(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 28 Februari 2016)
1/
Sekarang hujan deras. Maria
dan Timo terjebak di halte seberang rumah dan tidak bisa pulang, padahal Maria kebelet
pipis. Sebagai lelaki sejati, Timo mau saja disuruh melindungi Maria agar
pacarnya bisa menyeberang tanpa harus basah kuyup. Tapi, dia bukan payung. Dan
salah sendiri juga tidak bawa payung.
"Gara-gara siapa,
coba!" kata Maria jengkel.
"Yang bawa payung 'kan
Bung Panu!"
Ya, Bung Panu teman mereka.
Teman serumah tepatnya dan tidur di ruang sempit dekat anak tangga menuju
loteng. Karena Bung Panu paling pemberani, ia dapat tempat di situ. Setiap
malam, di loteng, hantu-hantu sedang berpesta.
Kebiasaan Bung Panu yang
mencolok: membawa satu-satunya payung di rumah. Tidak peduli panas atau hujan,
orang gila itu berkeliaran dengan payung di sepanjang kompleks. Barangkali
akibat omongan seorang donatur, yang bilang betapa romansa Bung Panu tidak akan
sukses berkat kebun jamur di wajahnya. Jamur-jamur tumbuh oleh pola hidup jorok
dan panas matahari dan debu, konon katanya. Maka sejak itu, payung dikuasai
olehnya seorang.
Tapi Timo tidak berani pada
Bung Panu. Badannya lebih besar dan orang itu paling disegani. Sehingga, ketika
akan kencan dengan Maria, mendapati payung tidak ada akan lebih baik bagi Timo
ketimbang dijotos Bung Panu sampai sekarat.
Semua penghuni rumah, tidak
terkecuali Timo, memang takut pada hantu. Cuma Bung Panu yang kebal, karena dia
kabarnya tuli dan matanya mulai lamur. Kekebalan akan hantu ini yang membuat
Timo segan.
Mereka sekitar sebelas
orang dan tidak waras semuanya dan tinggal di rumah milik malaikat. Sebuah
istana, yang kalau kata semua penghuninya, sebagai tempat berbagai makanan dan
minuman tersedia secara gratis.
Tentu saja, jangan percaya
omongan orang gila; tidak ada malaikat punya rumah di dunia ini, kecuali
malaikat jadi-jadian. Dalam kasus mereka pemilik rumah tergolong jenis kedua.
Hanya saja, walaupun yang punya rumah baik hati, kekurangan dana jadi masalah
sehingga rumah itu begitu kotor dan hantu-hantu bergentayangan di lotengnya.
Payung hanya ada satu dan orang gila tidak akan membutuhkannya; paling tidak,
itulah yang pemilik rumah ketahui.
Sayang sekali, Maria bukan
termasuk tipe orang gila cuek. Ia terlihat seperti orang normal lainnya. Hanya
kalau sedang bicara suka melantur, dan itulah yang membuat dia beda dan orang
segera akan memvonisnya sinting. Seseorang di langit lupa mematikan air kran,
begitulah yang biasa Maria katakan bila hujan. Dan Timo punya pendapat lain: di
langit, Tuhan sedang bermain di bak mandi.
Apa pun alasan hujan ada,
Maria tidak suka basah kuyup dan ia jarang ganti baju. Maria memang sesekali
telanjang bulat di depan Timo, tetapi itu hanya untuk semacam ritual kekasih
yang mereka pelajari dari beberapa buku. Bacaan dari donatur, menurut pemilik
rumah, memang kadang kelewatan. Merasa tidak akan ada yang waras untuk memahami
etika dan tata krama, buku apa saja disetor kemari demi bisa disebut peduli.
Dasar manusia!
2/
Hujan masih deras dan
penyesalan soal payung tidak ada gunanya. Bung Panu tak tahu pergi ke mana; mungkin
ke planet seberang. Biasanya baru pulang malam-malam dan menyapa para hantu di
loteng sana sampai lewat tengah malam. Tentu saja, Maria tidak bisa menahan
pipis selama itu. Menunggu payung sama dengan menunggu Bung Panu datang, bukan?
Maria kesal dan tidak tahan
pengen ke toilet. Maka, dia maki-maki pacarnya.
"Dasar pacar goblok,
tidak bisa diandalkan, dan maunya dicium serta dipeluki saja, bukan mengayomi.
Coba kalau kamu becus, seperti yang selalu kamu bualkan, sekarang kamu berubah
jadi payung sehingga kita bisa pulang dengan selamat!"
"Pipis di sini 'kan
bisa!" sahut Timo. Harga dirinya rontok satu, atau di mata Maria rontok
semua sehingga ia seakan jadi lelaki botak. Tidak ada manusia bisa jadi payung,
bahkan orang tak waras sepertinya. Dan Timo sudah berusaha membayangkan dirinya
menjadi payung, tapi gagal merealisasikan khayalan. Tenaga pikiran, begitulah
alasan yang selalu ia bawa-bawa, bukan wilayahnya, dan di rumah tidak ada dukun
yang bisa mengajari ilmu tersebut. Di rumah cuma ada malaikat dan hantu—yang
Timo takuti. Dan Maria harusnya memahami.
Tanpa memedulikan perasaan
pacarnya, Maria pun mengancam setelah hujan reda ia akan mencari toilet dan
pipis serta tidak mau menemui Timo lagi sampai kiamat. Ia akan mencari Bung
Panu dan menobatkan diri bersamanya sebagai pasangan abadi tak terpisahkan.
Bersama Bung Panu, semua beres. Hantu-hantu tidak bakal mengusiknya dan ke mana
pun kencan, selalu ada payung. Panas hujan, boleh menyingkir.
Timo menggigil mendengar
ultimatum kurang ajar ini. Ia tidak mau kalah. Ia tidak tahu juga harus berbuat
apa. Jadi, ia cuma bisa memberi usul: Maria bisa pipis di celana dan nanti
malam ia tidur tanpa celana dalam agar Timo bisa buktikan mereka sudah menjadi
pasangan abadi dengan cintanya.
"Setan kamu, ya,"
kata Maria. "Itu bukan cinta, itu nafsu!" Dengan gaya khasnya,
perempuan ini mengentakkan kaki ke lantai. Ia menolak ide si pacar. Sebagai
orang gila, Timo memang tidak pernah belajar soal moralitas. Tetapi kalau
dipikir-pikir, menurut Maria, Bung Panu jauh lebih dewasa.
Maria yakin, sesudah hujan,
sebaiknya ia mencari Bung Panu buat dijadikan suami, bukan cuma pacar. Biar
tahu rasa si Timo itu. Biar merengek setiap hari sampai kiamat dan mati
sia-sia. Urusan payung dan pergi ke toilet saja tidak sanggup; bagaimana kalau
kelak punya anak?
3/
Di teras, pemilik rumah
atau yang disebut malaikat, mengamati Maria dan Timo dari jauh. Anak-anak itu
dibuang dari kehidupannya dan gila. Mereka sering bertengkar karena soal
sepele. Sore ini, terjebak di halte dan bertengkar lagi.
Setelah beberapa lama,
Maria jongkok dan menjinjing daster dan celana dalamnya. Dia pipis malu-malu
setelah memerintah Timo untuk tidak mengintip. Tapi, ya, pemilik rumah bisa
melihat dari terasnya: isi rok tersebut, meski tidak mau mengakui betapa ia
kadang tertarik.
Nanti malam, pikir si
pemilik rumah, bunyi hantu harus dikeraskan agar Timo yang pengecut tidak
berani keluar kamar. Bung Panu pasti pulang lebih malam. Sudah diberi uang
jajan biar lama. Dengan demikian, percobaannya mencicipi Maria untuk kesekian
kali kembali sukses. Tentu, tidak ada yang tahu. Dan malaikat ini mensyukuri
segala pertengkaran yang terjadi, serta kisah-kisah horor yang dia karang.
Dengan demikian, setan saja bisa menghitung bahwa tidak hanya Maria yang jadi
korbannya.
Gempol, 23-2-2016
Comments
Post a Comment