Skip to main content

[Cerpen]: "Tentang Belly" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 28 Juli 2019)

Kami memanggilnya Belly. Dia senang membunyikan bel di setiap pintu di lantai ini dan konon itulah yang membuat orang menyebutnya Belly. Tidak pernah ada yang tahu nama aslinya. Bagi Belly itu tak penting. Ia tak waras, tetapi pintar bernyanyi dan murah senyum.
Suatu malam, Belly bernyanyi di depan kamarku. Waktu itu jam satu dini hari dan aku belum tidur, padahal jam 7 harus ke bandara untuk urusan penting. Belly bernyanyi seakan lingkungan sekelilingnya dipadati penonton. Seakan ia benar-benar berdiri di atas panggung. Beberapa tetangga memarahinya.
"Dulu kami mengikatnya di gudang, dekat pipa-pipa busuk itu, tetapi kami kasihan dan membiarkannya nyanyi sepanjang malam di lorong. Besoknya kami kelelahan dan tak ada yang peduli apa Belly tidur ditemani hantu atau tidak di gudang itu," kata John, salah seorang tetangga.
Aku tahu banyak tentang Belly dari John, sebab ia pengangguran, tetapi mengaku sebagai pengamat politik. Tulisannya tersebar di berbagai koran, sehingga ia tidak perlu kerja. Honor yang ia dapat bisa membuatnya hidup. John bersumpah suatu hari Belly dipaksa tidur di gudang karena suka mengganggu orang tidur.

"Belly diikat selama beberapa malam di gudang dan ia bukannya menyanyi, justru berteriak-teriak seperti orang gila. Memang dia sinting. Maksud saya, dia berteriak dan mengumpati nama tiap orang satu per satu. Dia hafal nama kami, karena sesekali kami menegurnya ketika nyanyi di lorong dan kami bertanya siapa namanya, begitu juga dia turut menanyakan siapa nama kami. Lalu dia mengingat nama kami satu per satu. Itu terjadi sejak bertahun-tahun lalu, sejak pemilik gedung ini tidak lagi peduli apa orang seperti Belly bisa mengganggu ketentraman penghuni lain."
John menjelaskan, bahwa Belly penghuni legal di sini. Punya kamar dan kadang tidur di sana, tapi lebih sering meringkuk di lorong, tidur dalam posisi melingkar karena masa lalu. Tidak ada yang tahu masalah Belly, sehingga ia sering menyanyikan lagu sedih. Ia pernah menangis sambil terus bernyanyi, dan setiap orang yang mendengar ikut menangis. Aku menangis karena mendengar suara indah Belly. Selesai nyanyi, ia penceti bel satu per satu di tiap pintu di lantai ini. Lalu, tidur di sembarang tempat.
Bagaimana Belly kembali bernyanyi dengan tidak diikat, bagi John, adalah suatu kecelakaan. Waktu itu nenek-nenek yang sudah sangat sepuh dan berumur tidak panjang lagi, mendatangi kerumunan di pintu gudang dan mengutuk perbuatan semua orang.
Belly si suara emas, Belly si sinting yang memencet bel di pintu setiap orang, telah seminggu terakhir dicari oleh nenek itu. Ia merasa setiap kali Belly menyanyi, malaikat turun membawa harpa dan berbisik, "Tidak lama lagi giliranmu. Bereskan bajumu dan telepon anakmu yang tidak tahu diri itu dan sesudah itu kereta menuju surga akan segera berangkat!"
Begitulah nenek itu berkisah dengan mengharukan dan menghubungkan kejadian yang sulit dipercaya dengan keberadaan Belly yang kebanyakan dianggap tidak ramah lingkungan. Nenek itu meminta setiap orang membebaskan Belly, agar bisa mendengar kembali malaikat turun membawa harpa, hingga dengan begitu si nenek tidak ketakutan saat mati nanti.
Belly pun dibebaskan dan dua hari kemudian nenek itu mati gantung diri. Karena shock, semua orang tidak ada yang berani mengurung Belly di gudang dan biarlah ia menyanyi sesuka hati di lorong dan memenceti bel di pintu setiap orang, daripada Anda didatangi hantu nenek itu. John menceritakan itu seakan aku di pihaknya dan seakan aku merasakan kejengkelan yang sama dengan yang ia rasakan.
Aku menyimpan semua cerita tentang Belly dan sesekali kureka-ulang jadi cerita pendek untuk kubaca sendiri. Belly sering menyapaku, karena aku pulang di atas jam sembilan malam, dan sejak saat itu ia sudah duduk-duduk di anak tangga menuju lantai di bawah lantai kami.
Ia berbicara dengan suara amat pelan, seperti orang berbisik, namun masih bisa didengar. Sesekali berkata tentang musim dan membuat puisi tentang musim, sebelum tengah malamnya bernyanyi, tetapi lebih banyak Belly bertanya soal makanan apa yang kumakan dan apakah aku tidak kekurangan makanan enak di sini?
Aku tidak tahu bagaimana Belly bisa hidup seorang diri dalam keadaan tidak waras. Tetapi, kata John, ia pintar memasak. Belly pernah memasak untuk setiap orang di lantai ini dan semua orang tahu ia pandai memasak, tetapi untuk menelan masakan itu mereka tidak sudi. Mereka cuma mencicipi, sebelum menuang semua pemberian Belly ke toilet dan bersyukur tidak tertular gila atau dirawat di rumah sakit beberapa hari kemudian.
Karena tidak ada yang mengapresiasi, Belly tidak lagi memasak dan sering ke seberang apartemen, ke mini market, membeli bertumpuk makanan sebagai stok selama dua minggu.
Kami semua tahu di mana pintu Belly, tetapi tidak ada seorang pun yang pernah ia ajak masuk. Belly seakan tinggal di lorong atau di sudut mana pun di luar pintu tersebut, dan pintunya seperti sesuatu yang berjarak sangat jauh dari perempuan sinting itu.
Aku sendiri, sekalipun terganggu dengan suara Belly, sebab betapapun indahnya ia bernyanyi, tidak bisa terlelap mendengar suara sekeras itu, tidak marah padanya. Tetapi aku memaklumi sikap orang-orang sebelum nenek yang tidak kukenal itu mati.
John bercerita dengan detail sehingga aku bisa membayangkan seperti apa suasana ketika Belly dikurung. Memikirkan itu, aku tidak tega. Belly si kurus yang pucat, yang berwajah tirus dan manis, mengingatkanku kepada perempuan di masa lalu. Aku tidak mungkin memarahinya karena alasan tertentu, maka aku hanya duduk dan menemani dirinya dalam diam, sementara ia terus bernyanyi.
Malam ini hal yang sama kulakukan. Belly memandangku sebentar dan ia teruskan nyanyinya yang hampir putus. Setelah selesai bernyanyi, ia bangkit dan menarik tangan kananku dan menyuruhku memencet bel dari ujung lorong ke ujung lainnya.
"Pencet seakan kita sedang bertamu dan orang di dalam pintu itu harus benar-benar bangun untuk membukakan. Kalau mereka tidak bangun, yah ... biarkan. Berarti nasib kita belum terlalu baik," katanya.
Kukatakan aku tak mungkin melakukan itu dan nanti setiap orang akan terganggu karena ulahku. Belly tertawa kecil dan menuduhku pengecut. Tetapi ia tidak memaksa dan memencet bel di pintu pertama dengan jarinya sendiri. Itu pintu kamar John. Aku tahu John bisa saja bangun dan langsung menyerbu gadis itu dengan kata-kata sampah seperti biasa, tapi malam ini John si pengangguran tidak bangun.
Belly melompat-lompat bagai anak kecil menuju pintu berikut. Kukatakan, dengan harapan malam ini ia tidak memencet bel di setiap pintu, bahwa seandainya Belly berani mencoba hal baru, ia boleh menuduhku pengecut
 Belly tidak paham maksudku.
"Jadi begini," kataku, "kamu tidak harus memencet bel di sini, atau di pintu-pintu berikutnya. Itu tidak harus, dan bukan semacam kewajiban. Kalau tidak kamu lakukan, kamu tidak mungkin mati. Kamu bisa coba hal baru. Kamu bisa menghitung siapa saja yang tinggal di dalam pintu tertentu dan mencatatnya dalam otak. Dan kamu lakukan itu selama beberapa malam."
"Tapi aku tidak kenal semua orang di sini dan mereka semua menganggapku gila. Aku pernah dikurung seakan-akan aku seekor anjing!" Belly tampak tersinggung, tetapi tidak panik. Ia tetap tegak di depan pintu tadi dan suaranya masih seperti orang berbisik.
Aku diam beberapa saat karena bingung, tapi kukatakan bahwa itu tidak penting. Ia bisa saja tidak memedulikan perkataan orang dan bukankah memang itu yang selama ini selalu Belly lakukan? Ia tidak pernah peduli dan terus bernyanyi. Belly mengerti, tetapi benci kenangan ketika dikurung. Ia takut dan mengira hantu di gudang mengintainya. Ia harus terus membuat semacam pembalasan agar menang di atas semua orang.
Belly tidak juga memencet bel di pintu kedua, tetapi ia juga tidak mulai melakukan saranku menghitung siapa saja yang tinggal di pintu tersebut, yang kutahu pasti Belly hafal sesuai dengan cerita John. Belly tampak berpikir dan meremas jemarinya sendiri. Kerutan di dahinya bertumpuk dan aneh, karena kulit Belly secara keseluruhan seperti permukaan tulang yang halus.
Akhirnya ia mengikuti saranku dan menyebut satu demi satu nama siapa saja yang berada di pintu tertentu, tanpa memencet bel, sehingga tak ada kebisingan seperti biasa. Pintu demi pintu kami lalui dan akhirnya kuantar Belly ke ruangan miliknya karena hari sudah larut.
Belly bertanya apa aku lapar dan merasa ada yang tak beres dengan masakan yang kutemui di kota ini, sebab ia tahu aku belum menikah.
Kukatakan bahwa kadang-kadang lidahku menemukan masalah, dan seseorang tak salah jika memberiku hadiah berupa masakan terenak di dunia. Belly terdengar senang dan ia berjanji mulai besok malam ia tidak lagi memencet bel di setiap pintu. Tentu saja aku senang mendengar ini. Tidak kusangka apa yang kulakukan, walau kecil, memberi perubahan besar.
Sayangnya, besok sorenya kudengar kabar Belly mati dan aku belum bisa pulang untuk tahu apa yang terjadi dan melihat bagaimana orang mengurus jenazahnya. Belly mati dalam tidurnya di siang hari, di depan pintuku. Di sisinya, tergeletak sepanci sup.
Sekembaliku, apartemen ini terasa asing. Tidak ada Belly, segalanya seakan diputar tangan Tuhan. Kaki di kepala, kepala di kaki, dan aku tidak bisa berpikir selain bertanya pada John di mana kuburannya. John dengan senang hati mengantarku.
Kini, kubaca dalam hati nama itu, Belly, yang terukir di batu nisannya. Orang tidak tahu nama aslinya. Dia senang membunyikan bel di setiap pintu dan konon itulah yang membuat orang menyebutnya Belly. [ ]

Gempol, 2017-2019

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis cerpen, novel, esai, dan skenario FTV. Karyanya terbit di berbagai media. Buku terbarunya Museum Anomali (2016), Babi-Babi Tak Bisa Memanjat (2017), Negeri yang Dilanda Huru-Hara (2018), dan Dosa di Hutan Terlarang (2018).

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri