Skip to main content

[Cerpen]: Jagal karya Ken Hanggara



Dulu saya tak tahu. Manusia berbahagia di atas penderitaan, tapi kami tak bisa memilih jalan. Saya pergi dan melihat tragedi dengan mata kepala. Sesuatu membuka hati saya untuk lapang. Entah kelapangan itu datang karena terpaksa atau suatu keharusan. Yang jelas, kesendirianlah yang mendidik saya seperti ini.
Nama saya Numa. Saya anjing kurap yang paling kurap. Dulu saya dipuja-puja, diberi makanan yang lebih dari batas yang saya sanggup, sampai perut saya kembung, kemudian orang-orang menyiapkan hari besar untuk saya. Saya cantik dan gemuk!

Tapi saya tak paham tujuan manusia. Apa itu untuk bersenang-senang atau sekadar perwujudan rasa syukur kepada dewa? Menurut saya mereka terlalu kejam. Saya masih kecil untuk tahu kenapa mereka membawa dan mendiamkan saya di tempat tertutup. Memang, saya bukan dikurung, tapi saya tidak bisa ke mana-mana, dan saya terlalu bodoh untuk menyadari bahwa saya terisolasi.
Suatu hari saya berkenalan dengan babi. Sebut saja Yus. Dia babi paling bau yang saya tahu. Tapi saya suka. Yus jujur dan kalau boleh saya bilang, dia sangat bodoh. Barangkali karena otak babi terbuat dari cacing, dia tidak bisa berpikir. Dan barangkali karena itu saya berteman dengannya. Kami sama-sama kecil, lucu, dan dicintai. Tapi saya dan Yus tidak merasakan cinta yang besar di mata manusia ketimbang apa yang kami ikat sendiri.
Saya pernah kenal anjing atau babi lain, tapi tak ada yang sebaik Yus. Kami tinggal di kampung yang agaknya dibuat khusus untuk kami dengan bahan empat sisi dinding setinggi langit. Kami tak tahu ukuran pastinya. Tepatnya tak punya satuan. Kami anjing dan babi, tidak butuh itu. Yang jelas dinding itu sangat tinggi dan kalau Anda melihatnya dari tempat kami bermain, Anda pasti percaya kalau langit dapat dicapai dari dinding itu. Perkara dinding ini sempat membuat saya dan Yus berdebat. Saya percaya di atas langit ada kehidupan yang membuat kami ada.
"Suatu hari, kalau kita sudah besar, kita bisa belajar terbang untuk tahu bagaimana Dewa Langit memberi kita makan," kata saya.
"Tidak bisa. Di langit mana pun tidak ada dewa. Dan yang memberi makan kita bukan mereka," kata Yus.
"Lalu siapa?"
"Manusia-manusia itu. Kalau tidak ada mereka, kita tidak makan."
Benar juga. Tanpa manusia, kami tak makan. Tapi apa manusia sama dengan dewa? Saya belum tahu. Sejauh yang saya tahu, manusia bisa berbuat sesuai kemauan mereka. Dewa juga begitu, bukan?
"Berarti manusia itu dewa," kata Yus. Tapi saya merasa perlu mencari tahu.
"Kalau manusia itu dewa, kita tidak akan dibiarkan di sini. Kita tidak didiamkan di tempat yang hanya ada tembok, ember, pisau, terali, panci, tali, pagar, dan anjing-anjing serta babi-babi yang berebut makan!" sanggah saya. "Pasti ada benda-benda lain yang lebih menarik mata dan tidak membuat kita saling berebut!"
Akhirnya, karena belum cukup umur dan bingung, kami memilih bermain dan tak membahas dewa lagi. Hanya sekali waktu kami berharap agar suatu saat bisa terbang dan hinggap di dinding itu, melihat sesuatu di atas sana, atau bahkan memanjat langit seperti apa yang selalu saya bayangkan.
Dulu saya tak banyak tahu. Saya bodoh walau tak sebodoh Yus. Saya bodoh karena mungil. Tapi, sebagai anjing, saya merasa hidup ini terlalu sepi untuk dihabiskan berdua saja dengan babi bau, polos, dan tak bisa membedakan mana makanan basi dan mana yang masih hangat.
Suatu pagi saya malas makan. Kepala saya pusing. Bocah kecil yang rutin memberi saya makan, memandikan saya, menggendong saya, mengandangkan saya, manusia kecil yang barangkali seumuran saya—andai saya manusia—tiba-tiba menangis dan bilang, "Ma, anjingnya rewel!"
Lalu ibunya datang dan meraih saya. Saya dielus, ditimang, dan dengan penuh perhatian, ia membawa saya ke dalam mobil, pergi ke suatu tempat setelah sebelumnya bersuara, "Numa sakit."
Sepanjang hari itu adalah hari yang membuka wawasan, dan barangkali aib. Saya tak bisa membedakan apa kebusukan manusia bisa disebut aib bagi diri mereka, atau justru wawasan bagi binatang macam saya. Jelasnya, saya mulai tahu, dinding itu tidak sekadar menjadi jalan untuk memanjat langit. Di balik dinding itu, saya melihat dunia yang lebih luas!
Ibu bocah tadi membawa saya ke kota, begitu manusia menyebutnya. Tidak banyak yang saya ingat pada bagian ini. Maaf kalau Anda, sebagai pembaca cerita ini, kecewa. Sebab seumur hidup hanya sekali itu saja masa kecil saya merasakan sesuatu yang lain, yang berkesan tapi sebentar, sementara ingatan saya belum bekerja dengan baik. Yang saya ingat hanya ekspresi ingin tahu Yus sekembali saya dari sana: "Dari mana saja kamu? Aku kira tidak kembali... seperti mereka."
"Tenanglah. Aku di sini," kata saya. Lalu saya ceritakan semua yang saya lihat di kota. Oh, ya, hal kedua yang juga saya ingat hari itu adalah saya dibawa ke seorang yang bisa menyembuhkan pusing. Saya diobati. Jatah makan saya ditambah. Agar cepat pulih, katanya. Tapi wawasan yang saya dapat dari sini membuat cara pandang kami berubah; segala pemandangan, segala kenyataan itu: di balik tembok ada kehidupan. Bukankah itu ajaib?
"Jadi, di balik tembok itu ada dunia lain?" Yus tak percaya.
Sejak hari itu pula kami berjanji, suatu hari, setelah dewasa, kami akan terbang dan melihat semuanya.
"Tapi kita tidak punya sayap. Bagaimana bisa terbang?" tanya Yus.
Saya baru sadar. Selama ini, saya hanya terbang dalam khayalan.
"Mudah saja," kata saya setelah berpikir cukup lama. "Kita minta bantuan burung. Dia bisa mengajari kita terbang."
Yus mengangguk-angguk. Tapi saya tahu ada masalah baru yang kami hadapi. Di tempat ini tidak ada burung. Mereka selalu takut untuk hinggap di tembok itu. Tak tahu kenapa. Dan yang lebih membuat saya bingung adalah pertanyaan Yus selanjutnya:
"Kalau ke kota, apa mungkin kita tak kembali... seperti mereka?"
Mereka? Benar juga.
Di sini kami tidak sendiri. Tapi kami merasa hubungan kami saja yang cocok, hingga teman lain menjadi tidak spesial dan sering kami abaikan. Mereka anjing-anjing dan babi-babi lain yang saya kenal. Umur kami berbeda-beda. Dari waktu ke waktu, tempat ini dimasuki penghuni baru: bayi-bayi babi dan anjing yang basah (entah datang dari mana), serta ditinggalkan oleh mereka yang sudah besar dan tua. Kami tak tahu ke mana yang dewasa pergi. Manusia membawanya. Manusia yang memiliki. Dan kami tak pernah tahu di mana bapak dan ibu kami. Barangkali, dulu sekali, sudah pergi.
Pertanyaan itu saya simpan dalam kepala, sambil menunggu kedatangan burung yang mau mengajari kami terbang. Setiap hari, selesai makan, kami duduk di halaman "kampung", tak peduli anjing dan babi lain tertawa. Kami terus menatap salah satu dinding yang menghubungkan kami dengan suara-suara. Ah, saya belum bilang, ya? Tempat di seberang dinding ini gaduh. Anda tahu, kadang-kadang kami dengar manusia bertengkar, manusia tertawa, atau anjing menangis dan babi menguik-nguik kesakitan? Saya takut yang terakhir. Saya tak takut anjing menangis, sebab saya tak menangis. Tapi Yus bilang, "Mungkin babi itu lapar." Saya percaya sebab saya bukan babi. Dan saya tak pernah lapar. Saya hafal suara itu, sebab hampir setahun lamanya kami menunggu.
Suatu sore kami beruntung. Di saat suara-suara gaduh yang kami kira datang dari kampung tetangga itu sampai pada puncaknya, saat semua bersahutan sampai telinga kami berdenging sebab terbiasa dekat dengan tembok yang satu itu, seekor burung hinggap. Burung dara yang putih bersih, tapi wajahnya penuh rasa takut.
Saya menyapanya dengan maksud agar dia mau menjadi teman kami. Selama ini tak pernah ada burung yang benar-benar hinggap. Untunglah cara saya jitu. Burung itu terbang ke "kampung" kami, masuk ke tengah bangunan dengan bahan empat sisi tembok setinggi langit yang dihuni hanya oleh puluhan anjing dan babi ini.
Ia mendarat tergesa-gesa.
"Aku hampir mati! Boleh sembunyi di sini?" kata burung itu.
Akhirnya, kami punya teman baru. Saya dan Yus menyembunyikannya. Takut burung itu celaka. Takut burung itu mati. Banyak ketakutan saat kita masih kecil. Saya rasa Anda setuju dengan perkataan itu. Lani, begitu kami menyapa burung itu, mengaku kabur dari sangkarnya setelah seorang manusia hendak menyembelihnya. Ia terpaksa bersembunyi ke tempat yang barangkali lebih berbahaya dari majikan manusianya; ke tempat kami.
Saya waktu itu masih kecil. Sudah saya bilang. Dulu saya tak sadar manusia berbahagia di atas penderitaan. Tapi dari Lani saya mendengar banyak hal di luar akal dan nalar. Satu-satunya alasan burung tidak berani mendekat ke tembok kami membuat saya bergidik.
"Di tempat macam ini ada darah dan kematian. Banyak cerita dari paruh ke paruh. Mereka bilang ini konspirasi. Manusia-manusia itu lahir dan membangun peradaban untuk membantai. Awalnya aku tak percaya. Tapi, setelah melihat langsung, kurasa semua burung di muka bumi berada dalam bahaya."
"Kenapa begitu?"
"Mereka saksi kejahatan para manusia. Aku salah satunya. Dan hari ini aku hampir meregang nyawa!"
"Manusia sayang binatang. Buktinya kami diberi makan, dan kampung ini adalah hasil kebaikan mereka," kata Yus.
"Tapi itu untuk kematianmu! Kamu kira apa alasan kami menjauhi tembok-tembok tinggi ini?"
Saya, tentu saja, sebagai anjing yang cantik dan gemuk, yang dicinta dan disayang manusia, tidak percaya walau merasa ngeri. Semua cerita tidak berguna jika tanpa bukti.
"Tidak ada bukti kalau kalian tidak keluar dari sini. Atau, barangkali, tanpa keluar pun kalian akan mendapatnya," jawab Lani pelan, setelah saya memintanya memberi bukti.
"Caranya?"
"Tunggu sampai dewasa. Tapi begitu bukti di depan mata, kalian tidak bisa pulang, tidak bisa mengabarkan ke yang lain. Kalian jadi bagian konspirasi. Potongan hidup yang sial. Pada detik itu kalian sudah mati!"
Kata-kata Lani tidak saya pahami. Tapi, demi mendengar kata "keluar", saya memberinya penawaran. Saya katakan, saya akan percaya padanya, tapi dia harus ajari kami terbang.
"Tapi kalian tak punya sayap. Dengan apa kalian terbang?"
Setelah berpikir, agaknya tak mungkin anjing dan babi bisa terbang. Saya tahu saya anjing, tapi saya tidak sebodoh babi, walau masih kecil. Bukankah sudah saya bilang? Jadi saya sekarang tahu bahwa percuma meminta Lani mengajari kami terbang sekadar melihat dunia luar atau mengintip Dewa Langit pemberi hujan. Kami tidak bersayap.
Tapi, meski tidak mengajari terbang, Lani menjadi teman kami. Sesekali ia pergi mencari makan dan membawa kabar dari luar. Ia terbuka tapi saya merasa masih ada yang disembunyikannya. Pada hari itu, di kampung kami, ada beberapa ekor anjing dan babi dewasa diarak keluar dari kamar. Beberapa manusia tertawa antar sesamanya, membawa teman-teman kami dengan temali. Itu pemandangan biasa. Tapi Lani bergumam. "Seperti yang kubilang. Ini konspirasi! Tempat ini termasuk. Kalian tahu dibawa ke mana teman-teman kalian yang sudah besar tadi?"
Kami menggeleng.
"Tunggu sampai aku membawamu keluar!" ucap Lani sebelum terbang menjauh.
Malam itu bergumpal pertanyaan menghantui; tentang eksistensi dewa, konspirasi, dan kasih sayang manusia. Apakah politik balas budi berlaku bagi anjing dan babi, pada saat itu saya tak tahu. Yang saya tahu cuma satu: wajah takut Lani mengandung semua jawaban. Alangkah takjubnya saya ketika melihatnya datang malam itu membawa sebuah kunci. Dengan itu kami bisa keluar, melihat dunia dan isinya yang ajaib.
Tapi Yus berubah pikiran. Dia merasa cerita Lani tidak masuk akal dan lebih mirip bualan. Dia memilih tinggal saja. Lani kecewa, apalagi saya. Saya paksa ikut, tapi Yus bebal. Dasar pemalas, umpat saya dalam hati. Tinggal sejengkal saja kami sudah berada di luar. Tapi Yus bergeming. Lani menarik kuping saya. Akhirnya kami pergi berdua. Saya pikir, mungkin, Yus tidak pergi dalam waktu lama. Dia masih muda untuk dibawa. Dan saya pikir, nanti saya akan kembali menjemputnya.
Dengan bantuan Lani, saya menembus lorong di luar sisi salah satu tembok, yang akhirnya membawa saya ke dunia luar. Dunia yang saya rindukan. Tapi saya cemas. Siapa yang memberi saya makan? Siapa yang mengandangkan saya? Bahkan di luar sini sama sekali tidak ada kamar!
"Itu lebih baik. Ada nasib yang lebih buruk dari ini," kata Lani setelah beberapa hari saya menggelandang. Saya mengeluh karena terbiasa menggantungkan hidup pada manusia. Tapi, semua rahasia akan Lani ungkap. Dia membawa saya ke satu tempat, ke tempat yang saya rasa sudah saya kenal dari suara-suaranya. Hari itu, iring-iringan babi dan anjing keluar dari kampung saya. Beberapa orang, termasuk majikan manusia saya, tampak mengawal mereka.
Lani tahu jalan aman. Tidak ada yang melihat kami. Dari lubang di dinding, kami mengintip semua yang terjadi di kampung sebelah, tempat yang saya hafal lewat tangisan anjing dan babi lapar menguik-nguik. Betapa saya tak percaya. Entah marah, sesal, atau kecewa, saya tak bisa bedakan. Ke sanalah teman-teman saya dibawa. Dan nasib mereka sama sekali jauh dari bayangan kami.
Sebagai satu-satunya saksi yang tersisa dalam cerita ini, saya mohon kepada Anda sebelum melanjutkan, agar tidak merasa risih sebab kami hanyalah anjing dan babi. Kami sadar kami kotor, tapi kami juga hidup. Sekiranya, bila jauh di luar harapan, saya mohon maaf. Sebab, saya pun tidak mengharapkan ini. Saya melihat dengan terang manusia menangkapi anjing-anjing itu, memasukkan mereka ke dalam karung, dan memukul kepala mereka sampai kejang. Lalu tubuh-tubuh anjing itu diseret dan mereka menggantungnya dengan kawat. Kalau Anda cukup berani, maka saya jauh lebih berani ketika melihat isi tubuh mereka terburai sebab itulah gunanya pisau yang selama ini—baik saya maupun Yus—kurang tahu apa fungsinya.
Jangan tanyakan nasib babi-babi itu. Mereka jauh lebih buruk dan sekiranya Anda lebih memaafkan sebab saya tak bisa menggambarkannya secara detail. Yus babi yang bodoh, sebab otaknya terbuat dari cacing. Dia babi paling bau yang pernah saya tahu, tapi dia teman saya. Bukankah sudah saya bilang? Saya tak tega mengatakan bagaimana mereka memisah bagian-bagian tertentu dari babi itu untuk bisa dimakan. Ya, dimakan.
Anda pernah makan babi? Lebih-lebih, pernahkah Anda memakan anjing? Saya tak tahu dan saya berharap jawaban Anda adalah tidak. Mereka menaruh potongan tubuh dengan tangis dan darah itu dalam wajan besar, merebusnya, memberinya air bergayung-gayung agar empuk, lalu mengolahnya menjadi berbagai jenis masakan. Bumbu-bumbu dituang. Perayaan besar entah untuk apa dipersiapkan. Spanduk-spanduk, umbul-umbul, lampion, dan entah Lani menyebutnya apa lagi. Pemandangan kematian bagi saya, tapi kebahagiaan bagi manusia. Sejak hari itu saya tahu, manusia memberi makan, menyayangi, merawat kami sampai gemuk agar dapat bersenang-senang di atas derita.
Pada hari yang lain, berbulan-bulan kemudian, saat koreng tumbuh, beranak-pinak, dan merambat rata di hampir setiap bagian kulit saya, saat tubuh saya mengurus, saya melihat kenyataan. Yus ada dalam barisan itu. Saya harus mencegahnya. Tapi saya cuma bisa menggonggong sebelum bocah yang dulu rutin memberi saya makan, memandikan saya, menggendong saya, mengandangkan saya, manusia kecil yang kini barangkali tidak lagi seumuran saya—andai saya manusia—memukul kepala saya dengan tongkat dan rasa jijik; kepala dengan tubuh penuh kurap dan hampir tidak bisa dikenali. Saya terkapar. Hari itu saya mengintip bagaimana mereka membawa sisa-sisa Yus. Babi bodoh yang saya kira akan saya ajak terbang melihat Dewa Langit menyampaikan makanan untuk penduduk bumi.
Dulu saya tak sadar. Manusia berbahagia di atas penderitaan, tapi kami tak boleh memilih jalan. Baiklah, saya terima kematian Yus dengan lapang. Saya curi kepala babi itu dan saya simpan di kolong tempat sampah. Berharap kelak, jika bertemu dewa, saya minta kepala itu dihidupkan kembali. Barangkali, kalau tanpa badan, Yus tidak akan rakus. Tapi belum sempat Lani memanggilkan dewa, sebab saya tidak bisa terbang, kepala Yus busuk. Cacing-cacing keluar dari lubang hidung dan mulutnya, membuat saya tahu bahwa otak babi terbuat dari cacing. Tapi saya juga tahu, semua perkataan Lani benar. Tidak ada yang salah dan suara-suara itu terus bersambung hingga para penerus kami bertanya-tanya; apa kalau kami sudah besar, kami dibawa ke tempat yang lebih luas? Bisa bermain sepuasnya, tanpa harus berharap suatu saat menemukan jalan keluar dari dinding-dinding ini?
Sampai hari ini saya masih di sini, dengan kurap yang paling kurap. Lani telah mati. Tidak ada teman. Tapi saya ingat kata-kata terakhirnya: "Manusia selalu menyalahkan setan atas pembantaian pada mereka. Tapi untuk siapa kesalahan itu, jika yang dibantai adalah kami?"
Lalu saya berpikir, apa saya pantas menyebut mereka, "Hei, kalian semua adalah asu[1]!" Sementara saya sendiri asu. Atau apa saya layak memanggil mereka: "Dasar babi berotak cacing!", sebab saya pun tak bisa melupakan Yus? Saya tak tahu julukan apa yang pantas bagi manusia-manusia ini. Mereka menyayangi tapi membunuh.
Sampai suatu waktu saya terdesak, hampir mati oleh rasa lapar. Dan saya diliputi dendam. Barangkali saya dapat mengembalikan nilai yang dulu tumbuh di tengah empat tembok bersisian setinggi langit; nilai persahabatan dan harapan-harapan, sebuah nilai yang kini tidak ada artinya lagi.
Seseorang meninggalkan sesuatu di teras depan.
Saya mengendap-endap. Darah dalam tubuh bergejolak. Hari yang baik!
Seseorang berotak cacing, barangkali. Tidak cuma babi yang berotak cacing, sebab bagaimanapun, walau bukan diri sendiri, seorang bayi adalah nyawa. Dan nyawa itu ada di depan saya!
Mohon maaf, siapa pun Anda, saya tidak bermaksud menyinggung perasaan ketika, misalnya, saya katakan saya ambil bayi itu, lalu saya bawa pergi ke tempat yang jauh. Di sana saya menjagalnya dengan cara saya sendiri, dengan taring-taring tajam saya. Memakan tanpa memasak, dengan cara seekor anjing. Berpesta ria dengan cara binatang. Sebab saya bukan manusia.
Sejak itu saya merasa hidup dan tak terpikir untuk berhenti, meski harus lari, tidak membangun tembok setinggi langit. Sebab saya bukan manusia.
Perkenalkan, nama saya Numa. Anjing kurap yang paling kurap. Dan saya pemangsa, bukan dimangsa.***
[ Pasuruan, 21-22 Oktober 2014 ]


[1] Anjing (Jawa).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri