Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Seekor Anjing di Tengah Kota dan Wanita yang Tidak Punya Siapa-siapa" karya Ken Hanggara

Ilustrasi karya Picasso   (Dimuat di pasanggrahan(dot)com, pada Rabu, 28 Oktober 2015) Pagi ini seekor anjing—atau patung berbentuk anjing—berdiri tepat di depan mini market yang baru dibangun di tengah kota. Subuh baru lewat. Jalan sepi. Aku tidak berani lewat, karena tidak yakin itu anjing betulan atau patung. Mungkin anjing betulan, atau mungkin patung karena tenang dan pendiam untuk ukuran seekor binatang dengan kebiasaan lidah menjulur-julur. Tapi aku perlu pastikan kalau tidak mau celaka karena tidak sabaran meneliti suatu hal demi keselamatan diriku. Jadi kusapa anjing—atau patung mirip anjing itu—dengan lantang, "Hei, Anjing?" Tidak ada jawaban. Tentu saja, walau dia anjing betulan, yang hidup dan bisa menjulurkan lidah dengan ritme teratur, toh seekor anjing tidak mungkin menguasai bahasa manusia, kecuali dalam buku-buku dongeng. Aku melangkah lebih dekat. Dalam jarak kira-kira sepuluh meter, aku belum tahu apa dia cuma patung sehingga aku bisa le

[Cerpen]: "Tukang Dongeng" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Merapi Pembaruan, Minggu, 25 Oktober 2015) Lelaki tua itu—kami biasa memanggil beliau Tuan Kantung—mengisahkan suatu legenda yang akrab di kuping. Seolah pada suatu masa yang lama, jauh sebelum kami lahir, Tuhan mengutus para malaikat masuk ke rahim ibu kami dan membisikkan sebuah cerita pada janin bakal bayi agar kelak jadi orang berguna. Anehnya, sebuah cerita, sebagaimana berita di koran, tidak sanggup membenam abadi di ingatan. Entahlah bagaimana bisa begitu. Kadang-kadang legenda itu menoreh kesan kepahlawanan. Di lain waktu, mengandung ide pemberontakan. Tapi, di kesempatan lain, bisa jadi kisah paling romantik. Tergantung suasana hati kami saat itu. Betapapun kami mudah melupakan berita di koran, tidak seaneh saat legenda bercabang ke banyak tujuan sehingga ingatan dan imajinasi kami berantakan. Bukankah cerita, atau legenda, atau katakanlah dongeng sekalipun, bentuknya akan selalu sama dari waktu ke waktu? "Kukira seberharga apa pun cerita,

[Cerpen]: "Titipan Setan" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 18 Oktober 2015) Sebagaimana biasa, anak itu lahap menghabiskan jatahnya. Tak tanggung-tanggung, dua piring nasi goreng plus belasan tusuk sate ayam, masuk ke perut yang buncit. Di akhir ritual—tepatnya jadwal wajib di akhir hari: makan malam—satu tangan gempal mencari gelas besar, sementara satu lainnya memungut tusuk gigi untuk menghela serat daging yang nyangkut di sela gusi. "Lain waktu Ibu perlu inovasi!" ucapnya saat ditatapnya teh yang mengisi penuh gelasnya. Teh hangat. Ia bukan protes karena yang hendak diminum adalah teh basi atau bekas tadi pagi yang kupanaskan biar tak kentara basi. Ia ingin, setiap kuberi minum, yang didapat bukan itu-itu saja.

[Cerpen]: "Peri-peri Hutan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 18 Oktober 2015) Nenek orang paling kusayang. Tiap malam kami mengobrol di kamar; aku rebah di paha wanita renta itu, sementara ia berkisah. Dongeng yang bisa membuat kesedihanku hilang."Moga kamu tidak lagi sedih, ya," bisik Nenek sesudah mengantarku ke alam tidur. Ia tahu, setiap dongeng yang dibawakan padaku bisa mengusir kesedihan, namun esok itu bakal kembali; rasa sakit itu, kepedihan itu, pertanyaan itu. Aku yakin Nenek tahu, tapi entah kenapa ia selalu diam. Suatu hari kuusulkan lebih baik kami pergi ke tempat jauh, agar tidak ada sedih. Kami berdua saja, tanpa Ibu, tanpa orang lain. Aku harap tak ada yang tahu hingga kami bisa membuat nama baru di sana, lalu hidup bahagia selamanya. "Nenek sudah tua dan tidak punya uang, Nak." "Kita bisa cari uang. Aku bisa kerja, Nek." "Kamu masih kecil." "Di jalan banyak anak kecil kerja!"

[Cerpen]: "Kepada Iwami di Garis Depan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Karya, Sabtu, 17 Oktober 2015) Kepada Yang Tercinta, Iwami di garis depan... Bagaimana kabarmu, Sayang? Kuharap kondisi Kanoya tidak buruk—tentu kau membantahnya. Aku tahu kedekatan kita tidak akan lebih dari yang sudah-sudah (aku tak menyesali takdir di masa kritis ini). Jadi sepatutnya kupastikan kondisi pangkalan tempatmu lebih baik dari sebelumnya. Selepas menutut ilmu, sebuah tugas dan kewajiban penting menunggumu. Aku tak percaya dan berharap ini mimpi saja. Tak bisa kubayangkan kau berseragam persis mereka yang di Formosa itu. Aku melihat beritanya. Meski sesudahnya mereka bilang kau bukan direkrut untuk serangan khusus, aku percaya kaulah bakal sejarah penting dalam silsilah keluarga. Kaulah cerita yang kukenang nanti, bersama anak cucuku, yang hanya kau kenal dari kuil dekat rumah—dan mereka mengenalmu sebagai legenda. Indahkah itu?

Sehari Iseng Jadi Penonton Bayaran

Ini kejadian tahun 2010. Suatu pagi saya iseng mengikuti seorang teman, tetangga kost saya di Jakarta, untuk pergi ke Bekasi demi sebuah pekerjaan harian yang seru. Apa itu? "Penonton bayaran," jawabnya tanpa basa-basi. Ketika itu, jujur saja, saya baru tahu bahwa acara talkshow di TV kebanyakan--menurut teman saya--disetting sedemikian rupa dengan banyak penonton yang ternyata dibayar. Uniknya, teman saya ini seperti sudah menjadikannya pekerjaan sampingan. "Yang penting halal," bisiknya malu-malu, setelah saya tatap beberapa detik dengan ekspresi senyum campur heran. Dia menyuruh saya memakai pakaian kantor karena talkshow "langganan"-nya ini adalah acara serius yang membahas masalah sosial dan kemanusiaan, di salah satu televisi lokal. Saya iyakan saja. Kebetulan sedang tidak ada acara di kostan dan itu hari libur. Baiklah, saya ikut. Kami naik taksi dari Cilandak. Saya tidak terlalu memperhatikan jalan, karena

Bang Jo dan Ponsel Berisi Puisi-puisi Pertama

Ini cerita saat kehilangan puisi-puisi awal saya, yang disimpan di ponsel karena saat itu belum punya laptop. Ketika itu bisa dibilang saya 'nomaden' di Jakarta. Suatu kali saya merasa betah di satu tempat dan memutuskan tinggal di sana lebih lama. Di tempat baru ini saya kenal seorang lelaki. Usianya kira-kira sepuluh tahun lebih tua dari saya, tapi gayanya menyamai saya yang waktu itu belum 19 tahun. Di kompleks kostan ini rata-rata penghuninya seumuran saya dan semua pekerja keras. Tak jauh dari tempat kost ada studio besar tempat produksi sinetron dan FTV, dan sesekali layar lebar. Dia--sebut saja Bang Jo (bukan nama sebenarnya)--sudah malang melintang di dunia hiburan sejak 1998, begitulah ia mengaku. Saya percaya saja karena dia terlihat jujur dan sangat terbuka, serta tentu saja teman ngobrol yang asyik. Namun ketika itu Bang Jo sedang terpuruk. Ia sepi job dan terlunta-lunta berkat suatu masalah dengan keluarga yang tidak bisa ia ungkapkan, juga masala