Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Kopi Darat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 4 Desember 2016) Jun ke luar kota minggu depan. Ada janji temu dengan Maria, gadis cantik yang dia kenal di Facebook. Maria memang cantik. Jun memamerkan foto gadis itu padaku dan bersumpah bahwa kelak suatu hari, akan lahir bocah-bocah unggulan generasi penerus bangsa dari pernikahan mereka. Sebegitu yakinnya Jun akan menikahi Maria, yang bahkan belum pernah dia temui. Aku toh diam saja dan tidak mengatakan apa-apa pada sobatku ini, tentang betapa orang di zaman sekarang sangatlah sulit dipercaya. Barangkali karena dia sahabatku, dan baru kali ini kutahu Jun menyukai perempuan yang katanya juga menyukainya, maka aku tak tega menyampaikan kemungkinan bahwa Maria bisa saja penipu. "Sebagai sahabat, saya rasa kamu berhak bicara begitu. Ini juga demi kebaikan Jun, dan bukan berarti kamu membuatnya putus asa," kata Lik Karman, pamanku, yang juga tahu betapa malangnya kisah asmara Jun.

[Cerpen]: "Jamur Ajaib Titipan Tuhan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi 20 November 2016) Di bawah meja makan kami, jamur-jamur tumbuh dan bicara. Jamur-jamur langka dan belum pernah ada; bayangkan betapa banyak omong mereka semua. Jamur-jamur itu cerewet seperti kumpulan bocah di taman bermain. Mula-mula, kami tak tahu suara yang setiap malam mendadak muncul itu dari mana. Di bawah meja makan tempat penuh debu dan tahi cicak, tempat yang jarang kami pijak, suara-suara itu lahir. Istriku mengira tetangga baru kami, yang tinggal di rumah sebelah, suatu rumah di seberang tembok persis di sisi meja makan, adalah tipe manusia malam: melakukan hal aneh sampai subuh. "Kerjaannya apa sih? Kita jadi gak bisa tidur!" keluhnya. Itu mula-mula. Aku curiga—mengingat tetangga baru kami itu segar bugar di pagi hari, bahkan berangkat ngantor persis jam enam (biar tidak ketinggalan bus, katanya) —jangan-jangan suara di malam hari bukan dari tetangga itu?

[Cerpen]: "Brenda dan Kisah yang Membingungkan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra edisi 17 November 2016) Hari itu aku tetap berjalan kaki seperti biasa, dan tidak langsung pulang ke rumah, melainkan ke suatu tempat untuk janji temu. Aku lupa kapan terakhir kami membuat janji temu. Tetapi, Brenda sepertinya juga tidak ingat soal itu. Pada akhirnya pertemuan baru terjadi setelah sekian lama kami lupa akan ciri masing-masing yang dulu seakan tidak akan luntur dari kepala. Brenda adalah pacarku. Tapi itu dulu. Dan sekarang anaknya sudah dua. "Kumismu lebih tebal dari terakhir kali kita ketemu," katanya setelah kami bersua. Aku tahu kumisku tidak lebih tebal, dan inilah bukti betapa Brenda tidak lagi ingat segala-galanya tentangku. Aku sendiri memang lupa kapan terakhir kami bertemu, tetapi kurasa dia tidak banyak berubah. "Kamu tetap cantik, dan kulitmu juga tetap bersih seperti dulu," balasku, tanpa ada maksud merayu, karena memang itu kenyataannya. Brenda yang sekarang tetap secantik Brenda yang dulu.

[Cerpen]: "Membenci Rumah Baru" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Jember, Minggu, 13 November 2016) Sering kali Maria mengeluh dan berkata bahwa dia tidak ingin tinggal di rumah itu. Aku katakan padanya, "Kita sudah kehabisan uang, dan tidak mungkin kita kembalikan rumah yang sudah telanjur kubeli." Rumah itu bukan rumah tua dan bobrok. Bangunannya masih kokoh dan orang hanya akan berpikir tinggal di rumah macam itu adalah tinggal di semacam surga. Aku suka rumah itu, dan begitupun anak kami, Brenda, sehingga ketika pertama kali bocah itu kuajak kemari, yang ia bisikkan padaku di dalam mobil saat kami pulang adalah, "Itu benar-benar mirip istana, dan apakah Papa memang ingin membeli rumah itu?" Aku janji pada Brenda, bahwa kami memang akan membeli rumah mirip istana itu, dan tentu saja Maria senang melihat anak kami senang. Brenda berjingkrak-jingkrak dan melupakan makan siangnya, dan bahkan tidak menengok anjing kecilnya yang manis. Maria tidak berpikir apa-apa dan setuju saja dengan semua uru

[Esai]: "Kita Hidup dalam Bilik Zaman" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Rakyat Sultra edisi Sabtu, 5 November 2016)   Generasi muda saat ini hidup di dalam bilik-bilik pembatas zaman. Maksudnya, di antara generasi satu ke generasi lainnya selalu ada pembatas yang membedakan. Semasa saya kecil, misalnya, dapat dengan mudah ditemukan bocah-bocah bermain berbagai permainan tradisional. Namun, hal tersebut amat susah kita temukan di zaman serba gadget ini. Dahulu anak-anak lebih merasa takut berbuat salah, ketimbang hari ini, seakan itu dosa yang harus dihindari. Jikapun tak terhindarkan, harus "tidak boleh ada yang tahu". Dahulu, jika anak-anak berbuat salah dan ketahuan, kemudian ditegur oleh orang yang lebih tua, pasti menunduk dan tidak berani menatap mata si penegur. Beda dengan hari ini. Kondisi sebaliknya lebih banyak kita temui, meski tidak semua begitu. Anak-anak lebih "lepas" dalam membantah dan berargumen. Perkembangan pola pikir manusia dari waktu ke waktu berpengaruh besar. Itu bermula dari berkembangnya te