Skip to main content

[Cerpen]: "Doa tentang Anjing dan Kematian" karya Ken Hanggara

(Dimuat di ideide.id pada Selasa, 5 November 2019)
 
Jika di dekat sini ada anjing, aku harap anjing itu mengendus sesuatu. Aku harap anjing itu bisa mengendus sesuatu dan sekaligus bersama dengan seseorang yang waras. Tidak dapat kubayangkan jika anjing yang melintasi bagian depan bangunan bobrok ini pergi sendiri atau ditemani lelaki atau perempuan gila. Tak ada yang lebih buruk dari itu. Barangkali tak ada yang lebih buruk dari itu. Jika sebatas itu yang terjadi, aku juga tidak mungkin pulang dalam waktu dekat. Bahkan boleh jadi aku tidak pulang selamanya dan baru pulang dalam wujud lain di hari kiamat kelak, ke tempat yang sangat jauh dan tak terjangkau.

Membayangkan itu aku takut. Anehnya punggung dan leherku tidak merasa ada getaran yang aneh. Dulu dan kapan pun sebelum aku berhenti di titik ini, seseorang atau apa pun akan dengan mudah membuat punggung dan leherku berkeringat dalam getaran yang aneh. Rasa takut memunculkan sensasi tak nyaman. Saat ini, sensasi itu hanya ada dalam wujud yang tak dapat kurasakan selain kupikirkan. Segalanya kian buruk, karena aku sadar aku tak dapat kembali ke masa-masa itu.
 

Aku tak bisa kembali karena menuruti ucapan seseorang suatu sore di suatu telepon: "Datang ke bawah jembatan. Jam delapan."
 
Aku takut terseret ke pengadilan, yang pasti merepotkan bisnis dan keluargaku. Aku datang dan 
berharap sebuah penyelesaian ditemukan. Kuharap sejumlah uang dapat membuat orang-orang itu membiarkanku pergi. Tetapi, aku dibawa pergi dengan mobil dan kemudian berakhir di tempat ini.
 
Di sini tidak ada toko atau lalu lalang manusia. Tidak ada rumah makan atau toilet umum atau tempat semacam kios service televisi yang berdiri selama tiga dekade di pojok pertigaan dekat rumahku, yang tak lagi disambangi orang sebab pada saat ini pemilik kios itu pikun dan tinggal sebatang kara tanpa anak istri yang dengan sengaja mencampakkan dirinya. Aku dengar sedikit cerita soal pria tua itu dari beberapa orang di lingkungan rumahku dan aku merasa betapa kasihan dia. Sekarang aku mengasihani diriku sendiri.
 
Apa yang terjadi padaku tidak lebih baik dari yang dialami pria tua penyepi itu. Dulu aku sering membayangkan, jika tidak sengaja melintasi kios service televisi itu, soal betapa mendungnya pikiran si pria tua atau betapa kosongnya dada yang lama tak ada kehidupan bersama keluarga. Aku curiga orang itu diam-diam memiliki rencana bunuh diri suatu hari nanti, tapi karena belum menemukan cara yang tepat agar dia tidak ditertawakan anak-istri yang membencinya setengah mati, sampai detik di hari terakhir aku melihatnya, dia masih terlihat bernapas walau sorot matanya terlihat sangat lelah.
 
Apa detik ini sorot mataku pun begitu?
 
Apa pada suatu hari, jika benar datang seekor anjing yang dapat mengendus datang bersama seorang lelaki atau perempuan waras, maka kedua makhluk itu berpikir sama, yakni tentang sorot mataku?
 
Aku tak bisa memastikan mataku bersih dari kotoran pada detik ketika orang-orang itu meninggalkanku di sini.
 
Semua terasa dingin. Tak ada apa-apa. Aku tak bisa pastikan apa keluargaku baik- baik saja. Apa mereka juga berakhir seperti ini, di tempat yang jauh dari sini?
 
Aku menangis tanpa air mata. Hatiku sakit, tapi jantungku bagaikan pria penyepi itu, di tempat service televisi yang bobrok dan terlihat membatu dan menguarkan aura yang membuat waktu seakan berhenti bekerja pada radius beberapa meter. Aku merasa segala sesuatu di sekitarku membeku dalam waktu yang mendadak henti. Barangkali sama persis seperti situasi ketika nuklir menyebabkan dua kota di Jepang di masa Perang Dunia Kedua hancur lebur; segalanya mendadak terasa membatu dan mati dan tertinggalkan waktu. Apa benar? Apa benar setiap bom yang meledak akan menyisakan sensasi aneh yang membuat kita seolah-olah tidak lagi dipedulikan waktu?
 
Aku tak tahu rasanya dibom. Mereka tak memasangi tubuhku dengan bom, tetapi kini tiba-tiba aku teringat dengan korban jiwa di berbagai tempat yang mati karena dibom. Aku pikir, "Barangkali panas."
 
Aku tak pernah serius memikirkan itu. Aku hanya memikirkan hidupku membaik jika tiap usaha kulakukan untuk memajukan bisnisku. Aku ingin merajai bidang yang kugeluti, tapi suatu hari, mau tidak mau, kuperbuat sesuatu yang merugikan seseorang. Seseorang itu yang kemudian datang menuntut balas atas kematian seseorang akibat ambisiku.
 
Aku kepanasan karena dengan bodoh menemui orang-orang tersebut di lokasi yang disepakati. Aku kepanasan hingga tidak lagi merasakan batas antara hidup dan mati. Pada saat itu, aku tidak lagi berada di bawah jembatan. Aku digiring orang-orang berbadan besar ke tempat rahasia, setelah dua mataku ditutup dan dibawa menumpang mobil kira-kira tiga puluh menit.
 
Mataku terbuka ketika rasa panas itu menjalar ke kulit di hampir tiap bagian tubuhku. Yang dapat kutatap hanya lorong hitam di kiri ruangan dan bohlam tua di atas kepalaku. Wajah-wajah eksekutorku tak benar-benar kuperhatikan dan lagi pula mereka tak terlihat jelas. Aku berharap ini segera berakhir. Aku tidak tahan dan pingsan, dan orang-orang gila itu berhenti, lalu membawaku sekali lagi dan menurunkanku ke sini.
 
Barangkali seperti ini rasanya orang kehilangan segala-galanya, namun tidak diberi daya dan upaya oleh langit untuk berbuat. Begitu sakit. Aku tidak mampu menemukan apa pun selain tubuh yang tidak lagi berdaya dan waktu yang seakan-akan hengkang dari sisiku. Seakan-akan aku hidup dengan cara yang lain, karena dijauhi oleh waktu.
 
Aku merasa hidup sebagai sesuatu yang lain. Saat sadar aku tak dapat mengubahnya dan hanya bisa membayangkan sialnya nasibku yang kini jauh lebih sial ketimbang pemilik kios service televisi busuk itu, aku tahu aku hanya bisa berharap tentang anjing yang dapat mengendus dan seseorang yang waras pergi bersamanya.
 
Aku tidak tahu sampai kapan. Barangkali itu terjadi dalam waktu dekat dan si anjing akan panik tidak keruan begitu melintasi jalanan yang tak jauh dari bangunan bobrok ini. Barangkali itu besok atau nanti jam sepuluh malam. Aku bisa membayangkan itu terjadi seminggu setelah pikiran-pikiran ini terbit atau bahkan lebih lama dari itu.
 
Apa pun itu, aku harap siapa pun akhirnya akan menemukanku dan membawaku pulang dengan cara yang mereka mampu dan itu terjadi sebelum terlambat. Sebelum tubuh yang sejak dua hari lalu mati ini menjadi tulang belulang. [ ]

Gempol, 25 Juli 2018 - 28 Oktober 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (Unsa Press, 2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (Basabasi, 2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (Basabasi, 2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (Basabasi, 2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri