Skip to main content

[Cerpen]: "Sumur" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 8 November 2019)
 
Penggali sumur itu tiba-tiba lenyap ditelan lubang selebar satu meter. Tak ada yang tahu persisnya bagaimana dia lenyap; Murbani hanya tahu pria tersebut merangkak ke dalam lubang untuk melanjutkan pekerjaan, dan ketika ia mengajak ngobrol sang penggali, sudah tak ada seorang pun di sana.
 
Lubang itu kini benar-benar gelap. Cahaya senter yang kami sorotkan padanya tak mampu menyentuh dasar sumur. Bahkan kami juga tak mendengar suara apa-apa begitu Murbani dengan kesal melempar sebongkah batu bata ke dalam sana. Seandainya dasar itu berupa tanah, setidaknya penggali kami masih terjangkau oleh cahaya senter. Namun, yang kami jumpai hanya kegelapan yang dikelilingi dinding tanah.
 
Aku dan Murbani sama-sama bukan tukang gali sumur. Kami dua bersaudara yang membuka toko akuarium dan tidak pernah berurusan dengan pekerjaan yang menguras tenaga. Itulah kenapa kami membayar seorang tukang gali sumur untuk membuat sumur baru bagi rumah warisan yang kami dapat dari seorang paman yang tak pernah menikah seumur hidupnya. Rumah ini nantinya direncanakan akan ditempati adik kami yang tak lama lagi bakal berumah tangga.
 

Rencana pernikahan itu mungkin akan tercoreng oleh pengalaman tak sedap terkait penggalian sumur. Aku dan Murbani tak bisa tenang setelah seseorang yang kami kenal cukup berpengalaman tentang hal-hal seperti ini, menyatakan dia sama sekali tak berani masuk ke lubang tersebut.
 
Aku sendiri memahami itu. Betapa gelap lubang sumur yang melenyapkan seorang penggali. Betapa pekat dan asingnya udara yang terasa dari atas sini. Seandainya orang itu mati di dasar sana, yang membunuhnya tak lain hanyalah ketinggian. Tapi, setinggi apa? Bukankah lubang itu sendiri masih dalam proses penggalian?
 
Murbani memiliki teori lain. Katanya, “Mungkin sesuatu telah terjadi ratusan atau ribuan tahun lalu. Ada semacam goa atau lubang alami di bawah sana, dan tak sengaja si penggali terperosok saat menjebol atap goa purba itu.”
 
“Kalaupun memang ada semacam goa di bawah sana, seharusnya kita dengar suara apalah. Lha, ini tidak sama sekali!” tukasku.
 
Murbani kemudian menganggap pemikirannya barusan memang kacau. Namun, di bawah sana, sudah pasti tubuh penggali itu kini berada. Entah sejauh atau sedalam apa jarak yang mesti tubuh itu tempuh untuk tiba menuju kematiannya. Entah sesuatu yang seperti apa yang membuatnya terperosok menuju kegelapan yang tak terlihat dasarnya.
 
Waktu itu matahari telah tumbang dan hari menggelap. Orang-orang berkumpul di sekitar rumah kami sambil melontarkan berbagai spekulasi. Tentu suara tangisan sempat terdengar membelah riuh-rendah suara orang-orang yang takut sekaligus heran dan juga penasaran; tangisan istri sang penggali yang menyumpah-serapahi keluarga kami karena gara-gara sumur yang ingin kami bangun, suaminya kini mati dan jasadnya tak mungkin bisa ditemukan.
 
Dalam situasi serumit itu, seorang dukun datang. Aku dan Murbani tak tahu siapa yang berinisiatif mengundang orang ini. Tetapi toh kami manut saja begitu sang dukun meminta syarat-syarat untuk melakukan ritual tertentu demi memancing tubuh penggali agar bisa kami tarik ke atas: dua ekor ayam, sejumlah daun-daunan, dan entah apa lagi; Murbani yang sibuk ke sana kemari untuk mempersiapkan permintaan sang dukun. Aku tak bisa membayangkan cara macam apa yang dukun tersebut akan pakai? Bagaimana menarik tubuh seseorang yang sempat hilang dalam kegelapan tak terjangkau?
 
Tentu saja, sebelum dukun itu benar-benar datang, beberapa orang memaksa diri berbuat nekat, dengan memasang tali temali pada batang pohon besar dan mengikatkan ujung lain dari tali tersebut ke tubuh mereka, sehingga mereka bisa menurunkan tubuh ke bawah sejauh beberapa belas meter untuk sekadar melihat lebih dekat sesuatu yang boleh jadi tak bisa dilihat jika berada di atas sini. Sayangnya, meski mereka mencona mengulurkan sejauh apa pun tali yang menahan tubuh orang-orang nekat ini, tak ada yang bisa melihat dasar kegelapan. Malah, beberapa orang mesti rela kehilangan senter mereka untuk usaha ini. Seorang dari yang ternekat keluar dalam kondisi tak sadarkan diri karena sesak napas. Salah satu dari mereka berkata dengan suara nyaris tidak terdengar, “Seperti ada yang menyanyi di dalam sana.”
 
Sejak hilangnya tubuh penggali sumur kami, para warga memang enggan pergi ke rumah masing-masing dan dari waktu ke waktu, jumlah penonton justru semakin tidak terbendung. Usaha orang-orang nekat tadi, yang tak satu pun berhasil, mengundang para penonton lebih dari yang kusangka. Mereka lalu memasuki dapur rumah kami (sumur tadi digali di belakang rumah, tak jauh dari pintu dapur), duduk di sembarang tempat, terkadang mencomot sesuatu dari balik tudung saji atau dari dalam kulkas, dengan atau tanpa seizin kami, dan mencoba mencari ruang terbaik untuk bisa menonton tanpa ada yang mengusik. Aku dan Murbani sungguh tak bisa mengusir mereka.
 
Orang-orang berjejalan di teras belakang kami, jongkok dan duduk di sekitar pintu dapur yang hanya berjarak beberapa meter saja dari lubang aneh itu, serta ada juga yang memanjat pohon-pohon dalam kebun sekitar belakang rumah sekadar untuk mengintip dengan lebih baik apa yang dukun tersebut lakukan dan apa yang mungkin mereka lihat keluar dari lubang tersebut.
 
Sang dukun, sebagaimana orang-orang sakti umumnya, tak banyak bicara, tapi tak ada yang berani bertanya-tanya, apalagi tertawa, ketika lelaki renta itu melucuti satu per satu pakaiannya hingga ia hanya mengenakan cawat. Di tepi lubang sumur yang gagal jadi itu, sang dukun merapalkan mantera-mantera yang aku tak tahu berasal dari bahasa daerah mana, tetapi itu terdengar sangat kuno dan mistik.
 
Setiap telinga dan mata menyimak apa yang sang dukun kerjakan dan lafalkan dan tak ada yang mengeluarkan suara, bahkan bagi alam sekitar dan binatang-binatang kecil yang seharusnya mulai berisik di hari segelap ini. Seakan-akan semesta mempersiapkan sesuatu yang istimewa untuk ritual sang dukun. Sebuah ritual yang barangkali baru kali ini kami saksikan bersama, sehingga orang-orang hanya terpaku tanpa bergerak satu inci pun dari tempat mereka berada; sang dukun menari-nari dengan liar, tapi gerakan yang disajikan begitu lembut dan halus sekaligus sedikit mengerikan. Kami benar-benar kena hipnotis oleh gerakan tarian ini sehingga untuk sesaat, aku mengira semua ini mungkin cuma mimpi belaka.
 
Kira-kira sepuluh menit setelah sang dukun tampil hanya sebagai lelaki kurus yang bercawat, akhirnya kami tidak lagi bisa melihat atraksi tariannya yang pelan dan magis, karena ia merangkak masuk ke lubang sumur tersebut, dengan tali-temali sebagaimana orang-orang nekat tadi. Namun, tali-temali itu tak diikat pada perut atau tubuhnya, dan hanya menjadi pegangan saja saat sang dukun meluncur ke bawah untuk memasrahkan diri ditelan lubang kegelapan.
 
Setelah itu kami hanya menunggu. Tidak ada yang mengerjakan apa-apa. Tak juga ada yang berani sekadar mendekati lubang sumur itu. Beberapa orang yang menemukan tempat duduk di cabang-cabang pohon mencoba menyorotkan senter sebisanya, tetapi tak ada yang bisa mereka saksikan dari sana.
 
Aku dan Murbani merasa mendapatkan sedikit waktu untuk momen penantian ini. Kami memutuskan untuk mendatangi istri sang penggali yang tadi kulihat diistirahatkan di ruang tamu kami; wanita itu pingsan setelah memaki-maki kami sebagai orang yang tak becus.
 
Murbani bilang, “Sudah, tak usah. Kita tunggu saja di sini. Siapa tahu penggali itu masih bisa diselamatkan.”
 
Aku tak bisa membantahnya. Lagi pula, saudaraku itu orang yang keras kepala. Ia tak bisa didebat, apalagi dalam kondisi sepelik ini. Maka, aku ke ruang tamu sendiri. Di sana kutemui beberapa tetangga sedang menunggui istri penggali yang kini mengigau, seakan-akan suaminya dibawa pergi oleh sesuatu dan tak bakal dikembalikan padanya. Seakan-akan suaminya tak seharusnya pergi menggali pagi itu. Aku tak bisa berbuat apa pun di sini. Hanya bisa duduk bersama para tetangga yang juga mencoba menegarkanku atas peristiwa aneh ini.
 
“Siapa juga yang menyangka orang gali sumur bisa hilang begitu?”
 
“Memang betul.”
 
“Lubangnya tak tahu sedalam apa. Seperti iblis jahat dari neraka sengaja menjebol lubang itu dari bawah sana dan menculik si penggali!”
 
Begitulah kata para tetanggaku. Aku cuma bisa menunduk dan meremas kepalaku yang kini bertambah pusing. Ritual dari sang dukun baru saja memang terlihat sedikit menjanjikan, tapi aku tidak sepenuhnya yakin. Apa khasiat tarian dan mantera-mantera tadi? Apa juga gunanya melakukan ritual itu dengan hanya mengenakan cawat?
 
Tiba-tiba saja orang-orang di belakang rumah berteriak. Tidak lama bunyi ledakan menghantam kedua kupingku dan membuat para tetangga di kiri kananku, yang duduk bersamaku di ruang tamu, lari kocar-kacir. Istri penggali bangkit dan mencekikku, tapi kulawan tubuh kurusnya hingga terlempar menghantam tembok. Aku melompat setelah seisi rumah berasa diguncang gempa berkekuatan dahsyat.
 
Tak tahu apa yang terjadi di belakang sana; aku hanya tahu bagian belakang rumah seperti roboh dan tertelan bumi. Seperti sesuatu yang besar sedang menariknya, saat ini, dari bawah. Pikiranku menghubungkan bencana ini dengan lubang sumur. Kubayangkan lubang itu membesar dan terus membesar untuk menelan apa pun dan siapa pun yang berada di dekatnya.
 
Aku berlari, terus berlari sekuat yang kumampu. Seorang tetangga menyetir pick up pengangkut sayur-mayur untuk kabur dari desa yang tertimpa gempa dahsyat secara mendadak. Dia memberiku tumpangan bersama tiga orang lainnya. 

Sepanjang malam itu kami menggigil dalam kebingungan yang luar biasa. Apa yang terjadi? Bagaimana bisa sesuatu seaneh ini menimpa desa kami? Lubang itu? Apa yang terjadi pada lubang itu? Apa yang terjadi pada Murbani dan penggali sumur kami yang hilang serta setiap orang yang menonton di belakang sana? Apa benar lubang itu membesar dan menelan apa pun seperti yang sempat kutakutkan? [ ]

Gempol, 2 November 2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, puisi, dan skenario FTV. Karya-karyanya terbit di berbagai media. Bukunya Museum Anomali (2016), Babi-babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Comments

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri