Skip to main content

[Cerpen]: "Giman yang Senang Main Lompat-Lompatan" karya Ken Hanggara



Sebagaimana anak kecil pada umumnya, Giman senang bermain. Kebiasaannya yang sudah dihafal orang adalah senang melompat. Giman senang melompat-lompat seperti kodok. Tidak cuma meniru kodok, dia kadang melompat-lompat meniru monyet. Giman juga senang melompat-lompat meniru binatang lain, seperti kangguru, yang dia lihat di televisi. Tetapi yang paling Giman suka, dia meniru gaya lompatan kodok.
Suatu hari, di sekolah, Giman yang duduk di kelas dua diolok teman-teman karena tidak mau diajak main petak umpet. Giman malah main lompat kodok.
"Nanti kamu lama-lama bisa jadi kodok, lho!" kata Budi, temannya.

Tapi Giman cuek. Dia tetap melompat kodok, sambil sesekali mulutnya monyong, mengeluarkan suara yang mirip kodok; kung, kung, kung! Terus dia bersuara dan melompat, membuat teman-temannya tertawa geli.
Kebiasaan ini mulanya dianggap biasa oleh Sriyati, ibunya. Tapi Sriyati lama-lama cemas. Kalau disuruh mandi, Giman malah lompat kodok. Kalau disuruh main, Giman tidak mau, kecuali main lompat kodok. Dan kalau disuruh ngaji, Giman sering disetrap, sebab Wak Kaji bilang: baca Qur'an tidak boleh sambil jongkok, itu kurang ajar!
Sampai tibalah Sriyati di puncak kecemasan. Siang itu suaminya pulang. Anaknya di dapur main lompat kodok. Sebagai kuli bangunan, pekerjaan yang Sugiyono—begitu orang memanggil nama bapak Giman—pikul tentu berat. Sepanjang jalan pulang ia mengomel sebab sejak pagi belum makan. Maka, sesampai rumah dan melihat Giman makin lama makin bebal, Sugiyono naik pitam. Piringnya kesenggol pantat Giman yang gembul sampai isinya tumpah berceceran.
"Kamu ini anak siapa, Man? Tiap hari main kodok-kodokan aja!" umpatnya seraya meraih bokong Giman, lalu menepuknya keras-keras, berkali-kali. Giman yang keseruan main, kaget lalu menangis. Sriyati menghambur dan menarik anaknya.
"Sudah, Pak! Sudah! Dia anak kita! Jangan dikasari gitu!"
Sugiyono diam. Pembelaan Sriyati pada anaknya kali ini, entah yang ke berapa. Dia tak ingat. Barangkali saking banyaknya. Sejak Giman senang main lompat kodok, Sugiyono sudah tahu anak itu bakal susah diajak main permainan lain. Dan sejak itu pula ia sering bertengkar dengan Sriyati.
Tidak jadi makan, Sugiyono keluar rumah. Tangis Giman makin keras. Anak kecil itu mengira bapaknya pergi karena bertengkar dengan ibunya. Giman tak tahu bapaknya begitu benci lompat kodok. Giman tak tahu, dialah akibat kemarahan itu.
Malamnya, Sugiyono pulang membawa tali. Sriyati keheranan, sebab daun pintu belakang rumah mereka sudah dibetulkan, jadi tidak perlu lagi tali.
"Buat ngikat bocah gemblung itu!" kata Sugiyono spontan. Sriyati tak percaya Giman bakal dapat hukuman itu; diikat di pohon nangka sampai pagi. Lebih-lebih, dia tak percaya suaminya bilang anak mereka sudah sinting.
Giman yang sedang main lompat-lompatan di kamar, melihat bapaknya masuk. Ia hendak mengajak bapaknya main karena bosan tidak ada teman bermain seharian. Tapi Giman menangis ketika sang bapak menyeretnya keluar, sambil berteriak-teriak, "Duh Gusti, salah apa aku? Salah apa?!" Ibunya cuma bisa menyahut, "Nyebut, Pak, nyebut!"
Tapi Sriyati tak berdaya. Dia tidak bisa membela anaknya dari hukuman Sugiyono.
Dan Giman cuma bisa meronta-ronta.
Tangan dan kaki bocah itu diikat di pohon nangka belakang rumah. Ia menangis sejadi-jadinya sebab tidak bisa main lompat kodok sepanjang malam, atau mungkin selamanya? Giman tidak mau itu terjadi. Giman hanya mau main lompat-lompatan.
Warga berdatangan, sementara Giman menjerit-jerit. Suaranya bukan seperti kodok lagi. Kali ini seperti monyet. Walaupun suka main lompat kodok, seperti yang sudah diketahui, Giman juga senang main lompat-lompatan jenis apa pun, kecuali lompat karet, sebab itu mainan anak perempuan.
Sugiyono menarik Sriyati ke dalam. Wanita itu menggeleng, tapi Sugiyono kuat. Cengkeraman tangannya membuat tubuh Sriysati terseret. Malam larut. Mereka harus tidur.
Melihat itu, warga kampung mafhum. Siapa yang mau punya anak seperti Giman? Kalaupun punya, pasti berbuat sama, kecuali yang melahirkan, sebab tak mau disalahkan akibat kejadian entah apa di masa lalu, yang misalnya membawa karma di masa kini. Orang kampung masih percaya itu. Sriyati makin tak berdaya.
Besoknya, Giman masuk angin dan tidak bisa pergi ke sekolah. Tapi Giman tidak peduli urusan sekolah. Dia lebih menyesal tidak bisa bermain lompat-lompatan.
"Kalau Giman sembuh, main kodok-kodokan lagi boleh, Mak?" tanyanya kepada Sriyati, yang hanya dijawab dengan anggukan pelan. Giman belum sadar, bahwa hukuman semalam akibat dia senang main lompat-lompatan. Dan Giman juga belum sadar kalau bapaknya benci kodok.
Di hari-hari berikutnya, Sugiyono mengancam Sriyati, yang dianggapnya tidak bisa memberi pendidikan yang benar kepada anak mereka, hingga menjadikan Giman mirip anak kodok, atau kadang anak monyet, dan bahkan anak kangguru, bukan anak manusia. Sugiyono kesal atas kenyataan itu. Jadi, dia mengancam Sriyati:
"Kalau sekali lagi kulihat Giman main lompat-lompatan, biar kusembelih saja, lalu dagingnya kujual ke rumah makan yang sedia daging kodok itu!"
Sriyati tercekat, tapi dia tidak bisa membantah. Dia tahu watak Sugiyono. Dia tahu, kalau suaminya bilang A, maka yang dijalankan bukan B. Kalau suaminya bilang 'ya', tidak sekali-kali mengubahnya menjadi 'tidak'.
Sejak itu, kecemasan Sriyati berubah jadi ketakutan. Kalau lapor polisi, suamiku minta cerai. Kalau lapor warga, suamiku dibakar, pikirnya. Serba salah. Bertindak ini, salah. Bertindak itu, salah. Sriyati tak tahu cara mengatasi suaminya, selain mengikuti jalan cerita. Sebab, tidak ada yang bisa mengubah pendirian Giman. Sriyati sadar. Kalau dilarang, Giman ngamuk.
Sriyati mencari jalan agar selama Sugiyono ada di rumah, Giman tidak main lompat kodok, atau setidaknya: suaminya tidak tahu kalau Giman main lompat kodok. Akhirnya, ditemukan satu cara yang bisa mengelabui Sugiyono, yaitu: ketika lelaki itu datang, Giman harus main di kandang kambing. Di sana dia bisa bebas lompat-lompatan, sebab Sugiyono tidak akan tahu. Sriyati tinggal bilang pada suaminya bahwa Giman sudah tidur. Tapi, setelah dilakukan, dan karena Sugiyono pulang terlalu malam, Giman jadi kelelahan. Dia tidak sempat cuci kaki sebelum naik kasur sebab ngantuk. Kasur itu jadi bau kambing.
Sriyati kesal. Padahal belum sebulan dia belikan kasur itu buat anaknya. Sekarang malah dikotori. Tapi, salah dia sendiri juga, kenapa Giman disuruh main di kandang kambing?
Sriyati lantas sadar. Bukankah suaminya begitu membenci lompat kodok kesukaan Giman? Katanya, kalau anak itu main lompat kodok, bakal disembelih seperti kodok. Tapi, kalau Giman jadi monyet? Apa bisa monyet disembelih?
Maka, siang itu Sriyati membiarkan Giman main sepuasnya, tapi dengan membujuk anak itu, bahwa hari ini kodok sedang sakit jadi belum bisa main lompat kodok dulu.
"Kapan Giman main lompat kodok?"
"Kalau kodoknya sudah sembuh."
"Berarti Giman tidak bisa main?"
"Bisa, Nak. 'Kan masih ada monyet?"
Lalu berubahlah tingkah Giman jadi seperti monyet. Dia melompat meniru gaya monyet berebut betina. Kakinya menghentak-hentak. Lantai kayu rumah bergoyang. Sriyati mengintip anaknya dari dapur. Ia puas. Kalau seperti ini, tidak mungkin suamiku menyembelih Giman. Dia 'kan sudah jadi monyet. Pasti dia tidak akan marah.
Tapi di luar dugaan, Sugitono justru marah. Giman yang sedang asyik main lompat monyet, oleh karena badannya gemuk, dan oleh karena sejak tadi tidak mau berhenti, lama-lama lantai kayu mereka jebol. Sugiyono yang baru datang, jatuh terjungkal ke sana. Kepalanya benjol. Dia melompat dan langsung menghajar Giman habis-habisan.
"Sudah kubilang jangan main lompat kodok! Apa kamu gak dengar ancamanku? Anak ini bakal kusembelih juga!"
"Tidak bisa, Pak! Itu 'kan kalau Giman main lompat kodok?! Sekarang dia main lompat monyet. Masa Bapak gak tahu cara monyet melompat?"
Sugiyono terpaku. Setelah diamati, dan diingat-ingat pula bagaimana tadi Giman melompat, benar juga. Dia tidak sedang mirip kodok. Bahkan tadi Giman sempat menjerit-jerit seperti monyet kelaparan.
Dengan hati dongkol, Sugiyono mendorong anaknya, yang kemudian ditangkap Sriyati dengan pelukan haru. Air mata membasahi anak beranak itu.
Sriyati tahu, kalau bukan karena Giman anak kandungnya, dia tidak bisa merawat bocah dengan kelainan seperti itu. Kelainan yang kadang terlihat bagai kutukan.
Tapi Sriyati juga sadar, barangkali Sugiyono tahu tapi tidak mau bicara. Barangkali dilema, atau terpaksa? Dua kemungkinan itu sama-sama sial.
Sementara, andai tidak mandul, Sugiyono bisa berbuat lebih. Dia tahu kalau Sriyati pernah tidur dengan lelaki yang bukan suaminya. Tapi dia ingin punya anak, hingga terpaksa mendapatnya walaupun anak itu mirip kodok. [ ]

Pasuruan, 16-17 Oktober 2014

Comments

  1. karya sastra yang bagus. kenapa tidak dipublikasi dan share ke www.radar-indo.com?

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri