlalu ganteng, bahkan berpotensi tak bakal kawin sampai mati padahal sudah berumur seratus dua puluh tahun. Sedangkan Sarmila, wah, jangan ditanya. Perempuan-perempuan lain banyak yang tidak suka dan memusuhinya hanya karena ia kelewat cantik; dianggap bisa merusak hubungan mereka dengan para pacarnya.
Bagaimana aku mengenal Sarmila dan akhirnya bisa menjadi suaminya?
Kami kenalan di sebuah mini market yang letaknya tidak jauh dari gang rumahnya. Aku tidak perlu jelaskan mini market apa itu dan alamat pastinya di mana, karena hal itu di dalam cerita ini tidak berpengaruh banyak. Kebetulan ketika itu aku sedang main ke rumah temanku yang ternyata tetangga Sarmila. Rencananya mau begadang dan main di karaoke plus-plus yang juga terletak tidak jauh dari rumah mereka (sepertinya rumah gadisku ini tidak jauh dari mana-mana, kecuali istana presiden). Aku terpaksa menginap beberapa malam, setelah sehari sebelumnya bersenang-senang minum bir dan menyewa pelacur dan karena kelelahan, aku berniat langsung pulang. Kondisi darurat. Bapakku tiba-tiba telepon dan mengancam mau membunuhku. Tahu soal apa? Duit empat puluh juta. Duit itu hilang dari brankas Bapak. Memang aku yang mencuri, tetapi tentu saja aku tidak mengaku.
Selama masa menginap ini aku sering beli jajanan di mini market tersebut. Suatu hari, Sarmila dan aku antre. Dia di depan, aku di belakang. Dan aku merasa darahku berdesiran. Jujur saja, waktu itu kukira dia betul-betul bidadari yang datang dan bilang padaku, "Wahai, Mudakir, kamu jangan takut karena bapakmu sudah mati kelindas truk tadi sore." Tapi sayang dia tidak menoleh dan mengucapkan kalimat itu dan lantas menciumku dengan mesra, melainkan langsung berlalu. Si kasir grogi waktu kudesak agar cepat-cepat menghitung totalku. Selesai bayar jajan yang kubeli, kukejar gadis itu. Dia masuk gang. Kukejar terus sampai dia tiba di terasnya yang penuh sesak oleh pot berbagai jenis bunga. Kusapa, hai! Dia menoleh dan hari itu kami kenalan. Tidak ada yang sulit bagiku mengajak kenalan cewek dan minta nomor hape-nya. Semua berjalan begitu saja seperti air mengalir. Dua bulan kemudian kami resmi pacaran.
Setelah menikah, mertuaku yang tadinya suka nyengir tidak jelas seperti orang tidak genap di depanku—barangkali berpikir bahwa aku menantu yang bisa diandalkan dari segi materi, yang tentu saja membuatnya juga berpikir aku bisa diperas, sehingga tindakan nyengir tadi adalah upaya mencuri hati—berubah jadi sangat galak. Pasalnya, Sarmila telanjur tidak perawan (karena kami nikah dan malam pertama sudah lewat) dan ia tahu aku cuma sering duduk-duduk di teras, di tempat pemancingan, atau selonjoran di depan TV seharian penuh, bukan kerja di kantor-kantor.
"Laki-laki kok pemalas. Tidak ada harganya!" sindirnya. Namun demikian, ia tetap terima uang bulanan dariku yang sengaja kujatah tidak lebih dari sejuta—itu jauh dari cukup, karena bapaknya Sarmila sendiri suka memeras anak-anaknya yang lain.
Selama menghasilkan uang, segala yang kukerjakan bukanlah soal. Memang betul, aku bisa santai kapan pun dan di mana pun kumau. Aku bahkan bisa bebas memilih hari liburan bersama Sarmila dan tentu saja kami keluarga muda yang bahagia. Tapi, sekali lagi, apakah masalah bila dengan segala yang kukerjakan itu, aku masih menghasilkan uang?
