(Dimuat di Radar Jember, Minggu, 13 November 2016)
Sering kali Maria mengeluh
dan berkata bahwa dia tidak ingin tinggal di rumah itu. Aku katakan padanya,
"Kita sudah kehabisan uang, dan tidak mungkin kita kembalikan rumah yang
sudah telanjur kubeli."
Rumah itu bukan rumah tua
dan bobrok. Bangunannya masih kokoh dan orang hanya akan berpikir tinggal di
rumah macam itu adalah tinggal di semacam surga. Aku suka rumah itu, dan
begitupun anak kami, Brenda, sehingga ketika pertama kali bocah itu kuajak
kemari, yang ia bisikkan padaku di dalam mobil saat kami pulang adalah,
"Itu benar-benar mirip istana, dan apakah Papa memang ingin membeli rumah
itu?"
Aku janji pada Brenda,
bahwa kami memang akan membeli rumah mirip istana itu, dan tentu saja Maria
senang melihat anak kami senang. Brenda berjingkrak-jingkrak dan melupakan
makan siangnya, dan bahkan tidak menengok anjing kecilnya yang manis.
Maria tidak berpikir
apa-apa dan setuju saja dengan semua urusan yang kutangani sendiri bersama
pemilik rumah dan notaris. Segalanya berlangsung lancar, dan akhirnya rumah itu
pun resmi menjadi milik kami.
Ketika itu Maria berkata,
"Aku percaya rumah pilihan Brenda sesuai dengan yang kita inginkan. Brenda
senang, aku senang."
"Dan aku juga
senang," kataku.
Tapi, begitu kuajak istriku
ke rumah baru kami, ia merasa ada yang janggal. Tidak ada yang Maria katakan
kepadaku, namun aku tahu gerak-gerik istriku menunjukkan dia sama sekali tidak
nyaman berada di sana.
Tentu saja rencana membeli
rumah bukan sekadar rencana, sebab tabunganku yang begitu besar jumlahnya itu,
tidak akan kugunakan untuk hal yang sia-sia. Rumah mirip istana impian Brenda
inilah yang memang seharusnya kami miliki. Sebab, rumah yang sebelumnya kami
tinggali, sebentar lagi akan dijual oleh saudaraku yang memang punya hak atas
rumah tersebut. Perkara warisan; aku tidak berhak menghalang-halangi usaha
seseorang yang ingin mendapat uang atas rumah yang sudah menjadi haknya.
Barangkali karena itu Maria
tidak enak hati, dan kemudian menerima saja keadaan baru di rumah yang juga
baru. Istana bagi Brenda tidak selalu istana bagi kepala orang dewasa. Istana
bagi anak-anak adalah tempat yang sekilas terlihat menyenangkan dan luas. Rumah
yang baru akan kami tempati ini tidak tergolong mewah, namun cukup luas dan
memiliki beberapa taman terbengkalai. Aku berharap Maria bisa menekuni hobinya
dengan berbagai bunga di sana.
Setelah kami benar-benar
pindah, sebab rumah sebelumnya sudah dijual saudaraku, Brenda merasa sebentar
lagi dia migrasi ke surga. Aku tadinya tidak menyadari, yang istriku pikirkan
justru sebaliknya. Maria merasa dia digiring pergi ke suatu neraka. Aku tidak
tahu masalahnya. Aku tidak pernah mendengar cerita bahwa dahulu Maria pernah
punya pengalaman janggal, seperti mampu melihat masa lalu dan kisah-kisah tak
masuk akal para makhluk penghuni dunia lain.
Aku tidak pernah berpikir
sejauh itu, namun Maria menunjukkan gelagat tersebut.
Suatu malam, melihat Maria
masih resah, kutanya apa yang membuatnya begini.
"Aku rasa rumah ini
tidak lebih baik dari rumah 'pinjaman' yang kita tempati empat hari yang
lalu," katanya.
"Rumah itu justru
membuatku mengira Brenda tidak akan sebebas yang kita berdua harapkan. Anak itu
punya masa depan. Dan rumah luas dengan taman ini memberikan semua yang Brenda
butuhkan," sahutku dengan tegas.
Beberapa malam berlalu,
Maria sering tidur sambil mengigau. Ia mengeluh, tentu itu terjadi dalam
tidurnya. Ia mengeluh dan berkata tidak ingin tinggal di rumah baru ini, dan
kukatakan padanya seolah-olah ia tidak sedang terlelap ketika itu, bahwa kami
tidak punya lagi uang, dan mencari pembeli rumah tidak semudah merobek selembar
kertas.
Seandainya saja
mengembalikan kondisi Maria yang ceria cukup dengan merobeki setiap lembar
kertas yang ada di rumah ini, tentu itu sudah kulakukan. Akan kukerjakan tugas
merobeki kertas ini semalam penuh, sampai tak ada lagi kertas di rumah ini yang
dapat dirobek-robek. Hanya saja, itu cuma khayalan lelaki yang putus asa.
Aku mengira Maria mungkin
diganggu oleh semacam makhluk gaib dan tak kasat mata, dan pastinya istriku
memiliki semacam kemampuan melihat dunia di luar dunia para manusia. Esoknya
kukatakan pendapatku pada Maria, dan dia malah memandangi wajahku dengan kesal.
"Kamu tidak tahu, dan
mungkin tidak perlu tahu!"
Tidak pernah Maria
membentakku, tapi itu memang terjadi. Untuk pertama kalinya, Maria membentak
suami yang selama ini ia perlakukan dengan lembut dan penuh kasih sayang.
Brenda mulai kehilangan
selera bermainnya, setelah tahu Maria yang beberapa hari pertama sakit, setelah
terlihat sehat-sehat saja, malah tidak mau diajak bermain. Brenda mau Maria
menemaninya membersihkan taman. Brenda juga mau Maria membantunya menghias
beberapa pojok taman dengan beberapa benda penghias yang anak itu beli di toko
dekat sekolahan. Anak itu memang serius ingin menghiasi istana versinya, dan
itu ia lakukan dengan memakai uang jajannya. Maria yang terus-terusan menolak,
membuat Brenda putus asa dan berkata, "Rumah ini bukan istana, dan aku
tidak suka rumah yang tidak mirip istana!"
Aku bingung menghadapi
istri yang resah namun tidak mau bercerita mengapa dia bisa begitu. Aku bingung
menghadapi anak yang malas pergi ke sekolah, dan mengeluh ingin tidur saja
seharian, karena toh nanti pulang dari sekolah tidak ada yang mau diajak main
seperti biasa.
Aku memang yakin ini
terjadi bukan karena apa, tetapi ada kekuatan negatif yang bersifat gaib,
sedang melingkupi keluarga kami. Aku pergi ke beberapa teman dan tidak ragu
bercerita soal ini. Mereka beberapa menyuruhku pergi ke psikiater, dan beberapa
ada yang menyodorkan kartu nama berbagai paranormal terpercaya yang mungkin
bisa memberiku solusi.
Aku memilih pergi ke salah
satu paranormal, yang namanya pernah kudengar tiga kali ketika zaman masih
kuliah dulu. Paranormal ini tinggal di kota sebelah dan konon ia pernah
mengembalikan keharmonisan rumah tangga pejabat publik yang retak selama
delapan tahun akibat guna-guna. Aku tidak tahu benar-tidaknya kabar burung
tersebut, tapi kurasa itu bisa menjadi bahan pertimbangan.
Memasuki ruangan paranormal
tersebut, aku menghirup bau ganjil, dan merasa ini semua memang harus kualami
agar segera berakhir keresahan Maria dan kemurungan Brenda. Demi istri dan
anak, aku rela menghirup bau ganjil yang membuatku mual.
Kubilang, "Istri saya
diganggu makhluk tak kasat mata. Dia bilang tidak ingin ada di rumah dan
sebagainya, tapi itu terjadi ketika Maria tidur. Dan kemudian Brenda, anak
saya, juga kena pengaruhnya. Maria tidak mau diajak bermain, lantas Brenda
mengira mamanya tidak lagi sayang."
Paranormal itu
manggut-manggut lalu bertutur tentang suatu kisah yang tidak tahu apa. Kurasa
itu tidak terlalu punya hubungan dengan masalahku, tapi toh tetap saja aku
duduk dengan tenang dan mendengarkan. Setelah paranormal itu selesai bercerita,
dia memberiku sebotol air mineral yang katanya sudah diberi doa-doa.
"Minumkan ke Maria
tanpa dia sadari. Maksud saya, beri dia minum tanpa dia tahu bahwa minuman ini
datang dari saya dan sudah saya beri doa-doa."
"Efeknya?"
"Wah, tidak bisa
langsung. Saudara berikan saja, dan nanti Anda tunggu hasilnya."
Maka aku pun pergi dan
mematuhi saran paranormal tersebut. Maria tidak pernah tahu dan sadar bahwa
dalam tiap kesempatan, ke dalam gelasnya kutuang sedikit demi sedikit air
mineral yang sudah diberi doa oleh sang paranormal.
Setelah air mineral dalam
botol tersebut habis, kurasa tidak ada perubahan. Aku tak tahu bagaimana
pekerjaan seorang dukun dan semacam itu bisa dengan mudah diyakini, padahal
mungkin saja beberapa dari mereka sekadar penipu. Dan aku menyesal karena sudah
membawa diriku sendiri untuk menjadi korban penipuan. Kenyataannya Maria masih
sudah mengigau dan berkata bahwa sebaiknya kami tidak usah tinggal di rumah
baru ini, dan bahwa sesuatu yang jahat membuatnya tidak tenang hampir setiap
waktu.
Aku tidak tahu sesuatu yang
jahat ini apa. Aku ingin tahu, tetapi tidak ada petunjuk apa pun yang bisa
kupedomani. Aku marah dan akhirnya suatu hari kubentak istriku. Di rumah baru
ini, letak dapur terpisah dari bangunan utama, dan seorang harus melewati
lorong bernaung atap terlebih dulu untuk dapat mencapai dapur. Brenda tidak
akan tahu soal ini jika memang kami harus bertengkar.
Maria hanya bisa menangis
dan jongkok di bawah kompor yang sedang menyala. Semakin kudesak, semakin keras
tangisnya. Dan setelah kumatikan kompor, kuajak dia masuk ke kamar. Maria tidur
seharian itu setelah ia menangis kira-kira selama setengah jam.
Brenda bertanya-tanya di
mana Mama, dan kenapa menangis. Kujawab dengan apa saja yang dapat kukatakan,
yang membuat anak itu tenang. Aku berbohong demi suatu hal yang belum pasti.
Begitu Maria bangun, ia
mulai bercerita tanpa kuminta, bahwa dahulu, di rumah ini, pernah terjadi
sebuah peristiwa mengerikan yang membuatku tidak pernah berkenalan dengan dua
orangtua Maria. Perampokan dan pembunuhan sadis itu. Dia pergi ke lemari dan
mengambil beberapa klipingan koran lama, yang disimpan di koper pribadinya. Aku
tidak pernah tahu soal kliping itu. Aku tidak pernah betul-betul memeriksa
koper Maria yang sudah menjadi istriku selama kurang lebih tujuh tahun.
Pada akhirnya yang bisa
kulakukan hanya memeluk Maria, dan berbisik, "Bahwa masa lalu adalah masa
lalu. Mungkin tempat ini dulu neraka buatmu, asal usul trauma dan segala macam
yang buruk di hidupmu. Tapi, Brenda punya kesempatan."
"Oh, ya?"
"Ya. Setiap orang
punya kesempatan meninggalkan jejak-jejak baik. Kurasa kamu hanya perlu
menemaninya menghapus setiap jejak buruk yang dulu pernah ada." []
Gempol, 7 November
2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan
nasional.