Skip to main content

Posts

Showing posts with the label sastra

Ali Sabidin Menengok Bayinya

(Dimuat di magrib.id pada 24 November 2019)   Ali Sabidin menerima kabar gembira tentang kelahiran anaknya. Dia pulang malam itu dengan menumpang bus terakhir jurusan ibu kota. Sepanjang perjalanan, tidak ada yang dipikirkan lelaki itu selain bahwa bayi yang baru saja dilahirkan istrinya adalah bayi laki-laki.   Ali Sabidin sangat bahagia atas kabar kelahiran ini, karena pernikahannya dengan Marlena berlangsung hampir empat belas tahun. Tak ada seorang pun bayi yang mereka dapatkan sampai sejauh itu. Entah berapa banyak mulut membicarakan tentang ini, tapi lama-lama sepasang suami istri tersebut tak lagi peduli. Bahkan, suatu saat, Ali Sabidin pernah begitu meyakini betapa dia tidak ditakdirkan memiliki keturunan sampai tua dan mati.   Sekarang, kabar ini tiba-tiba bagai setetes air di tengah gurun yang mengepungnya selama empat belas tahun terakhir. Biasanya Marlena akan selalu kehilangan bayi pada detik-detik terakhir ketika seorang bayi seharusnya muncul dari rahim ibunya

Kota-kota yang Telanjur Rusak

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 24 November 2019)   Seorang pengarang merasa telah selesai dengan seluruh misinya. Suatu malam dia pergi ke kota tanpa nama, yang cukup jauh dan tak terjangkau oleh orang-orang terdekat, dan memulai hidup baru dengan identitas lain. Sepanjang perjalanan tak ada yang lelaki itu pikirkan selain apa yang akan dia temui nanti. Dia sama sekali melupakan segala hal yang telah dia capai selama hidup menjadi seorang pengarang. Dia bahkan tidak peduli andai orang-orang terdekatnya akan kacau hidupnya karena dia mendadak hilang. Lagi pula, bukankah sejak dulu dia memang seharusnya hilang? Dan pula, orang-orang dekat itu juga tak ada hubungan apa-apa selain sebagai sekumpulan manusia dengan perasaan serupa demi memperjuangkan sesuatu yang mereka anggap benar.   Urusan ini, kini, menjadi terlalu sederhana baginya, dan biarlah begitu kalau saja takdir mengizinkan. Semoga orang-orang di seluruh permukaan bumi tak mengenang ia sebagaimana seharusnya. Semoga

[Cerpen]: "Sumur" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 8 November 2019)   Penggali sumur itu tiba-tiba lenyap ditelan lubang selebar satu meter. Tak ada yang tahu persisnya bagaimana dia lenyap; Murbani hanya tahu pria tersebut merangkak ke dalam lubang untuk melanjutkan pekerjaan, dan ketika ia mengajak ngobrol sang penggali, sudah tak ada seorang pun di sana.   Lubang itu kini benar-benar gelap. Cahaya senter yang kami sorotkan padanya tak mampu menyentuh dasar sumur. Bahkan kami juga tak mendengar suara apa-apa begitu Murbani dengan kesal melempar sebongkah batu bata ke dalam sana. Seandainya dasar itu berupa tanah, setidaknya penggali kami masih terjangkau oleh cahaya senter. Namun, yang kami jumpai hanya kegelapan yang dikelilingi dinding tanah.   Aku dan Murbani sama-sama bukan tukang gali sumur. Kami dua bersaudara yang membuka toko akuarium dan tidak pernah berurusan dengan pekerjaan yang menguras tenaga. Itulah kenapa kami membayar seorang tukang gali sumur untuk membuat sumur baru ba

[Cerpen]: "Doa tentang Anjing dan Kematian" karya Ken Hanggara

(Dimuat di ideide.id pada Selasa, 5 November 2019)   Jika di dekat sini ada anjing, aku harap anjing itu mengendus sesuatu. Aku harap anjing itu bisa mengendus sesuatu dan sekaligus bersama dengan seseorang yang waras. Tidak dapat kubayangkan jika anjing yang melintasi bagian depan bangunan bobrok ini pergi sendiri atau ditemani lelaki atau perempuan gila. Tak ada yang lebih buruk dari itu. Barangkali tak ada yang lebih buruk dari itu. Jika sebatas itu yang terjadi, aku juga tidak mungkin pulang dalam waktu dekat. Bahkan boleh jadi aku tidak pulang selamanya dan baru pulang dalam wujud lain di hari kiamat kelak, ke tempat yang sangat jauh dan tak terjangkau. Membayangkan itu aku takut. Anehnya punggung dan leherku tidak merasa ada getaran yang aneh. Dulu dan kapan pun sebelum aku berhenti di titik ini, seseorang atau apa pun akan dengan mudah membuat punggung dan leherku berkeringat dalam getaran yang aneh. Rasa takut memunculkan sensasi tak nyaman. Saat ini, sensasi itu hany

[Cerpen]: "Menjelang Perang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tribun Jabar edisi Minggu, 27 Oktober 2019) Pada suatu malam di mimpi seorang bajingan, sesosok Dosa berjingkat-jingkat dan sembunyi di atas loteng. Berharap menemukan mangsa. Ketika itu sebuah negeri sedang porak-poranda. Ketimpangan di mana-mana. Darah tumpah oleh harta dan tahta. Setiap kepala cemas terlepas dari badan cuma untuk salah bicara. Sesosok Dosa termenung di pojok pasar dan bertanya kenapa Tuhan menciptanya dengan keburukannya? Manusia-manusia terbagi menjadi dua: untuk surga dan neraka. Dosa tahu, si neraka rakus dan biasanya mendapat jatah paling banyak. Dalam mimpi seorang bajingan, tidak perlu ada Pahala. Ia diringkus polisi rahasia pada zaman dahulu kala, dibawa ke tepi negeri, digebuki, diludahi, diceramahi, sebelum akhirnya digantung di tebing dekat laut dalam keadaan setengah sadar setengah mampus. Maka, jadilah santapan burung pemakan bangkai. Kini, bila engkau mencoba mencari tulang belulang Pahala, jangan harap pulang dengan selamat.  

[Cerpen]: "Ikan-ikan Kiriman Tuhan" karya Ken Hanggara

Gambar dari fineartamerica.com (Dimuat di Solopos edisi Minggu, 20 Oktober 2019)   Kamari membawa pulang ikan-ikan di sebuah karung. Karung itu bukan miliknya, akan tetapi, karena hari telah petang dia pikir ikan-ikan yang ditemukannya ditakdirkan jadi miliknya. Dia tertimpa banyak masalah. Begitu menemukan ikan-ikan ditelantarkan, dia anggap tangan Tuhanlah yang telah bekerja. "Tuhan membantuku lewat sekarung ikan!" Dengan berbekal ide bagus untuk mengenyangkan anak-anaknya, Kamari tak ingin lama-lama berada di jalan. Dia kebut langkahnya dan dengan demikian ikan-ikan dalam karung tersebut selamat dan tidak luput dari tangannya. Siapa tahu seseorang mendadak mencegat dan bilang, "Ikan-ikan saya kenapa diambil?!"

[Cerpen]: "Pelukan Terakhir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Bangka Pos edisi Minggu, 13 Oktober 2019) Suatu hari aku tiba di titik puncak kebencian pada diriku sendiri dan semesta. Telah lama kupikirkan untuk mengakhiri hidup dengan segala macam cara; aku bisa saja mati dijerat tali yang kusiapkan di toilet terbengkalai atau tenggelam bersama sekarung batu menuju dasar sebuah danau di tepi kota yang jarang dijamah manusia atau terbakar oleh amukan api dahsyat di sebuah apartemen oleh rekayasa tangan dan otakku sendiri atau menenggak sejumlah besar pil dengan beragam jenis dan ukuran dan berbaring di kasur di kamarku selagi menunggu reaksi obat-obat itu untuk menghabisiku dari dalam atau kujatuhkan tubuhku dari gedung setinggi ratusan meter atau mungkin saja aku juga bisa mengakhiri hidup dengan menusuk tubuh sendiri dengan pedang sebagaimana cara yang telah lama dianggap sebagai cara terhormat untuk bunuh diri di Jepang, tetapi aku akui, aku tak cukup berani untuk memulai. Aku tak ada harapan apa pun untuk memperbaiki hidupk

[Cerpen]: "Kabur" karya Ken Hanggara

(Dimuat di biem.co , 7 Oktober 2019) Suatu hari aku kabur dari rumahku yang penuh dengan binatang. Aku tidak mampu tinggal lebih lama, meski sebenarnya dulunya rumah tersebut adalah milik ibuku. Tapi, ibuku mati di suatu subuh yang dingin. Kata orang, sebenarnya ibuku mati jauh sebelum itu dan tentunya saat kutemukan, tubuhnya sudah benar-benar beku. Bagaimana bisa tidak ada yang tahu sama sekali kalau ibuku mati sejak dua hari sebelum ditemukan adalah karena beberapa binatang mulai masuk dan menghuni rumah kami. Beberapa binatang itu tidak seperti binatang umumnya yang bisa ditemukan di jalanan. Mereka cukup berbeda dan mempunyai otak serupa otak manusia, sebab ada yang bisa bermain gitar, ada juga yang bisa menyetir mobil, dan bahkan beberapa dari mereka bisa menghajarku setengah mati. Aku tak berani melawan para binatang yang tahu-tahu menguasai rumah ibuku itu. Bukan hanya karena jumlah mereka lebih banyak dan tenaga mereka lebih besar dariku, melainkan juga karena ayah

[Cerpen]: "Api Diana" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Galeri Buku Jakarta pada 24 September 2019)   Aku ingin bercinta sampai mati, tetapi acara bedah buku itu sudah berakhir. Diana dan aku harus bergegas, dan kepada tuan rumah yang juga sekaligus pembicara utama di bedah buku kali ini, kukatakan dengan wajah tanpa dosa: "Sering-seringlah menerbitkan karya dan undang aku seperti malam ini."   Aku hanya bercanda. Penulis yang juga sahabatku itu pacar Diana, dan aku bukan jenis pemain yang suka menantang bahaya. Berhubungan intim dengan pacar sahabatmu pada waktu bersamaan, di bangunan yang seatap dengan suatu acara penting yang mana sahabatmu itu menjadi rajanya, adalah kekurang-ajaran yang pantas mendapat ganjaran. Aku tidak berharap ganjaran berat kelak menimpaku.  

[Cerpen]: "Rahasia yang Terkubur" karya Ken Hanggara

(Dimuat di nyimpang pada 21 September 2019)   Tante Mei memaksa menembus hutan di belakang rumah dengan kami temani, dan membangun tenda dan hidup di sana dengan hasrat mencari suaminya yang tiba-tiba tak ada kabar. Om Han, paman kami, tidak senang mabuk dan tidak pernah terlihat keluar dengan wanita lain.   Kepada Tante, kukatakan, "Banyak hal yang dahulu terdengar mustahil, akan selalu mungkin terjadi."   Tentu saja bukan cuma aku yang mengatakan itu. Beberapa orang di keluarga kami setuju dengan pendapatku dan mengira Om Han memang pergi karena bosan, dan bukan hilang dimangsa sesuatu di hutan itu. Tante Mei perempuan menarik. Ia masih cantik walau sudah menginjak usia kelima puluh. Aku tahu, jika dulu lahir dan hidup semasa dengannya, barangkali Om Han jadi saingan terberatku. Aku membayangkan itu karena tanteku dulu terkenal sebagai bunga desa.

[Cerpen]: "Doa Seorang Kekasih yang Terjebak Hujan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi Minggu, 22 September 2019) Hujan sore ini salah kirim. Mestinya Tuhan menuang hujan di tempat lain, bukan di tempat sepasang kekasih bikin janji. Paling tidak Tuhan menunda empat atau lima jam, hingga kencan itu kelar dan sepasang kekasih tiba di rumah masing-masing dengan pikiran melantur ke mana-mana. Baru setelah itu hujan boleh turun. Tentu orang pacaran pasti senang. Orang kelewat senang—gara-gara sang pacar secantik bidadari langit ketujuh—biasanya suka melantur. Misalnya, orang bicara sandal, yang dia pikir malah bantal, dan saat membahas sepak bola malah dikira kepala sekolah. Begitulah kira-kira bayangan saya soal akhir sore yang manis bagi para pengencan. Namun, itu kalau tak ada hujan. Sayang sekali, hujan sore ini makin deras. Tuhan suka bermain-main. Saya bayangkan Tuhan tertawa melihat saya merana. "Motorku rusak, oh, Tuhan. Bagaimana bisa ke rumah Maria kalau begini?" Saya mengeluh, tetapi tetap tenang dan

[Cerpen]: "Menjadi Martir Bukan Perkara Gampang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Fajar Makassar edisi Minggu, 22 September 2019) Mugeni, lelaki bertubuh pendek itu, sudah bertahun-tahun melajang, dan di pagi itu ia sudah sampai pada pemikiran kalau ia tidak akan dapat menikahi seorang pun wanita. Ia putus asa dan mempertimbangkan untuk bunuh diri saja. Ada beberapa faktor yang mesti dipikirkan, tetapi selang beberapa malam, keputusan diambil: ia harus mati. Di tepi sebuah balkon, angin menghantam wajah dan kumis Mugeni. Seandainya saja lelaki itu bisa mengajak seseorang bicara, ia ingin bersumpah keras-keras betapa baru saja ia menghirup aroma surgawi. Sebuah aroma yang menghantarkan pada perasaan damai tak terkira. Sebuah perasaan yang jarang ditemui seumur hidupnya.

[Cerpen]: "Kiamat dan Murbani" karya Ken Hanggara

"La Mort da Marat" karya Jacques Louis David (Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 1 September 2019) Murbani membayangkan dunia beserta isinya hancur lebur setelah dia tertidur. Dia tak berharap apa-apa. Lagi pula, tiada sesuatu pun yang tersisa untuk dia sesali hari ini. Dia boleh saja hilang tidak berbekas di antara puing-puing semesta. Dia juga boleh saja tiba-tiba melesat melintasi berbagai titik yang tak pernah dibayangkannya, untuk diantar ke gerbang surga atau neraka. Bahkan, dia sendiri mulai tidak yakin jika nanti hidupnya akan tetap berlanjut meski dunia telah berakhir, sehingga yang bisa dia bayangkan cuma satu: bahwa setelah dia tertidur kali ini, nanti, tak akan ada lagi sesosok makhluk atau jiwa bernama Murbani, karena dia telah lebur menjadi debu dan tiada untuk selamanya. "Jika aku seekor binatang, aku akan menjadi debu dan tiada untuk selamanya. Tapi, tidakkah menyenangkan jika aku masih boleh menjadi debu dan tiada untuk selamanya meski aku bu

[Cerpen]: "Mayat Anjing di Jembatan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kurung Buka pada Minggu, 25 Agustus 2019) Kalau bukan karena ada yang menggantung mayat anjing di jembatan itu, aku tidak pulang membawa boneka Barbie dan sebungkus donat rasa cokelat buat anakku malam ini. Anjing mati tidak ada hubungannya dengan hadiah ulang tahun. Anjing mati hanya peristiwa biasa. Yang membuatnya tak biasa adalah: anjing itu digantung. * Aku nyaris putus asa dan memenuhi sumpah pada diri sendiri, bahwa mulai nanti malam aku tidak akan menyapa Tuhan. Akan kubakar kitab suciku dan kutetapkan sejak detik itu aku tak lagi bersembahyang.

[Cerpen]: "Tidur Terbaik" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Janang.id pada Minggu, 25 Agustus 2019) Malam ini aku harus menginap di rumah sakit demi menunggui mertuaku yang kini sedang menjalani opname. Sebenarnya sudah kali kedua ini aku menjaga beliau, tapi tak tahu kenapa rasa-rasanya aku malas berangkat. Rasanya kepalaku penuh dengan urusan pekerjaan yang sedang di ujung tanduk. Tapi, mengingat aku sudah menganggap mertua seperti orang tua kandung sendiri, apa pun kondisiku, aku harus berangkat. Begitu tiba di kamar di mana mertuaku dirawat, kepalaku tak lagi sakit dan urusan kantor berasa lenyap. Kamar tempat mertuaku ini dihuni empat pasien, yang aku tahu beberapa di antaranya bukan orang asli kota ini. Biasanya beberapa dari penjenguk dan penunggu pasien-pasien lain turut berjejalan di kamar yang sebenarnya tidak luas ini.

[Cerpen]: "Janin Badai" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Galeri Buku Jakarta pada 21 Juni 2019) Di perutku badai asing tumbuh dan beranak-pinak. Hitam, garang, dan liar. Jika ia mengamuk, badanku berputar seratus delapan puluh derajat; kepala di bawah, kaki melayang. Ketika badai itu reda, hidupku hambar. Dan saat ia marah, aku mau mati saja. "Badai asing melukaiku," ujarku tersengal-sengal, "jadi kubunuh dia." Tapi, kata Ibu, kalau kamu bunuh badai di perutmu, bisa saja kamu yang mati. Aku takut dan belum tentu Tuhan menaruhku di surga kalau aku mati. Tapi badai ini sudah keterlaluan. Di perutku ia menggila. Tak tahu apa yang badai itu mau atau bagaimana ia beraktivitas hingga seolah-olah kulihat gambaran: lumatan nasi di lambung campur baur dengan cairan asam berlebih akibat derasnya badai. Selama badai marah, aku melingkar di kasur, berputar-putar mirip gasing. Kadang diam dan memejamkan mata, atau mengejan dengan maksud mengusir badai itu, dengan harapan bisa kentut, meski ternyata tidak. Sakit

[Cerpen]: "Tentang Maria, Gedung Bioskop, dan Buku Harian yang Tertinggal" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: Getty Images - The Lovers by Rene Magritte (Dimuat di Galeri Buku Jakarta, pada 12 Juni 2019)   Pada sore hari setelah Maria pergi, aku duduk di teras dan membuka-buka sebuah buku harian. Di sampul depan buku harian tersebut terdapat suatu cap yang dahulu aku buat di sana untuk kenang-kenangan agar Maria tak melupakanku. "Ini hadiah dariku, Bung," kataku kepada seorang tetangga. "Kau yakin kalian benar-benar saling mencintai?" Aku berdiri dan mengajaknya masuk ke ruang tamu. Toni tetangga baruku, dan ia belum pernah menyapa Maria. Tiga hari yang lalu Toni datang dengan membawa mobil pick up berisi berbagai perabot, dan kepadaku yang kebetulan berada di teras rumahku, ia mengaku semua benda tersebut warisan. Ia akan tinggal di rumah sebelah yang sudah sepuluh tahun lebih kosong. Aku mengenal Toni sejak itu, dan karena ia bujangan, aku bisa mengajak pemuda itu mengobrol apa saja sampai larut malam. Maria tidak pernah mau kuajak bercumbu

[Cerpen]: "Istri Politikus" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1641, Agustus 2019) Sejak sukses menjadi politikus, suamiku tidak pernah lagi menghabiskan waktu di rumah bersamaku untuk sekadar minum teh atau membaca buku berdua. Dulu kami tak pernah meninggalkan kebiasaan itu: membaca buku bersama dan membicarakan tentang buku itu hingga berjam-jam sampai tidak terasa malam sudah terlalu larut dan kami pun menutup buku dan saling menghangatkan di balik selimut sampai tidur. Dulu, sore hari, dua cangkir teh membawa kami berkelana ke masa lalu saat kami masih pacaran. Di masa itu, harga semangkuk bakso adalah harga sebuah keromantisan. Kami tertawa mengenang semangkuk bakso untuk berdua atau apa pun yang berkaitan soal kondisi dompet dan asmara kami, hingga dua cangkir teh tidak pernah terasa cukup. Di meja kami tersedia teko yang penuh terisi teh hangat. Ketika teh yang dituang mulai menjadi dingin, kami tidak lagi peduli dan tetap tenggelam dalam obrolan soal masa lalu hingga hari menggelap. Pada saat sepert

[Cerpen]: "Misteri Kamar Tamu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 5 Agustus 2019) Aku tidak bisa tidur karena setiap malam selalu saja ada suara-suara aneh dari arah kamar tamu. Aku tahu kamar tersebut adalah kamar terbusuk yang ada di rumahku ini. Aku sengaja membeli rumah dengan harga murah, karena uang yang kudapat dari jual warisan Bapak tidak banyak. Aku masih menganggur dan butuh modal membangun toko cat. Dengan harga semurah apa pun, sebuah rumah akan kubeli selama itu pantas. Nyatanya, rumah yang kubeli ini pantas. Kondisinya baik, bahkan beberapa ruang bersih dan seperti belum lama direnovasi. Hanya saja, ada salah satu kamar yang terlihat kotor. Kata mantan pemiliknya, "Seharusnya itu kamar tamu. Hanya saja, karena tidak ada ruang buat menampung barang rongsokan, untuk sementara jadi gudang. Jika Anda mau, silakan saja dibereskan." Pada saat itu aku hanya mengangguk. Jarak dua atau tiga hari setelah menempati rumah ini, muncul pikiran bahwa sebaiknya kamar tersebut memang harus kuberesk

[Cerpen]: "Tentang Belly" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 28 Juli 2019) Kami memanggilnya Belly. Dia senang membunyikan bel di setiap pintu di lantai ini dan konon itulah yang membuat orang menyebutnya Belly. Tidak pernah ada yang tahu nama aslinya. Bagi Belly itu tak penting. Ia tak waras, tetapi pintar bernyanyi dan murah senyum. Suatu malam, Belly bernyanyi di depan kamarku. Waktu itu jam satu dini hari dan aku belum tidur, padahal jam 7 harus ke bandara untuk urusan penting. Belly bernyanyi seakan lingkungan sekelilingnya dipadati penonton. Seakan ia benar-benar berdiri di atas panggung. Beberapa tetangga memarahinya. "Dulu kami mengikatnya di gudang, dekat pipa-pipa busuk itu, tetapi kami kasihan dan membiarkannya nyanyi sepanjang malam di lorong. Besoknya kami kelelahan dan tak ada yang peduli apa Belly tidur ditemani hantu atau tidak di gudang itu," kata John, salah seorang tetangga. Aku tahu banyak tentang Belly dari John, sebab ia pengangguran, tetapi mengaku sebagai pengamat