Skip to main content

[Cerpen]: "Bung Panu" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Malang Post, Minggu, 21 Februari 2016)

Dalam sehari, saya lihat lelaki itu datang tiga kali. Pertama, jam delapan pagi. Kedua, sehabis zuhur. Terakhir, saat tukang tahu tek lewat dan memukul wajannya dengan ujung spatula: teng, teng, teng. Kalau Anda warga sini, pada saat suara-suara itu muncul, Anda sudah tahu bahwa jarum jam menunjuk angka tujuh dan matahari sudah lama tumbang.
Apa yang dia lakukan, saya tak tahu. Baru dua minggu saya tugas di sini, menjaga kantor cabang salah satu koperasi secara bergantian. Kadang pagi hingga sore, atau pindah shift: dari sore hingga malam. Maka saya tahu bagaimana lelaki itu gusar dan malu-malu duduk di seberang jalan, di bawah pohon jambu di waktu-waktu yang telah saya sebut. Kadang, ia bahkan masuk ke areal parkir dan berdiri canggung selama dua menit.
Saya tidak bisa bertanya pada yang bersangkutan seperti "Ada apa?" atau tuduhan tak mengenakkan: "Anda maling?" Saya tidak sekejam itu dan orang tahu ini prosedur. Sebagai penjaga keamanan, itulah tugas saya. Hanya saja, semua orang tahu lelaki itu tidak waras.

Dari bajunya orang bisa menilai. Saya perhatikan lelaki itu beberapa hari terakhir dan kasihan. Wajah banjir panu mendukung dan meneguhkan posisi lelaki asing itu di mata saya; betapa ia tidak mandi beberapa minggu. Dan barangsiapa betah tidak mandi, saya pikir sudah gila.
"Jangan salah," celetuk tukang tahu tek yang akhirnya bicara juga dengan saya. Ia berhenti di depan kantor dan kebetulan saya jaga malam. Kantor sudah tutup dan lampu teras menyala, sehingga detik itu saya lihat sekilas seringai penjual tahu tek. "Gila-gila begitu, masih lebih baik ketimbang saya."
Saya tidak paham maksudnya, tetapi si penjual tahu bicara panjang lebar soal istri di rumah dan anak-anaknya yang mulai tahu duit dan minta dibelikan sepeda motor. Ia terus cerita sambil sesekali melirik lelaki gila itu, yang duduk di tempatnya sejak lima menit lalu. Ia memandangi kami, atau tepatnya memandangi saya, yang berdiri di depan pintu kantor. Si penjual tahu tek cuek saja.
"Kalau Mas Sapto heran, sini, saya kasih tahu," tuturnya, mengakhiri kisah sang istri yang mulai gemuk dan kusut, "dari dulu Bung Panu memang gitu."
Baru saya tahu lelaki gila itu dipanggil Bung Panu oleh warga sekitar. Suatu nama yang bukan asli, yang diberikan begitu saja setelah orang tahu betapa mencolok ciri khas itu: jamur-jamur di wajahnya seakan bisa matang suatu hari nanti dan bisa dikepul di penjual jamur crispy.
"Saya masih nggak paham," kata saya. "Begitu apanya? Dari dulu itu, dari kapan?"
Maka beginilah suatu kisah luar biasa sampai ke telinga saya dari penjual tahu tek. Tentang lelaki yang setia. Tentang cinta yang jujur. Dan—tentu saja—tentang penantian paling tragis.
***
Bung Panu duduk-duduk di bawah pohon jambu. Ia terus memandangi saya, atau mulai sekarang saya sebut saja memandang kenangan, dengan gusar dan malu-malu. Kalau Anda minta saya jelaskan model kegusaran dan rasa malu itu, sebaiknya Anda bayangkan Anda tertimpa kejadian tak terduga di depan WC umum: perut Anda mulas dan WC itu dipakai orang tua pikun, sedang di dekat Anda ada wanita cantik. Pada saat itu, Anda gusar tidak bisa segera buang hajat, dan Anda malu kalau-kalau kelepasan di celana; apa yang wanita itu pikirkan soal Anda, ya?
Jangan tertawa. Ini tidak lucu. Pada mulanya, saya pikir, memang lucu. Bayangkan, Bung Panu, yang usianya kira-kira nyaris kepala empat ini, berlaku seperti itu di bawah pohon jambu yang sepertinya tidak berbuah sampai kiamat.
Boleh saja pikiran nakal hinggap di kepala kita, lalu menganggap si lelaki itu dari dulu sebenarnya ingin ke koperasi entah demi keperluan apa, tetapi karena malu dan takut dicurigai oleh satpam yang memang biasanya selalu curiga, ia tidak jadi. Ia pun menjadi gila karena perasaan takut dicurigai tadi. Atau begini: dia dipecat karena tidak bisa bekerja dengan baik sebagai satpam di suatu tempat, sehingga ia batal kawin, dan akhirnya menjadi gila. Pada hari ini, terpaksa ia menghabiskan waktu memandangi para satpam di mana-mana—yang kebetulan saya yang ia pandangi dan bayangkan sebagai dirinya.
Tapi, yah, itu hanya imajinasi saya. Bung Panu tidak sekonyol itu. Paling tidak, itu yang dibilang penjual tahu tek. Bung Panu menjadi gila entah dengan cara apa. Pertama pindah ke daerah sini, ia memang tidak waras dan jorok. Dan ia belum punya kebiasaan duduk di bawah pohon jambu sampai enam tahun silam.
Saya ingat-ingat apa yang saya kerjakan saat itu. Kalau saja saya tidak menjawab telepon sepupu enam tahun lalu, yang membawa saya kerja jadi satpam di pabrik di luar kota, sehingga saya cari kerja di dekat kampung halaman istri saya ini, barangkali saya sempat melihat Bung Panu dari awal. Kalau tidak salah hitung—bergantung keakuratan ingatan penjual tahu tek—bahwa hari ini, enam tahun penuh Bung Panu duduk di sana sehari tiga kali: pagi, siang, dan malam. Tanpa libur. Semua demi cinta.
Seorang perempuan, yang tak disebutkan namanya oleh penjual tahu tek—katanya, untuk menjaga agar cerita ini terkesan romantis—kerja di sini ketika itu dan Bung Panu yang gila jatuh cinta. Cerita mengalir ke telinga dan otak saya, sampai saya nyaris selalu membayangkan kunjungan si gila pada pagi hari menjelang koperasi dibuka karena saat itulah beberapa pegawai mulai datang.
Bung Panu tetap duduk di bawah pohon jambu selama berbulan-bulan, dengan raut gusar dan malu, yang tidak disadari seorang pun manusia, seraya mengamati wajah ayu si perempuan saat datang ke tempat kerja. Begitulah ia duduk di bawah pohon jambu setiap menjelang jam tujuh pagi, sampai ada kejadian menimpa si perempuan: terlindas truk persis di depan kantor saat menunggu pacarnya menjemput di sore hari.
Karena Bung Panu tidak ada di lokasi saat kejadian, ia kira besok hingga besoknya lagi pegawai itu tidak datang pukul tujuh kurang. Ia ubah jadwal: menjelang zuhur, siapa tahu masuk siang, mungkin itu yang ia pikir. Sayang sekali, perempuan itu juga tidak ada. Dan tentu saja, koperasi ini harus tutup malam harinya, sehingga kunjungan Bung Panu sama sekali tak masuk akal, sekaligus mengharukan. Sejak saat itu, ia mulai menjajal semua jadwal yang pernah ia pakai.
Siapa tahu, itulah yang kemudian sering orang dengar dari bibir keringnya.
"Siapa tahu..."
Penjual tahu tek menghela napas.
Saya tanyakan bagaimana orang tahu perasaan Bung Panu. Ketika itu ada bocah bertanya kenapa ia duduk di sana di waktu tertentu; ini terjadi setahun setelah kecelakaan. Bung Panu jawab, ia lihat perempuan berparas seperti bidadari, yang rambutnya persis ekor kuda. Dan ia rindu serta mau tahu di mana kira-kira orang yang akan dia jadikan istri itu berada. Sampai saat itu memang tidak ada satu pun pegawai yang rambutnya dikuncir kuda. Dan orang pun tahu alasan Bung Panu: menanti kekasih impian tanpa pernah tahu kematiannya.
***
Saya tidak percaya. Tapi, otak paling dangkal sekalipun pasti tahu apa yang polos sebagaimana bocah TK melihat becak sebagai pesawat terbang. Saya tidak bilang Bung Panu dangkal; ia gila, tetapi saya tidak berhak meledeknya, 'kan? Saya hanya bilang, apa mungkin kegilaan membuat orang mencintai begitu dalam? Ini bukan film atau opera sabun.
Penjual tahu tek membandingkan dirinya dan Bung Panu bukan tanpa sebab. Saya tahu ini lumayan aneh dan sepertinya—kalau saya tidak percaya cerita ini—saya juga akan menertawakan diri sendiri, karena ternyata orang gila juga bisa jualan tahu tek!
"Mas Sapto nggak tahu, gimana rasanya diomeli istri setiap hari?" tutur si penjual tahu malam itu. "Saya sering. Tapi saya nggak mau cerai. Anak-anak malah rusak. Hari ini saja minta dibelikan sepeda motor, padahal masih SD. Buat apa motor, kata saya. Eh, mereka banting-banting piring. Saya bawa mereka ke guru ngaji. Lalu saya marahi istri biar dididik lagi anak-anak kami yang benar, jangan mikir uang melulu. Apa hasilnya? Saya lagi yang disalahkan!"
Lalu si penjual tahu tek menyinggung soal tukang jamu di depan terminal. Berkali- kali saya ditanya, "Mas tahu, nggak, yang di pipinya ada tahi lalat itu?" Saya tetap tidak tahu, karena saya orang baru di sini dan belum sering keluar. Penjual tahu tek masih memaksa saya untuk tahu, mungkin suatu hari, meski bukan malam itu, bahwa tukang jamu cantik itu istri keduanya.
"Itulah kenapa saya bilang Bung Panu lebih baik dari saya, Mas."
Sampai saat ini, Bung Panu masih duduk di bawah pohonnya. Ia terus memandangi saya, atau katakanlah memandang kenangan, dengan gusar dan malu-malu. Kalau Anda minta saya jelaskan model kegusaran dan rasa malu itu, sebaiknya Anda bayangkan Anda tertimpa kejadian tak terduga di depan WC umum. Atau Anda bayangkan saja Anda kejatuhan tiket masuk ke surga, tapi setan keburu mengambilnya sebelum Anda. Saya rasa, itu analogi paling pas. [ ]
Gempol, 25 Januari - 8 Februari 2016

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri