Skip to main content

[Cerpen]: "Badut di Ujung Gang" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 21 Februari 2016)

Badut di ujung gang itu memikul sebuah karung. Maria, dengan segenap rasa takut, tidak berani lewat karena jalan satu-satunya pulang hanyalah itu. Ambil jalan memutar, tentu memakan waktu lama, lagi pula tidak bisa, karena ia gadis yang suka memakai rok dan tidak terbiasa memanjat tembok.
Jalan memutar itu mengitari sekitar empat belas rumah dalam satu blok dan Maria bisa mencapai sisi lain blok—atau sebut ujung gang yang satunya, tempat rumah besar yang atapnya terlihat dari sini berada—setelah memanjat tembok dusun.
Tembok itu entah kenapa dibangun, tinggi dan kokoh pula, padahal di kawasan sini jarang ada kasus pencurian atau perampokan. Di sini keamanan hampir selalu terjaga oleh kekompakan warganya dan Maria tahu itu. Ia kira, alasan ia dan ibunya beli rumah di sini adalah alasan yang satu itu.

Tapi sungguh, sesosok badut tiba-tiba saja hadir. Tidak ada angin, tidak ada hujan, tidak ada juga perayaan ulang tahun, kenapa harus ada badut? Maria benar-benar benci badut. Sejak SD, baginya badut itu seekor makhluk yang menyeramkan. Ia bisa berupa binatang atau setan atau gabungan keduanya—barangkali disebut siluman?—sehingga jika ada seekor badut di ulang tahun teman atau saudara, Maria lebih memilih pulang.
Sekarang, saat Maria dewasa dan pernah datang bulan dan tentu saja sudah tidak perawan—walau belum menikah resmi dengan laki-laki mana pun, mendadak sesosok badut hadir lagi di hidupnya. Sudah berapa tahun tidak ada badut?
Maria bahagia hidup tanpa badut, atau bebas dari kekangan mental akan hadirnya makhluk yang katanya lucu itu. Bertahun-tahun lewat, tanpa seekor pun badut, semua aman terkendali. Hidupnya bersama sang ibu yang juga penggelut dunia malam, tidak pernah berantakan. Maksudnya, tidak benar-benar terlihat kacau dan berantakan. Tentu saja, semua orang tahu, betapapun berlimpah uang hidup seorang pelacur, jauh di lubuk hatinya pasti merasa hancur.
Maria kira, badut-badut justru keji dan sama sekali tidak lucu. Sering perempuan manis ini bermimpi, seekor badut mungkin baru saja memakan habis tubuh anak kecil; itu terbukti dari betapa merah bibir badut. Selalu.
Coba perhatikan, kapan bibir seekor badut tidak merah—baiklah, mulai sekarang, kita sebut saja 'seekor', bukan 'sesosok'. Ya, seekor. Barangkali bibir seekor badut pernah berwarna hitam, atau sesekali katakanlah biru. Tapi, demi Tuhan, bagi Maria, warna-warna itu tidak lebih dari perwujudan sadis. Merah darah bayi dan anak kecil. Hitam darah manusia lanjut usia. Biru darah siluman.
Tidak menutup kemungkinan kalau darah pelacur juga berwarna hitam. Bukankah pekerjaan ini menuntut diri bercampur aduk dengan ragam jenis lelaki hidung belang? Benar atau tidak demikian, Maria tidak peduli. Yang jelas pikirannya punya gagasan itu dan tidak hilang sampai kapan pun.
Begitupun badut di ujung gang yang memikul sebuah karung ini.
Badut ini berbaju biru dengan celana kuning. Secara keseluruhan amat kusam dan seperti bukan badut ulang tahun. Maria kira rambutnya bukan rambut palsu, tetapi asli. Rambut asli yang tidak pernah dikeramasi sehingga menjadi sangat kaku dan Maria bisa membayangkan alangkah banyak kutunya—dan mungkin saja ulat bulu—dalam rambut itu.
"Mungkin badut pembunuh!" pikir Maria.
Seperti badut-badut yang ada di pikiran Maria, si badut di ujung gang ini bibirnya juga hitam. Begitu kelam dan tegas hitamnya, sehingga pelacur ini yakin betul bahwa si badut sekurang-kurangnya telah menelan tujuh korban yang di antaranya para manusia lanjut usia di sebuah panti jompo dekat sini dan para pelacur di sepanjang bantaran kali yang juga tidak jauh dari kawasan ini.
Maria tahu, memang tidak ada kasus-kasus pelacur atau manula hilang belakangan, yang lantas ditemukan mayatnya di sungai atau selokan pada suatu pagi dengan kondisi tak utuh; mungkin kepala yang hilang, mungkin tangan, mungkin kaki, atau buah dada. Ia tidak pernah dengar atau tidak ada berita semacam itu di kawasan sini. Radius lima kilo dari rumah yang belum lama ia beli, tidak ada kasus kriminal semeresahkan itu.
Tapi badut di ujung gang ini kurang ajar. Kenapa membawa-bawa karung? Karung beras yang kumal dan kotor dan mungkin berisi sesuatu menjijikkan. Sesekali, badut itu menyampirkan karung di pundak kanannya. Lalu, tidak lama dipindah lagi ke pundak kiri, begitu seterusnya. Badut kusam itu seperti sedang menunggu sesuatu dan salah satu tangannya tersembunyi di saku celana yang kedodoran.
Maria bisa melihat itu dengan terang, karena si badut berdiri persis di bawah tiang lampu. Dan tentu saja perempuan ini memiliki waktu yang lumayan lama mengamati si badut dalam bertingkah tidak wajar di ujung gang, karena sebelum memasuki gang, si pelacur mesti lebih dulu menyeberang.
Maria tidak juga menyeberang. Jalan raya sepi dan ia terpaksa berlagak menunggu orang. Harusnya tidak pulang jam sebelas malam, tetapi badannya meriang dan ia butuh istirahat. Maria bebas memilih hari libur karena ia pelacur mandiri, tidak bernaung pada siapa pun, kecuali diri sendiri, serta tentu bertarif di atas rata-rata. Ia 'kan cantik. Dan para pelanggannya terdiri dari bos-bos besar atau teman kuliah yang mengejar sensasi menunggangi bidadari langit ketujuh. Mereka semua berduit dan bisa menjaganya dari omongan tetangga dengan menyewa kamar-kamar di tempat aman yang mahal.
Gara-gara ada badut di ujung gang, Maria menahan diri lebih lama dan ia merasa rugi; sudah libur, tidak dapat uang, menunda janji kencan dengan salah satu costumer royal, kini hendak pulang malah tertahan di seberang gang. Udara malam yang dingin membuat Maria tidak tahan. Dasar laknat. Seekor badut harusnya tidak ada di bumi. Siapa pencipta badut? Siapa bilang badut lucu dan tidak punya rencana-rencana keji terhadap orang lain?
Badut itu mungkin tidak melihat Maria secara langsung, tetapi ia jelas sekali tahu ada seorang perempuan cantik di seberang yang memperhatikannya. Lalu, kalau Maria nekat lewat dalam kondisi lengah, badut itu diam-diam menerkam dan menusuknya. Sesudah itu Maria tidak bisa menyelamatkan diri. Badut itu akan terus menusuk perut dan dadanya berkali-kali sampai lemas dan mati, sehingga bisa dimutilasi atau paling tidak diisap darahnya sampai kering. Bibir hitam itu bakal nempel di leher putih mulus Maria. Sungguh mengerikan.
Si badut barangkali memang sengaja mengesankan tidak peduli ada perempuan di sini, kecuali terus menunjukkan kegalauan akan karungnya dan sesuatu yang lain (badut itu dari tadi seperti cemas menunggu sesuatu entah apa) kepada Maria. Taktik ini biasa dilakukan seorang penjahat agar korban tidak curiga, apalagi ia badut, yang berkostum aneh-aneh sehingga sulit berlari seandainya korban lebih dulu menyadari niat kejinya. Berlari dengan baju badut adalah kecelakaan di arena lawak. Dan siapa pun tahu dalam kasus Maria, jelas tidak ada yang mencoba bercanda.
Maria terus memikirkan kemungkinan itu; bahwa dirinya bisa saja dibunuh kalau nekat maju. Lalu, soal karung. Lampu di atas kepala badut tidak menjelaskan isi karung itu. Maria juga tidak mengendus ada bau tidak sedap di sana, karena jarak mereka masih jauh.
Apa isi karung itu, ya? Mayat bayi? Kepala orang tua? Kaki pelacur? Apa juga isi saku celananya? Pisau? Pistol? Suntikan berisi obat bius? Segala kemungkinan bisa saja terjadi dan inilah yang membuat Maria enggan melewati si badut. Jangankan badut, pria misterius pemikul karung pun—seandainya ada yang semacam itu di ujung gang— Maria tidak berani. Ini malah badut. Sesuatu yang dari dulu Maria benci dan takuti.
Badut busuk, pikir Maria. Badut itu pikir dirinya bodoh? Badut sinting tidak bisa berpikir dan Maria sadar posisinya semakin sulit mengingat badut itu terus bertahan dan ia sendiri juga bertahan di tempat yang sama. Keduanya seperti menunggu momen yang tepat untuk kemenangan dalam pertempuran sunyi.
Maria harus mengambil jalan memutar tadi karena ia cukup lelah. Ia akan berusaha memanjat tembok itu, walau memakai rok. Masa bodoh seandainya ada satu-dua orang penjaga keamanan yang nanti melihat paha mulusnya. Toh ia biasa dilihat-lihat, malah diraba. Lagi pula, malam ini sepi. Dan meski malam ini para penjaga keamanan tidak seperti hilang ditelan setan, Maria juga tetap harus memanjat. Itu lebih baik. Daripada dihadang badut dan dimutilasi dan mati, sehingga ibunya akan hidup sebagai pelacur tua menjelang tidak laku.
Demikianlah, maka Maria menyeberang dan menuju gang lain, memutari gangnya yang diinvasi seekor badut laknat. Satu blok, empat belas rumah kira-kira. Berjalan di malam sepi, diintip seribu hantu, jauh lebih baik daripada melewati badut.
Maria sampai di tembok itu enam atau tujuh menit kemudian. Ia memanjat dengan kondisi rok disingkap sehingga celana dalamnya kelihatan. Tidak ada yang mengintip. Aman. Para penjaga mungkin ketiduran. Dan besok pagi Maria pengen menegur mereka habis-habisan karena kejadian konyol ini.
Maria terus mengomel selagi berusaha mencapai puncak. Badut itu boleh menangis, katanya setiba di puncak. Tapi tidak tertawa, karena badut tadi menunggunya di bawah tembok, dengan kapak dan seringai gila sebagaimana yang selama ini ia lihat dalam mimpi. Dan Maria tahu, para penjaga tidak berkeliling karena mereka terbelalak melihat isi roknya, tanpa kedip, tanpa tubuh, tanpa nyawa, dalam sebuah karung bekas wadah beras. [ ]
Gempol, 14 Februari 2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

  1. *melambaikan tangan*
    kameranya dimanaaaa?!!! o.O

    ReplyDelete
  2. Kadang aku bertanya, pabrik cerpen di otakmuisinya apa mas hehhe

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri