Skip to main content

Kota-kota yang Telanjur Rusak

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 24 November 2019)
 
Seorang pengarang merasa telah selesai dengan seluruh misinya. Suatu malam dia pergi ke kota tanpa nama, yang cukup jauh dan tak terjangkau oleh orang-orang terdekat, dan memulai hidup baru dengan identitas lain. Sepanjang perjalanan tak ada yang lelaki itu pikirkan selain apa yang akan dia temui nanti. Dia sama sekali melupakan segala hal yang telah dia capai selama hidup menjadi seorang pengarang. Dia bahkan tidak peduli andai orang-orang terdekatnya akan kacau hidupnya karena dia mendadak hilang. Lagi pula, bukankah sejak dulu dia memang seharusnya hilang? Dan pula, orang-orang dekat itu juga tak ada hubungan apa-apa selain sebagai sekumpulan manusia dengan perasaan serupa demi memperjuangkan sesuatu yang mereka anggap benar.
 
Urusan ini, kini, menjadi terlalu sederhana baginya, dan biarlah begitu kalau saja takdir mengizinkan. Semoga orang-orang di seluruh permukaan bumi tak mengenang ia sebagaimana seharusnya. Semoga akan ada peristiwa-peristiwa luar biasa yang menutup kasus hilangnya dirinya agar hidupnya tak lagi serumit dulu.
 

Sebagai pengarang besar yang selalu diburu karya-karyanya (bukan cuma untuk dibaca, melainkan juga untuk dibakar), lelaki itu tak merasa hidup dalam raga sendiri; ia selalu menjadi sosok lain untuk lolos dari kejaran wartawan dan sejumlah orang sinting dengan segala aksi di luar ekspektasi. Kadang-kadang pengarang tersebut terlalu lelah dan membiarkan dunia menghimpitnya beberapa detik, sehingga tak jarang asisten dan sopir pribadinya membawanya ke rumah sakit untuk dirawat.
 
Pengarang itu memang bukan pengarang biasa. Andai dia menulis jutaan dongeng atau sajak yang menyenangkan, tidak ada insiden-insiden yang memaksanya merawat kesendirian. Andai buku-bukunya tidak mengancam kepentingan pihak-pihak tertentu, ia dengan mudah menggaet wanita dan menjadikannya istri sejak lama. Sayangnya, ia tidak mendapat peluang untuk itu atau menolak peluang hidup tenang di balik cangkang. Itu semua demi keseimbangan yang sejak lama orang-orang kota ini impikan.
 
Demi keselamatan dirinya, sang pengarang tidak menetap di satu tempat dan tidak terpikir membangun rumah idamannya. Seminggu atau sebulan sekali dia harus pindah tempat tinggal. Rumahnya adalah jalanan dan gang-gang tersembunyi di mana mobilnya yang bobrok mengangkutnya ke sana kemari selagi dia terus mengetik dan mendaras kata demi kata di bangku penumpang untuk buku-buku berikutnya yang berisi rahasia berbahaya dari para mafia pemegang kekuasaan.
 
Tentu tak bakal ada penerbit yang sudi mempertaruhkan nyawa mereka; pengarang itu menerbitkan buku-bukunya melalui jaringan komunitas bawah tanah, yang seluruh anggotanya merahasiakan identitas mereka masing-masing. Mereka hanya datang begitu saja ke ruang-ruang jauh di bawah kota dan berdiskusi untuk mencoba menggulingkan kekuatan para mafia yang menduduki jabatan penting di kota mereka, dan sesekali sang pengarang turut bergabung ke sana demi membicarakan strategi apa yang mesti mereka lakukan agar buku-buku yang akan terbit bisa mencapai lebih banyak pembaca.
 
Cara ini jelas berbahaya bagi para anggota komunitas bawah tanah yang tidak bisa diam melihat kesewenang-wenangan. Maka, sang pengarang sendirilah yang turun ke lapangan untuk membagikan buku-bukunya, yang tentu kemudian membuatnya dicap sebagai anggota terberani karena tak terlalu kerap menyembunyikan diri, terutama jika para wartawan yang tak bisa dibeli mencoba untuk meminta beberapa pendapatnya soal berbagai kasus di dewan kota yang kotor.
 
Meski begitu, sang pengarang harus waspada. Sopir pribadinya yang sangat andal dalam mengemudikan mobil bobrok harus berkali-kali mengingatkan seandainya saja di suatu lokasi jumpa pers dadakan, seseorang datang dan berpotensi mengancam nyawa pengarang itu. Orang awam bakal mendapati gelagat sang sopir tidak ubahnya seorang pengawal kepala negara.
 
Saking pentingnya si pengarang itu, setiap anggota komunitas bawah tanah, yang juga saling merahasiakan identitas di depan sesama mereka, mencoba menjadikan sosok pengarang tersebut sebagai contoh bagi para pemuda, mengingat semakin keroposnya pondasi kelompok mereka kini, yang kekurangan dana dan sumber daya, padahal di luar sana masih banyak kebobrokan yang harus diperbaiki.
 
“Kalian yang tak bisa bekerja membantu kami dengan fisik dan uang, bisa lakukan itu dengan tulisan! Menulislah apa yang harus kalian tulis tentang situasi di kota busuk ini! Tulislah agar orang-orang bodoh itu mau membuka mata!” lantang salah satu orang yang paling disegani di komunitas.
 
Pengarang itu terlihat girang begitu beberapa pemuda datang padanya untuk belajar menulis. Dengan senang hati dia ajarkan trik-trik dasar menulis di tengah kekacauan. Ia juga memberikan sejumlah buku lawas, warisan dari mendiang ayahnya dulu, agar para pemuda bisa membaca secara langsung sumber-sumber terpercaya yang merekam jejak berdarah para mafia yang menyaru pembela rakyat.
 
Selang beberapa tahun kemudian, bermunculanlah penulis-penulis lain dan kondisi ini jelas menguntungkan komunitas, meski agaknya sistem bobrok yang telanjur rusak di atas sana nyaris mustahil untuk diobati, apalagi oleh sekadar tulisan. Belakangan para warga kota jarang menyukai bacaan karena mereka terlalu sibuk dengan kerusuhan atau kematian atau bentrokan-bentrokan dengan para petugas keamanan, yang justru tak sudi mengamankan situasi dan malah menghancurkan banyak hal dan menumpas tak sedikit nyawa.
 
Sang pengarang yang tersohor mulai melihat itu sebagai sebuah keadaan yang tak lagi jadi tanggung jawabnya. Baginya, dari awal semua kerusakan juga bukan tanggung jawabnya. Maka, ia pergi untuk memulai hidup baru. Pergi ke kota yang jauh boleh jadi membawanya pada hidup yang tenang. Ia akan ubah identitas untuk terakhir kalinya. Ia akan menikah dengan seseorang dan memiliki anak yang banyak, meski umurnya terlalu tua untuk memulai asmara dengan wanita. Adakah seseorang yang menyambutnya nanti? Ia sama sekali tak tahu dan tak ambil pusing.
 
Setiba di kota yang dituju, sang pengarang menyewa sebuah rumah sederhana. Tak berapa lama ia menyadari betapa sebenarnya kerusakan telah merambat hingga kemari.
 
“Kota mana dari permukaan bumi yang tak rusak oleh kelakuan orang-orang itu?” tanya sang pengarang dalam hatinya.
 
Agaknya, harapan memulai hidup baru belum akan terwujud dalam waktu dekat. [ ]

Gempol, 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri