Skip to main content

Posts

"Metamorfosis Wanita Karier ke Guru Mengaji" oleh Ken Hanggara

Tulisan ini saya persembahkan untuk Ibu kandung saya. Sebuah feature sederhana yang ditulis khusus di hari Ibu. Semoga bermanfaat dan terima kasih bagi yang sudah membaca. ***     "Kalau ada rezeki, ya pengen. Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah? Tapi rezeki belum ada. Mohon doanya saja," begitu ucapnya, ketika salah seorang tetangga bertanya apakah guru ngaji ini tidak terpikir untuk pergi haji.     Siapa yang tidak mau melihat Ka'bah, kalimat itu terngiang di benak perempuan lima puluh tujuh tahun ini, setiap saat, setiap waktu. Bagaimana keinginan itu ada, tidak seperti yang kita bayangkan.

[Cerpen]: Jagal karya Ken Hanggara

Dulu saya tak tahu. Manusia berbahagia di atas penderitaan, tapi kami tak bisa memilih jalan. Saya pergi dan melihat tragedi dengan mata kepala. Sesuatu membuka hati saya untuk lapang. Entah kelapangan itu datang karena terpaksa atau suatu keharusan. Yang jelas, kesendirianlah yang mendidik saya seperti ini. Nama saya Numa. Saya anjing kurap yang paling kurap. Dulu saya dipuja-puja, diberi makanan yang lebih dari batas yang saya sanggup, sampai perut saya kembung, kemudian orang-orang menyiapkan hari besar untuk saya. Saya cantik dan gemuk!

[Cerpen]: "Giman yang Senang Main Lompat-Lompatan" karya Ken Hanggara

Sebagaimana anak kecil pada umumnya, Giman senang bermain. Kebiasaannya yang sudah dihafal orang adalah senang melompat. Giman senang melompat-lompat seperti kodok. Tidak cuma meniru kodok, dia kadang melompat-lompat meniru monyet. Giman juga senang melompat-lompat meniru binatang lain, seperti kangguru, yang dia lihat di televisi. Tetapi yang paling Giman suka, dia meniru gaya lompatan kodok. Suatu hari, di sekolah, Giman yang duduk di kelas dua diolok teman-teman karena tidak mau diajak main petak umpet. Giman malah main lompat kodok. "Nanti kamu lama-lama bisa jadi kodok, lho !" kata Budi, temannya.

[Cerpen]: "Antara Sunrise dan Sunset" karya Ken Hanggara

Matahari belum muncul, tapi kami sudah siap menyambut kedatangannya. Satu-dua kendaraan melintas, melewati jalanan sepi tempat mobilku berhenti. Kurang dari sepuluh menit, jalanan mulai ramai. Mereka yang baru turun dari bus atau kendaraan lain yang terparkir, langsung berjalan santai menuju arah terbitnya hari. "Ayo, guys , cepat! Loe mau ketinggalan momen paling berharga sepanjang hidup loe ?" lontar temanku penuh semangat. Orang-orang yang tak kami kenal—yang berjalan persis di sebelah mobilku—serempak menoleh dan bisik-bisik ke sesama mereka, saling tertawa. Kami mengangguk. Memang dasar si Damar lebay . Langit 'kan masih gelap? Masih ada waktu untuk bisa menikmati sunrise . Tapi karena pembawaannya memang begitu, apa boleh buat.

Apakah Menulis Fiksi Sama dengan "Berbohong"?

Dalam dunia fiksi, penulis bebas menulis apa yang ada di kepala. Fiksi adalah—ibaratnya—lukisan yang dibuat dengan gaya, yang boleh jadi terinspirasi dari kejadian nyata, atau boleh jadi dari imajinasi. Itu sah-sah saja, selama penulis tidak "mencuri" lukisan orang lain. Selama itu hasil jerih payah sendiri, tidak masalah, walau tulisan fiksi yang dihasilkan terlihat absurd bagi orang-orang yang menjunjung tinggi logika sekalipun. Alasan "pembebasan" ini karena tulisan fiksi, apa pun bentuknya, merupakan seni yang tidak berbeda dengan patung atau lukisan dalam arti sesungguhnya. Tentu saja, seni mengandung nilai kejujuran, nasihat, etika, moral, kebebasan , sejarah, dan masih banyak lagi di dalamnya. Dari semua nilai itu, yang bisa disebut seni adalah yang mengandung nilai pemberi manfaat, sekurang-kurangnya bagi satu manusia lain di luar diri sang seniman.

Mati Meninggalkan Tulisan, Mati Menjadi Sejarah

Perjalanan menulis paling awal saya, kalau boleh jujur, disebabkan oleh kekonyolan masa remaja. Waktu itu saya jatuh cinta lalu membuat puisi. Klise sekali, ya? Tapi seiring waktu berjalan, setelah sekian puluh puisi saya hasilkan, saya menyadari bahwa saya terlalu egois dan bodoh. Betapa tidak? Menulis puisi hanya untuk cinta memang manis kedengarannya. Tapi mungkin juga tidak banyak yang tahu, betapa hal itu sulit membuat kita bangkit. Sah-sah saja menulis puisi, tapi setidaknya harus memberi manfaat, baik untuk si penulis maupun si pembaca (pembacanya tak harus selalu orang yang dicinta tadi). Sementara, puisi-puisi yang saya tulis, tidak memberi manfaat apa-apa selain menambah lembar kekaguman saya yang berlebihan kepada seseorang.

Belajar "Melihat" untuk Hidup yang Lebih Baik

Musuh terbesar adalah diri sendiri. Kalimat itu sering kita dengar. Tapi, sudahkah kita mengalaminya? Ketika jalan menuju mimpi menyempit — sebab ada jalan lain yang tiba-tiba hadir bak cabang di tengah perjalanan — maka saat itu keputusan adalah kartu terakhir yang kita punya. Ibarat kata dalam sepak bola, kita bermain dalam pertandingan hidup dan mati. Apa kita berpikir bahwa dengan memilih jalan yang kita suka, maka kita akan menang? Atau begini: dengan menghindari jalan yang kita benci, kita akan jauh dari kesialan. Tentu saja itu bukan wilayah kita. Itu wilayah Tuhan, karena makhlukNya tidak dibekali kemampuan membaca masa depan.