Orang mencibir, aku pasti bergabung di komplotan Ninja Ireng (bukan nama asli), yakni sebuah geng beranggotakan belasan mantan napi yang semuanya anti-insaf. Bagi mereka, keinsafan itu banci. Dan laki-laki tidak seharusnya banci. Maka begitulah, geng itu merajalela di kota kami, sebuah kota yang sengaja kurahasiakan dan letaknya sangat jauh dari istana presiden. Setiap malam operasi; keluar diam-diam dan pulangnya juga diam-diam. Hampir mendekati jelangkung, tetapi masih perlu buang hajat bila perut sakit, karena mereka manusia, bukan hantu atau siluman. Aku sangat tahu kelompok ini dan aku sering mewanti-wanti orang-orang di sekitarku agar berhati-hati saja bila punya barang berharga.
Tapi peringatanku malah membuatku digosipi. Tetangga-tetanggaku mengira aku seperti anggota Ninja Ireng, yang keluar malam hari secara rahasia dan kembali subuh hari dengan segepok uang. Korbannya tak ada yang melarat; semua konglomerat dan kalau beli sabuk saja kudu naik pesawat dulu. Memang harusnya begitu; tak mungkin menyatroni rumah orang miskin lalu pulang membawa uang banyak, bukan? Kau hanya mungkin menang bila para korbanmu adalah orang-orang yang menegakkan wajahnya seakan dunia milik mereka saja.
Barangkali karena prinsip itu tetangga pikir aku terlibat geng Ninja Ireng. Soalnya sehari-hari aku menghormati orang miskin. Aku juga bersahaja dan santai dan bahkan cenderung anti-duniawi. Uangku juga tiada habis dipakai keperluan ini-itu, dikirimkan ke mertuaku, juga bapakku sendiri yang memaafkanku karena uang puluhan juta yang kucolong dulu kukembalikan. Tidak cuma itu, aku juga sering dimintai sumbangan RT, RW, kelurahan, dan lain-lain. Aku tidak pelit tapi uangku tidak pernah habis.
Sayangnya mereka salah. Mertuaku juga sempat mikir bahwa aku terlibat geng itu dan mendesak Sarmila biar mengerahkan segala tenaga, daya, dan upaya sebagai seekor bidadari agar mampu bikin aku, suaminya yang tidak terlalu ganteng ini, sembuh dari penyakit mbajing. Istriku tentu tidak ambil pusing dan justru membelaku habis-habisan karena ia bahagia dan tidak mau hidupnya rusak hanya karena rasa tidak percaya. Kalau dulu ia jadi nenek sihir karena cemburu padaku, kini dia jadi nenek sihir (bagi bapaknya) karena dicurigai makan uang dari anggota geng musuh abadi masyarakat sebuah kota yang—baiklah, sekali lagi kuulang—dekat dari mana pun kecuali istana presiden!
"Mas Mudakir ini suami yang jujur dan baik, Pak! Bapak jangan tega begitu nuduh sembarangan!" kata-kata itu meluncur dari bibir Sarmila bagai air hangat yang bikin cair hati mertuaku lagi.
Maka, kehidupan kami kembali normal.
Aku kembali menikmati rutinitasku, duduk-duduk di teras sehabis lari pagi, atau main di pemancingan dari jam sepuluh pagi sampai menjelang ashar, atau sekadar menggelosor di ruang tengah yang ada TV-nya selama seharian. Dan aku tetap dapat uang.
Bila kau coba bertanya dari mana asal uang itu kalau bukan gabung dengan geng Ninja Ireng, maka sekali saja kuberi tahu dan kau harus pergi sejauh-jauhnya dan jangan kemari, demi keselamatan kita berdua, bahwa uang itu sebenarnya hasil kerja keras anakku. Memang, kadang-kadang seekor tuyul bisa amat manja dan bertingkah persis kanak-kanak. Ninja Ireng? Itu karanganku, Bung! [ ]
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di media lokal dan nasional.
Comments
Post a Comment