Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Jalur Rahasia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 14 Juli 2019)     Sepulang bekerja, kudapati dapurku berantakan. Aku tak tinggal bersama siapa pun dan sudah dua bulan terakhir tak ada yang ganjil di rumah yang kubeli ini. Awalnya aku menduga ada maling yang membobol. Tapi, tidak lama kemudian, aku tahu tebakan itu salah.     Aku pikir tikus atau binatang lain tidak membuat kerusakan macam ini; beberapa benda seperti microwave dan kaleng cat yang baru sepertiga kupakai, yang tergeletak di lantai dapur, tidak mungkin digerakkan beberapa tikus.     Aku tidak membayangkan hal lain selain bahwa seseorang telah mempunyai kunci cadangan rumah ini. Aku membeli rumah ini dalam kondisi bagus dari seseorang yang tidak kukenal. Kabarnya, rumah ini dijual karena pemiliknya bangkrut dan rumah ini harta satu-satunya yang tersisa. Kabarnya lagi, si pemilik rumah ingin kembali ke negeri asalnya di Eropa dan bersumpah tidak akan kembali kemari.

Cerita Pendek dan Perjalanan Panjang yang Nikmat

Tumpukan edisi media cetak yang menayangkan cerpen-cerpenku. Ketika kemarin Dang Aji Sidik tiba-tiba bertanya berapa sudah cerpenku yang tayang di berbagai media, pikiranku langsung melesat ke masa beberapa tahun lalu, ke akhir tahun 2013. Itulah kali pertama aku ingin menembuskan cerpenku ke media. Karena minimnya info tentang itu, juga belum "luasnya" jaringan pertemananku di dunia maya dengan lebih banyak cerpenis, aku hanya bisa coba kirim cerpen ke dua media raksasa saja, yang alamat e-mailnya kutahu dari googling, yakni Kompas dan Jawa Pos. Tentu cerpenku jauh dari bagus saat itu, hingga kiriman-kirimanku sebanyak 2-4 cerpen dalam sebulan (kadang hanya 1 sebulan) tak pernah lolos. Tahun 2014, aku pun lebih fokus ke perlombaan skala nasional yang beberapa di antaranya berhasil kumenangi, dengan banyak gelar "juara 2" atau "10 besar", sampai seorang teman yang kini tak lagi menulis bilang, "Kamu ini spesialis runner-up ." Kami pu

[Cerpen]: "Cerita Ibu dan Hujan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Harian Rakyat Sultra edisi Senin, 1 Juli 2019)     Ibuku mati dimakan hujan. Sebelas tahun silam kukisahkan di depan kelas bahwa ibuku mati dimakan hujan. Aku tidak tahu pasti apa beliau memang kehilangan nyawa ketika insiden itu terjadi, tetapi Ibu tidak pernah pulang. Ada tetangga yang tidak pulang selamanya, dan ketika kutanya pada semua orang, kudapat jawaban kalau tetanggaku itu sudah mati.     Mungkin, ibuku juga sudah mati dimakan hujan. Banyak yang tidak percaya cerita ini, tapi Leli percaya. Dia duduk di belakangku dan mengintip diam-diam apa saja yang kulakukan selagi jam pelajaran berlangsung. Aku menggambar dengan pensil warna atau crayon. Ada gedung di suatu kota. Ada monster makan mobil dan manusia. Lalu, jembatan roboh dan lain-lain.     Kataku pada Leli, "Kulihat itu semua di film lama."     Ibuku suka menonton film, tapi itu dulu, sebelum beliau dimakan hujan. Aku sedih melihat Ibu diseret dengan begitu ganasnya oleh ribuan tetes air y

Andai Anakku Ingin Jadi Presiden

    Melihat baku hantam di sosial media terkait pilpres 2019 yang seakan tiada henti bahkan setelah pencoblosan usai, membuat saya terpikir sebuah solusi untuk masa depan yang cerah bagi anak cucu kita kelak. Saya tidak bicara soal janji-janji capres. Saya juga tidak bicara isu sensitif semacam kebangkitan komunis atau khilafah. Terlalu berat.     Saya cuma memikirkan diri kita kalau kelak punya anak, lalu bayi-bayi yang kita hasilkan itu tumbuh menjadi orang-orang yang membuat masa depan netizen di negeri ini terjebak (lagi) dalam baku hantam yang sungguh tak perlu hanya demi urusan pilpres; tidakkah itu mengerikan?     Sebagai manusia, kita ingin memproduksi keturunan-keturunan berkualitas dan berguna bagi keluarga, nusa, bangsa, agama. Kita ingin anak-anak kita tumbuh menjadi orang yang lebih baik ketimbang kita. Maka dari itulah, pikiran saya yang melompat jauh ke beberapa tahun ke depan berbunyi begini: pada tahun itu, saya menikah dengan orang yang saya sukai, lalu jika

[Cerpen]: "Antimati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 23 Juni 2019)     Mugeni kurang puas melihat adu panco di warung Yu Nah. Seharusnya adu jotos, biar ada yang mampus, katanya sinis. Entah dalam rangka apa, menurutnya, dua finalis kurang jantan—penghalusan dari kata 'banci'. Padahal Togog dan Bakir, dua sasarannya, tidak lembek. Mereka termasuk orang-orang yang diperhitungkan kekuatannya.     Sebagian tahu Mugeni mabuk, namun tidak sedikit menganggapnya guyon . Togog atau Bakir, sama sekali tak tersinggung. Siapa tidak kenal Mugeni? Lelaki usia setengah abad, pengangguran total, tanpa anak cucu (karena konon menurut pengakuannya, demi merawat ilmu kebal, ia tidak boleh kawin). Tak peduli petarung panco level berapa pun, kalau sudah ketemu dia, cuma bisa mesam-mesem .     Sejak muda, Mugeni mampu menaklukkan apa pun, mulai dari pesilat paling hebat, binatang liar, hingga benda-benda tak masuk akal. Tank dan berbagai kendaraan perang paling mutakhir sekalipun—andai didatangkan kemari, Mu

[Cerpen]: "Hari yang Baik untuk Terkena Hipnotis" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi, Jumat, 21 Juni 2019)     Aku pergi menjenguk sahabatku yang sakit dan tinggal di luar kota. Meski sangat membenci bus, pada akhirnya aku harus naik kendaraan itu juga. Mobilku diperbaiki di bengkel dan aku tidak punya satu pun motor. Dengan membawa bingkisan dan beberapa buah-buahan, aku berdiri di halte sembari berdoa.     Doa dalam tiap kesempatan selalu kubuat lebih panjang dari doa siapa pun. Aku senang berdoa panjang-panjang, karena konon akan lebih mudah tiba di hadapan Tuhan, dan lebih gampang dikabulkan. Aku tak bisa membuktikan itu, tapi aku mengimaninya. Hanya saja, kali ini, ketika akan pergi ke luar kota, doaku tak sepanjang biasanya.     Doaku hanya, "Semoga bus yang kutumpangi baik-baik saja."     Ini berkaitan dengan masa lalu. Kalau tidak, mustahil kubenci bus hingga bertahun lamanya. Sejak kejadian itu aku enggan naik bus meskipun dipaksa dan diancam dengan banyak cara. Suatu saat, bertahun silam, orangtuaku frustrasi meli

[Cerpen]: "Kota tanpa Manusia" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 16 Juni 2019)     Belum lama ini sepertinya orang-orang mengejar saya. Ada yang membawa batu, double stick , tongkat baseball , pedang, dan bahkan ada beberapa juga yang membawa senjata api. Orang-orang itu tampak geram. Saya tidak tahu di mana saya terbangun. Siang itu saya cuma tahu seseorang baru saja mengantarkan minuman dingin ke meja yang saya tempati. Saya duduk di pojok sana, di dekat mesin pemutar musik yang sudah bobrok, hingga saat seorang bocah coba memilih musik di sana, seseorang di seberang ruangan, yang entah siapa, berteriak pada si bocah agar sebaiknya pergi dari situ.     "Barang rombeng itu tidak membuatmu terhibur!" katanya.     Saya pikir pemutar musik itu rusak. Orang yang berteriak itu barangkali pemilik tempat ini atau sekadar orang yang memahami tempat ini, karena terlalu sering kemari. Mungkin. Tempat macam apa ini? Jika ini sebuah kedai, kenapa begitu sepi? Bagaimana saya bisa ada di sebuah kedai dengan