Skip to main content

[Cerpen]: "Antara Sunrise dan Sunset" karya Ken Hanggara



Matahari belum muncul, tapi kami sudah siap menyambut kedatangannya. Satu-dua kendaraan melintas, melewati jalanan sepi tempat mobilku berhenti. Kurang dari sepuluh menit, jalanan mulai ramai. Mereka yang baru turun dari bus atau kendaraan lain yang terparkir, langsung berjalan santai menuju arah terbitnya hari.
"Ayo, guys, cepat! Loe mau ketinggalan momen paling berharga sepanjang hidup loe?" lontar temanku penuh semangat. Orang-orang yang tak kami kenal—yang berjalan persis di sebelah mobilku—serempak menoleh dan bisik-bisik ke sesama mereka, saling tertawa. Kami mengangguk. Memang dasar si Damar lebay. Langit 'kan masih gelap? Masih ada waktu untuk bisa menikmati sunrise. Tapi karena pembawaannya memang begitu, apa boleh buat.

Akhirnya kami bangkit dari tempat duduk. Bukan, kami bukan tengah duduk di bangku taman. Di pinggir jalan ini tak ada bangku. Tadi, begitu turun dari mobil, kami langsung menghirup udara pagi di depan gerbang sebuah hotel, dekat patung besar berwajah seram. Nah, karena tak ada tempat, duduklah kami di trotoar setinggi belasan senti. Maklum, kami butuh meluruskan kaki dan merenggangkan otot tubuh yang lelah usai perjalanan jauh.
Segera kami tinggalkan mobil, berjalan santai mengikuti arah orang-orang tadi. Tempat ini, meski masih gelap, ternyata banyak juga yang menjadikannya tempat tujuan pertama (dan mungkin akan selalu begitu). Konon, beberapa teman pernah bilang, bila berkunjung ke pulau ini tanpa mampir ke pantai yang sedang kami tuju, rasanya kurang lengkap. Wajib bagi siapa pun menjadikan tempat ini sebagai destinasi pertama.
"Dan harus datang subuh-subuh," kata seorang teman mengingatkan.
Aku sih setuju-setuju saja. Kuikuti sarannya karena baru pertama kali aku datang ke pulau ini; belum tahu seluk beluknya, belum tahu segala yang menarik.
Yang menarik bagiku cuma hadirnya dia di tengah-tengah kami; dia yang selama ini diam-diam kuperhatikan, dia yang tak banyak bicara, dan dia yang selalu membuatku mati kutu. Siapa lagi kalau bukan gadis itu? Nanti akan kuceritakan padamu. Sekarang aku masih mengusap wajahku, mengusir kantuk yang belum mau pergi.
Melihatku menguap berkali-kali, Damar mendekatiku. Niko yang berjalan di sampingku tak terlalu memedulikannya. Kami memang hafal betul kebiasaan ganjil Damar yang senang memotret apa saja. Tempat sampah dipotret, batu dipotret, sandal jepit dipotret, bahkan tak ketinggalan: gigi palsu kakeknya juga dipotret. Di tangannya, satu unit gadget bertengger manja, gadget baru yang dibelinya dua hari lalu. Nampaknya ia hendak memfoto kami.
"Loe ini mau liburan apa mau perang, sih? Tampang kok sedih mulu. Semangat dong, Bro, semangat!" lantangnya seraya menarik bahuku, hendak mengambil gambar wajahku yang awut-awutan. Kutepis tangannya. Damar tak tahu aku masih mengantuk.
"Ssstt! Foto diri loe aja sono! Gue entar kalau udah di pantai!" sahutku kesal.
"Bener tuh. Nanti ajalah di pantai. Gak seru foto di sini. Lagian dari tadi 'kan loe udah puas fotoin kita?" sela Ajeng disambut tawa Roby yang memeluknya. Betapa mesra mereka. Pasangan yang serasi.
Mendengar itu, Damar menggerutu. Tapi aku tahu itu cuma ekspresi yang dibuat-buat. Nanti juga pasti membuat ulah lagi, lebih dari sekadar memotret wajah bangun tidurku.
Lima menit, tibalah kami di pantai. Kulihat langit masih sama, masih gelap. Benar, 'kan, kami tak akan ketinggalan momen berharga. Sementara teman-teman asyik ngobrol, kuamati pengunjung lain yang mulai memasuki pintu pagar. Ya, benar-benar pagar. Baru kali ini aku melihat ada pantai yang dipagari. Di sekitarnya ada patung yang tak bisa kulihat dengan jelas bentuknya. Betapa tidak? Tempat ini redup. Bahkan, untuk memastikan raut wajah seseorang dari dekat saja sulit, karena seperti yang sudah kubilang: matahari belum mau datang. Cahaya yang ada cuma berasal dari benda-benda elektronik milik pengunjung dan beberapa lampu yang menyala di kejauhan. Tak banyak membantu penglihatan.
Diam-diam, entah apa yang menyihirku, mendadak dengan berani kubisikkan sesuatu ke telinganya. Dia tak menyahut, cuma memberi isyarat lewat gerakan mata yang ditujukan pada Ajeng dan Risti, seolah memberiku kalimat: "Teman-teman gimana? Apa gak marah kita tinggal?" Dan, dengan pasti kujawab pula lewat tatapan mataku: "Sudah, gak usah khawatir. 'Kan gak jauh, cuma ke sana."
Ya Tuhan! Seketika jantungku berdebar. Dalam situasi segelap ini, aku menjadi seberani ini? Apa karena gelap, aku jadi tak takut dia tahu wajah gugupku? Bukankah seharusnya aku lebih berani? Kuharap seseorang tak mendengar gemuruh dadaku. "Kita sembunyi. Biar mereka nyariin kita gitu," kataku. Alasan yang aneh...dan konyol. Tapi kali ini dia tersenyum, sebuah senyum yang jarang diberinya untukku, walau tak merespons lewat suara.
"Hei, mau ke mana kalian? Kok gak ajak-ajak?" panggil Niko, ketika disadarinya aku dan Kinan menjauh dari rombongan. Kami melintasi beberapa anak tangga kecil di pintu pagar itu, turun, menyisir pasir halus yang dingin bercampur embun.
Aku menoleh ke belakang. Teman-teman melompat seraya melambaikan tangan, hendak menyusul. Kualihkan mataku pada Kinan. Dia mengangkat bahu, tersenyum, menyerahkan keputusan padaku. "Kita langsung ke sana," ajakku, tak peduli Damar mulai bertingkah, berceloteh, menggodaku dengan cara-cara memalukan. Kurang ajar memang. Tapi kepalang tanggung. Semua sudah tahu.
Aku dan Kinan terus berjalan. Kini kami melintasi jalan bebatuan memanjang. Di kiri-kanannya, beberapa meter di bawah sana, samar-samar riak kecil air pantai terwujud meneduhkan mata. Di timur, langit redup menyuguhkan sedikit cahaya. Kami tahu, tak lama lagi matahari akan datang.
Di ujung jalan batu kami berhenti. Tempat ini unik. Kumpulan batu yang entah sejak kapan berada di sini, menumpuk dan membentuk pola seperti dua tangan menadah. Maka, bila telah sampai di timur, jalanan itu melebar dan membuat kami dengan bebas memilih sudut terbaik untuk duduk menikmati matahari terbit. Dan kami, kami memilih bagian tengah sebagai tempat terbaik di sini, di dermaga batu ini.
"Masih sepi, ya?" ucapnya lirih.
Aku mengangguk. Entah dia melihatku atau tidak. Tak penting. Yang penting kami sudah dapat tempat yang sepertinya bakal diincar banyak orang. Siapa yang tak suka duduk di gazebo berdesain unik, dengan gaya khas pulau yang sudah mendunia ini, sambil menikmati sunrise? Semua pasti suka.
Kulihat teman-teman masih berfoto di jalanan batu itu. Damar tak curiga, walau tadi sempat meledekku. Lega rasanya. Di sampingku, Kinan memain-mainkan kakinya yang menggantung di udara. Kami duduk agak jauh, tapi dadaku bergemuruh. Rencana yang kusiapkan mungkin telah dibaca, baik oleh Ajeng, Risti, maupun Roby. Mereka bertiga tahu apa yang semestinya kulakukan detik ini, di tempat ini. Dan kini, mereka bekerja dengan baik; memancing dua kawan terusil kami agar tak menggangguku. Tapi, sesuatu membuatku beku. Garis kuning matahari yang menyibak awan-awan di sekitarnya, menimbulkan kejelasan di penglihatan. Dan itu, sungguh, bagiku adalah sesuatu yang menyulitkan.
"Hmm, baru sekarang lihat pemandangan sebagus ini, ya? Benar kata mereka, tempat ini memang indah."
Kinan bersuara tanpa menoleh. Tapi senyumnya terlihat jelas: senyum yang selalu kurindukan. Diambilnya sesuatu dari dalam tas, sebuah kamera. Ditangkapnya gambar matahari yang nyaris keluar dari peraduannya. Sesekali ia meminta tolong untuk memotret dirinya dengan latar belakang laut yang biru kekuning-kuningan. Kuterima kamera itu dengan tangan berkeringat. Kuharap ia tak tahu betapa aku merasa gugup.
Sungguh, kesempatan terbaik telah ada sejengkal di depanku. Tinggal meraihnya saja. Tapi pengunjung lain terlanjur ramai mendatangi tempat ini, duduk di gazebo tempat kami berdua, membuat suasana indah versiku lenyap seketika. Aku tahu ketiga temanku nun di belakang sana hanya bisa menatapku pasrah karena gagal. Seharusnya aku mengatakannya sejak tadi. Tapi lidahku kelu. Untuk membalas ucapan Kinan saja, aku tak sanggup.
Akhirnya, kami meninggalkan pantai dengan rasa sesal meliputiku. Melihat foto-fotoku yang murung, Damar berkomentar bahwa tak pernah ada orang yang sekaku aku dalam merespons keindahan sunrise. Mendengar itu, Roby menepuk pundakku, menyemangatiku. Dan aku, cuma bisa menelan ludah, jadi bulan-bulanan Niko dan Damar di depan Kinan yang tak tahu soal perasaanku.
Dua tahun kami berteman, dua tahun itu pula rasa ini kusimpan. Begitulah.
Aku dan Kinan bagai bumi dan langit. Setidaknya itu menurutku. Bukan karena kami berbeda, tapi karena sepertinya kami akan selalu berjarak. Dalam banyak kesempatan, jarang sekali kami ngobrol, apalagi bercanda. Meski aku selalu berharap itu terjadi, sepertinya tak mungkin. Kami seperti orang yang baru saling kenal. Aku tak tahu bagaimana mengakrabkan diri, atau sekadar mencairkan situasi di depannya. Padahal, selama ini—entah kepada Ajeng ataupun Risti—masalah itu tak pernah ada.
"Itu artinya loe jatuh cinta, Rano," sindir Risti suatu waktu.
Dari sinilah, akhirnya beberapa teman yang bisa kupercaya kubiarkan tahu masalahku. Ya, sebagian teman dekatku kupikir ada yang tak bisa dipercaya. Damar dan Niko tak pernah serius. Mereka duet abadi dalam dunia perjahilan. Kemungkinan besar, kalau mereka tahu, bisa-bisa rusak semua rencanaku. Walau kukatakan alasan ini sungguh tak sepenuhnya benar. Buktinya, tanpa mereka tahu pun, sudah sering kutelan kegagalan yang sama.
"Sudah empat kali, Rano! Satu, dua, tiga ... dan sekarang yang keempat! Heran deh. Apa sih masalah loe? Padahal kesempatan udah kebuka. Kalo kelamaan, bisa-bisa dia diambil orang, lho," kata Ajeng dengan muka menekuk. Kecewa dia dengan sikapku yang lamban.
"Kinan itu pendiam tapi anaknya baik. Lihat di kampus, betapa akrabnya dia sama teman-teman. Gak peduli laki, gak peduli perempuan, semua jadi temannya. Loe musti cepet, deh. Keburu keduluan orang!"
"Iya, iya. Sory, tadi gue mati kutu."
"Nah, pasti itu tuh, alasan yang bakal gue denger. Basi tahu gak! Pokoknya gue gak mau tahu. Sebelum kita pulang, loe udah harus jadian sama Kinan. Titik!"
Roby tertawa mendengar pacarnya mengancamku sedemikian rupa. Tapi kami tahu, kata-kata Ajeng bukanlah berlebihan, karena itu merupakan bentuk respect-nya dia kepadaku sebagai seorang sahabat. Yang berikutnya kulakukan, cuma memperhatikan Kinan dan Risti bermain-main pasir di kejauhan, menunggu antrean perahu untuk kami.
Siang ini, kami ada di bibir pantai yang lain. Sebelumnya, kami check in di sebuah hotel sederhana di kota; menaruh koper sekaligus mencari dua kamar untuk menginap selama tiga malam. Maklum, uang saku kami terbatas. Jadi mesti hemat. Nah, tujuan kedua kami di hari pertama liburan ini adalah wisata bahari, menikmati keindahan karang dan ikan-ikan lucu di perairan dangkal, sekaligus menyeberang ke pulau kecil tempat penangkaran satwa.
Setelah beberapa menit menunggu, akhirnya kami berangkat dengan perahu motor yang dikemudikan lelaki bertubuh tambun. Damar yang berada dekat haluan, langsung berdiri dan berteriak-teriak tak jelas, meniru salah satu adegan di film Titanic. Lelaki pemilik perahu geleng-geleng kepala melihat ulahnya. Diperingatkannya agar teman kami itu duduk kembali, tidak menggoyang-goyang perahu karena berbahaya. Namun, belum juga bibir lelaki itu tertutup, Damar lebih dulu menjadi bahan tertawaan. Air laut terhempas tepat di wajahnya, membuat baju dan gadget-nya basah kuyup.
Di waktu yang bersamaan kesempatan datang. Sebenarnya bukan kesempatan sih. Kalau boleh kubilang: cuma spontan. Kinan duduk tepat di sampingku. Oleh karena perahu kami tempat duduknya didesain memanjang di bagian kiri-kanannya, maka perempuan ini—secara teknis—duduk tepat di depanku. Berkali-kali cipratan air serupa, seperti yang membungkam Damar, mengenai teman-teman lainnya. Dan, tepat saat air itu menuju arahku, dengan sigap kubentangkan jaket, menutup punggung Kinan yang mendadak membungkuk karena takut basah. Ajeng dan Risti pun serempak melontar kalimat pamungkas: "Cie, cie ... Rano perhatian banget sih sama Kinan? Jangan-jangan ... Ehm, ehm!" Dan Roby, melengkapinya dengan: "Wah, geng kita bakal punya pasangan baru nih. Pulang liburan bakal jadian. Pas banget tuh. Kita doain deh. Hehe."
Mendengar itu, Kinan melempar teman-temannya dengan gumpalan tisu. Ia jengkel tapi tersenyum. Ganjil. Sedang aku, tak berkutik oleh kalimat beruntun dari Damar tentang apa yang baru saja terjadi.
"Eh, emang loe suka Kinan? Wah, beneran nih? Kok gak bilang-bilang? Hahaha. Pantesan tadi di Sanur ngebet banget pengen berdua. Jadi ini toh penyebabnya? Hihihi. Kalian udah tahu? Sejak kapan? Heh, malah diem semua! Hello ... Ada orang di sana?"
Jadilah, saat perahu meredakan bunyi mesinnya, aku betul-betul merasa canggung. Ajeng memberiku kode dengan lirikan sadis, agar aku membantu Kinan turun dari perahu di tepi pantai dengan kedalaman air sekitar empat puluh senti. Tapi, bukannya membantu, aku malah membatu. Kubiarkan saja Kinan kesusahan turun hingga tasnya hampir jatuh.
"Loe gimana sih?! Jadi cowok tuh kudu gentle! Apaan, kayak gitu tadi cuma diem? Tuntun dia kek, ajak ngobrol apa gitu kek. Eh, ini malah bengong!" serang Ajeng dengan suara yang nyaris tak bisa kudengar. Bukan lantaran ia berbisik, tapi karena aku shock. Otakku dipenuhi rasa malu tentang apa yang baru saja terjadi.
Sementara Ajeng terus mengomel, kutatap punggung Kinan yang menjauh bersama Risti, Niko, dan Damar, masuk ke sebuah gerbang bertuliskan Wellcome to Deluang Sari, dengan gambar dua ekor penyu di kedua sisinya. Roby menasihatiku bahwa boleh saja seorang lelaki merasa gugup, tapi inisiatif kadang diperlukan, dalam waktu paling mendesak sekalipun. Aku tak paham maksudnya.
 Di pulau ini, kami melihat aneka satwa seperti penyu, burung, ayam aduan, iguana, ular, dan kelelawar. Sistem ekologi yang utuh, dengan hutan bakau subur serta pantai yang terjaga dari sampah, membuat pulau kecil ini makin menawan. Hanya saja satwa yang paling mendominasi penyu. Maklum, tempat ini diutamakan untuk melestarikan keberadaan hewan mirip kura-kura itu. Jadilah, kami memilih berfoto bersama penyu-penyu muda. Damar dan Niko heboh di depan bule-bule cantik berkulit pucat. Sepertinya bule Rusia, entahlah. Maksud hati cari-cari perhatian, tapi justru membuat Risti murka. Dijewernya telinga Niko yang notabene adalah pacarnya.
Kali ini, tanpa dorongan Ajeng, juga demi membayar kebodohanku yang lalu-lalu, kuberanikan diri membantu Kinan menangkap penyu yang dia inginkan untuk menjadi teman berfoto. Dia kesulitan. Berkali-kali penyu yang ditangkapnya lolos. Tak kusangka, setelah berhasil membantunya menangkap penyu dan mengambil gambar dengan kamera, dia menarik tanganku, menjauh dari teman-teman yang masih sibuk di kolam penyu.
"Ada burung bagus di sana. Rano mau, ya, fotoin Kinan?" pintanya.
Ya Tuhan, suaranya begitu lembut. Serasa kejatuhan buah durian, aku iyakan saja, walau keringat dingin melaburi sekujur badan. Sejenak aku menoleh. Tak ada yang tahu. Yes! Langsung kuambil langkah seribu dan berganti kutarik tangan perempuan itu.
Sejak menit pertama memisahnya kami dari rombongan, kurasakan ponselku terus bergetar. Aku tahu, kalau bukan teman-teman, siapa lagi? Dan memang benar itu mereka. Tapi biarlah. Tampaknya Kinan sendiri tak sadar. Ia terus mengarahkan kamera ke berbagai angle, asyik memotret momen-momen menarik di pulau kecil ini. Kami berpindah dari spot satu ke spot lain, berfoto ke sana kemari, saling bercanda, sampai lupa betapa teman-teman bisa kebingungan menemukan kami. Pulau ini sedang ramai pengunjung.
Sesudah puas dengan foto-foto yang didapat, Kinan mengajakku mencari yang lain. Tapi aku mengingatkannya bahwa hari sudah terlalu siang. Lebih baik kami kembali ke perahu yang sudah menunggu. "Lagian mereka gak mungkin lama-lama di sini. Pasti bakal balik ke perahu," tambahku. Kinan setuju.
Sisa perjalanan hari ini jadi terasa lebih menyenangkan. Ajeng memujiku yang sudah mulai berani "membawa" Kinan ke mana-mana. Tapi, dia masih heran, kenapa tidak juga kuungkapkan perasaan yang sudah dua tahun ini kupendam?
"Itu ada waktunya, Jeng. Sekarang bukan saat yang tepat," jawabku pendek, ketika kami makan siang di sebuah resto di sekitar Tanjung Benoa. Pembicaraan kami aman. Kinan dan Risti sedang ke toilet. Sementara Damar dan Niko sibuk menggoda sekumpulan anak kecil berambut pirang di ujung sana, meninggalkanku bersama Ajeng dan Roby.
"Padahal 'kan loe udah bantuin dia naik perahu? Kenapa gak di situ aja? 'Kan bisa langsung loe tembak, No?" Ajeng kesal. Dia tak tahu aku mulai menangkap maksud kata-kata Roby, bahwa seorang lelaki kadang perlu mengambil inisiatif.
Ya, inisiatif itu kuambil sore ini, di sebuah pantai tujuan ketiga kami hari ini, di pulau indah yang terkenal dengan sebutan Pulau Dewata. Tak buang tempo, selagi teman-teman sibuk membeli souvenir, menunggu waktu matahari terbenam, kutarik Kinan ke bibir pantai. Sunset menantiku bersama kamera yang siap mengabadikan momen ini.
"Sekarang gantian kamu yang ambil gambarku," kataku.
"Kamu?" tanya Kinan memandangku, bingung, malu-malu.
"Eh, maksudnya gantian loe yang fotoin gue gitu."
"Oh, oke-oke. Pake kamera Kinan, ya?"
"Ini ... pake punya gue aja."
Kusodorkan kameraku yang telah siap mengambil gambar. Tapi, sejenak Kinan tampak heran. Aku sudah berlari menjauh, mendekat ke batas air, sebelum akhirnya dia memanggilku, memastikan apakah kami sedang merekam video?
"Ya. Gue mau bikin kejutan buat seseorang. Rekam aja," sahutku.
Kinan mengangguk. Saat inilah, dengan jantung yang tak kalah gemuruh di kala sunrise tadi, kulakukan gerakan takzim: melukis kalimat di atas pasir. Huruf demi huruf kubentuk sedemikian rupa dengan telapak tangan, hingga membuat perempuan itu mematung, menatapku haru dengan mata beningnya.
"Rano. Ini ... ini apa maksudnya, ya?"
"Ini kejutan, Kinan. Kejutan buat kamu."
Sore itu, bersama sunset yang eksotik, kami kembali ke penginapan dengan hati berbunga-bunga. Ajeng seperti ingin memarahiku, tapi batal gara-gara dia temukan sebaris kalimat di pasir tempatku berdiri: "I Love U, Kinan ...".
Kupandangi punggung gadis itu menjauh, berlari-lari kecil di antara pengunjung Kuta. Aku tahu dia tersenyum. Terima kasih, Tuhan. Antara sunrise dan sunset, keberanianku tumbuh. [ ]

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri