Skip to main content

[Cerpen]: "Tamu Tengah Malam" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Koran Pantura, Jumat, 26 Februari 2016)

Seorang lelaki mengetuk pintu rumahku tengah malam. Bukan tamu biasa, pikirku. Dan memang, dia bukan tamu biasa. Lelaki usia paruh baya, memakai batik lusuh, kopiah beludru, celana hitam pudar, dan sandal jepit yang belum ganti bertahun-tahun.
Tadinya kukira Pak RT, yang entah karena ada kasus perampokan atau kemalingan atau apa pun itu, sehingga butuh membangunkanku dan warga lainnya. Ternyata bukan. Jelas, tidak ada kasus apa pun malam ini karena kampung terasa sangat sepi dan normal.
Aku mengantuk tapi mencoba membuka mata. Tentu dia bukan penjahat. Aku tahu, bagaimanapun seorang penjahat tidak mungkin membangunkan mangsa tengah malam begini. Ini jelas orang bertamu. Siapa dia, aku tidak kenal; aku bisa mengintip dari balik jendela. Tapi, sesuatu yang penting agaknya sedang ia bawa.

Kujawab salamnya dan kubuka pintu. Kupandangi tamu asingku dari ujung kepala hingga kaki. Ia tersenyum, aku juga tersenyum. Agak ragu mempersilakannya duduk di ruang tamu, tetapi dugaan bahwa ia lebih tua dari bapakku (terlihat dari tubuhnya yang bungkuk dan wajah yang selalu menunduk), timbul iba di hatiku. Maka, kupersilakan dia masuk.
"Saya butuh bantuan, Nak," kata lelaki itu, setelah malu-malu duduk di sofaku.
"Apa, Pak?"
Aku mendekatkan kepala ke arah tamuku, meski jarak kami masih terbilang jauh, karena ia di seberang meja sana. Aku masih belum bisa melihat jelas bagaimana wajah tamuku. Ia menunduk dan ragu melanjutkan kalimat. Aneh, aku merasa tamu ini sama sekali tidak jahat, walau dia orang asing. Biasanya bila ada tamu mencurigakan, tidak peduli setua apa, aku langsung melempar curiga.
Barangkali karena tengah malam, suasana sepi di luar sana membuat segala bentuk suara bisa tertangkap dengan mudah oleh telingaku, maka aku bersikap lain. Aku tidak berpikir bahwa orang ini datang tengah malam dan membawa komplotan bajingan yang sembunyi di kebun depan rumah. Kalau benar itu terjadi, aku masih bisa bertindak cepat, misalnya dengan buru-buru menutup pintu dan memukul kepala orang tua ini sampai pingsan. Langkah selanjutnya yang kuambil pastilah menelepon polisi.
Tapi, sekali lagi, tidak ada suara-suara ganjil di luar. Sepi masih meraja dan tamuku akhirnya mengeluarkan sepucuk kertas, yang entah isinya apa. Ia menimbang-nimbang kertas itu, tidak segera menyerahkannya padaku, karena raut malu masih menggantung di sana.
Aku tidak bisa bertindak selain menunggu. Sekarang, setengah hatiku terkungkung rasa curiga; apa benar orang ini bukan penjahat? Tamuku ini masih ragu dan selalu saja menunduk, lalu kini malah terlihat ketakutan. Aku mestinya tegas bersikap dan bertanya ada perlu apa dia kemari sehingga mengganggu tidur orang.
Apa jangan-jangan memang ada sekelompok bajingan di luar sana, yang mengintai rumahku dan lelaki tua ini adalah pengalih perhatian? Belum dua bulan aku dan istri menempati rumah baru ini. Biasanya, rumah baru selalu diincar. Aku tidak tahu benar tidaknya kecurigaanku tapi berharap itu tidak terjadi.
Segala kemungkinan selalu mungkin. Orang tua ini bisa saja pria bengis bertopeng yang menyamar. Kalau benar seperti itu, bajingan-bajingan tengik tadi pasti melompat dan membobol rumahku dari arah samping atau belakang. Kupasang telinga baik-baik dan kutangkap segala bentuk suara dari luar rumah. Masih sepi.
Takut akan kemungkinan buruk, karena aku satu-satunya lelaki dewasa di rumah ini dan istriku tidur bersama bayi kami di kamarnya, aku mengambil sikap. Aku tanya pada tamu ini, apa yang sebenarnya ingin ia tunjukkan? Barangkali aku bisa membantu. Lalu, kutambahkan, agar ia tidak curiga bila memang ia bagian dari komplotan penjahat, bahwa aku akan sangat bahagia bisa membantu orang yang kesusahan.
"Begini, Nak," akhirnya tamu ini mengeluarkan suara. Ia mendongak dan baru kali ini kusadari ia benar-benar sudah renta. Wajahnya amat sangat keriput dan kedua bola mata itu seperti tenggelam dalam sumur, karena saking kurusnya. Bola mata itu seperti bukan bola mata manusia umumnya. Seperti manik-manik yang disematkan begitu saja di ceruk mata. Seperti hiasan di boneka-boneka yang biasa kubeli untuk keponakanku.
"Saya butuh bantuan. Anak saya sakit dan tidak ada ongkos. Saya cari pinjaman ke mana-mana, tapi tidak ada yang peduli. Anak saya sakit berat," lanjut si tamu.
"Memangnya dia sakit apa, Pak?"
"Saya tidak tahu sakit apa itu, tapi kalau tidak diobati, dia bisa mati, Nak."
Tamu itu kembali menunduk dan aku tidak bisa berkata-kata. Aneh sekali. Orang butuh uang untuk mengobati anaknya ke rumah sakit, lalu mencari pinjaman ke mana-mana tapi gagal. Secara logika, ini mungkin masuk akal; yang membuatnya tidak masuk akal adalah bertamu tengah malam.
Aku tidak tahu di mana bapak ini tinggal, dan akan terasa aneh melihat usahanya ini karena ia bukan warga sini. Meski baru menempati rumah ini, sejak kecil kawasan ini jadi tempat bermainku. Tidak jauh dari rumah kami berdiri rumah mertuaku, yang juga tempat tinggal istriku sejak dia masih kecil.
"Bapak tinggal di mana?" tanyaku akhirnya.
Tamuku tidak menjawab. Ia masih memegang kertas yang belum kutahu isinya apa itu. Kertas itu sekarang dipilin-pilin di antara jari jemarinya. Ia menunduk dan terlihat sangat ketakutan. Kutanya sekali lagi, di mana beliau tinggal. Aku tidak bisa membantu kalau tidak tahu secara jelas bagaimana kondisi orang yang akan kubantu.
Lalu ia mengucap terima kasih banyak sebelumnya, karena sudah mengizinkannya masuk kemari. Di luar dingin karena hujan tadi sore. Lagi pula, ia sudah berjalan sangat jauh dari rumahnya. Rumahnya itu entah di kota mana, tetapi yang jelas, ia tidak bilang soal angkutan umum atau bus malam dan semacamnya. Lelaki tua ini hanya bilang, bahwa ia pergi dengan berjalan kaki.
Aku kira orang ini pikun. Mungkin memang benar anaknya sakit dan butuh biaya berobat. Hanya saja, hati lelaki baik ini, sebagai ayah yang sudah pikun, menjadi amat galau. Dengan berbekal keyakinan—hanya keyakinan saja, tanpa ingatan yang baik dan tentu saja tanpa uang—beliau pun berangkat mencari pinjaman uang ke mana-mana, tak tentu arah dan kini tersesat. Kalau benar seperti itu, sungguh kasihan nasib tamuku.
Istriku yang mendenngar obrolan kami terbangun. Ia heran karena ada tamu tidak dikenal datang malam-malam. Tapi, tanpa banyak bicara, kusuruh dia menyuguhkan teh hangat buat kakek ini. Di luar masih sepi dan pikiran soal tamuku yang menyamar dan membawa komplotan bajingan, sudah kubuang jauh. Seandainya benar dia orang jahat, harusnya sudah tadi beraksi. Sekarang pukul dua lewat lima belas dini hari. Dan kami masih berada di posisi yang sama untuk waktu yang terbilang lama bagi para penjahat demi mengulur waktu. Jelas, kakek ini tamu yang membutuhkan bantuan.
Sementara istriku mengaduk teh di dapur, kutanya sekali lagi, di mana si kakek ini tinggal. Ia mendongak dan berkata di suatu tempat dekat sebuah masjid yang kubahnya terbuat dari batu yang berkilau. Soal jenis batu itu, ia tidak tahu apa. Aku tidak yakin di mana ada masjid semacam itu, tetapi dia memberi satu lagi petunjuk yang mungkin bisa membuatku paham, bahwa masjid itu terletak tidak jauh dari sebuah pantai. Lalu kubilang, kampung ini juga tidak jauh dari pantai. Tapi kakek itu diam dan menunduk lagi.
Istriku datang dan membawa nampan teh beserta beberapa potong roti dengan selai kacang. Kakek itu kami persilakan menghangatkan perut dulu. Ia menyesap sedikit teh hangatnya dan hanya mengunyah secuil kecil roti selai. Kubilang padanya, "Tidak perlu malu. Kami sekeluarga, kalau sanggup membantu, akan membantu Bapak."
Tamuku berhenti mengunyah dan seketika menatapku dalam-dalam. "Saya rasa tak ada yang bisa membantu, Nak. Tak ada! Bahkan orang sebaik kalian sekalipun." Lalu ia menangis sesenggukan dan menaruh kertas itu ke meja. Aku dan istri berpandangan. Aku tahu, kertas itu mungkin satu-satunya petunjuk yang bisa kupakai untuk mengurai segala kebingungan ini.
Sebenarnya bisa saja aku segera memberi kakek ini uang, tapi aku tidak yakin uang itu tiba dengan aman sampai rumah sakit, kalau belum memastikan kakek ini pikun atau tidak. Aku butuh jaminan bantuanku nanti sampai ke tangan dengan selamat. Sampai di titik ini, aku sangat ingin membantu tamuku. Aku ingat almarhum Bapak, meninggal dua belas tahun lalu karena kanker. Kami tak punya biaya sehingga terlambat. Aku tahu betapa terpukul tamuku ini bila anaknya meninggal karena kekurangan biaya berobat.
Maka, sementara tamuku masih menangis, kupungut kertas itu pelan-pelan, hingga sepertinya lelaki tua tadi tidak menyadari pergerakanku. Ketika segulung kecil kertas itu ada di genggamanku, mendadak, secara tiba-tiba dan mengejutkan, kakek ini menyahut tanganku dengan cepat dan mencengkram pergelangan tanganku erat.
"Aduh, Pak!"
Aku meringis. Tak kusangka, kakek ini kekuatannya boleh juga. Istriku cemas tapi tidak bisa bertindak, selain berdiri kaku. Kata kakek ini, jangan dibaca, nanti kamu menyesal. Aku tidak tahu maksudnya, tapi kubilang semua akan baik-baik saja.
"Tidak ada yang baik, Nak! Sekarang, saya minta uang dan saya pergi. Tidak saya ganggu lagi tidur kalian!" kata kakek itu dengan suara tersendat-sendat.
Istriku ke kamar dan mengambil sejumlah uang, entah berapa, mungkin satu juta, dan menaruhnya dalam amplop, lalu menyerahkannya pada tamu ini. Si kakek melepas cengkeraman dan mengucap beribu terima kasih atas kebaikan kami. Semoga dibalas dengan kebaikan berlipat ganda oleh-Nya.
Tamu itu pamit dan ia terbungkuk-bungkuk menembus gerimis sambil mengempit amplop pemberian istriku. Aku dan istri shock sehingga kami lupa segulung kertas yang tertinggal di meja. Esoknya, ketika kutemukan kertas itu, tidak ada tulisan apa pun di sana.
Aku tidak tahu siapa tamu itu, juga tidak mengerti apakah benar dia memiliki anak yang butuh biaya berobat atau tidak. Tapi sejak itu, kami tidak lagi membukakan pintu untuk siapa pun yang datang malam-malam—kecuali Pak RT, tentu.
Gempol, 24-2-16

KEN HANGGARA lahir 21 Juni 1991. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri