Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Musuh Mudakir" karya Ken Hanggara

Sekadar ilustrasi. Salah satu lukisan seniman Affandi. (Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 20 Januari 2019)     Suatu saat Gusnaldi harus mati. Itu yang Mudakir impikan persis di malam tahun baru. Tanggal 3 Januari, Gusnaldi ditemukan tewas gantung diri. Tidak ada tanda-tanda perlawanan dan perkelahian, yang artinya dia bekerja sendirian. Mudakir melenggang ke sana kemari, karena meskipun semua tahu mereka bermusuhan, tidak ada yang bisa membuktikan kematian itu datang oleh ulahnya.     Pada momen yang lain, bertahun-tahun setelahnya, sebuah pertikaian terjadi. Bung Timo, lelaki bertato dan raja dari segala preman, menghajar Mudakir habis-habisan dan membuatnya masuk rumah sakit selama delapan hari. Mudakir sang ceking, maju lawan lelaki terkuat sekota, tentu saja sudah dapat ditebak hasilnya. Tangan dan salah satu kaki patah, perut koyak moyak, dan telinga kanan hilang entah ke mana.

[Cerpen]: "Pengarang dengan Kekasihnya yang Tukang Protes" karya Ken Hanggara

(Dimuat di basabasidotco pada Jumat, 18 Januari 2019)     Membayangkan Moni, mantan kekasihku, membuatku tidak bisa tidur. Dulu kami hampir selalu bertengkar karena masalah sepele. Biasanya karena aku yang tak berhenti merokok, sedang ia benci rokok. Atau karena aku yang jarang mengajaknya jalan karena kesibukanku sebagai pengarang.     Moni protes, "Aku curiga kamu selingkuh sama mereka!"     "Siapa?"     "Puisi-puisi dan cerita pendekmu!"     Ketika itu kukira ia bercanda. Cuma orang gila yang berpikir kekasihnya selingkuh dengan puisi dan cerita pendek.     "Kamu mengada-ada. Bilang saja mau kubelikan apa?" tukasku. Kurasa kami perlu jalan-jalan ke bioskop atau menikmati malam dari balkon rumahnya yang berdiri dekat pantai.     Moni membanting botol yang dari tadi dipegang. Ia pergi dan dua hari kami tidak ketemu. Ke mana-mana kucari, tidak ada. Kutelepon, tidak aktif. Keluarga dan teman- temannya juga tidak tahu di mana Moni.

[Cerpen]: "Asal-muasal Agama Sungai" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Tempo edisi akhir pekan, 12-13 Januari 2019)     Sejak bertahun-tahun lalu sungai itu merekam jejaknya sendiri di pikiranku. Pada suatu hari seorang pria dengan tubuh berdarah-darah merangkak ke halaman rumahku yang berada persis di tepi sungai. Aku berusaha sebisa mungkin dan bahkan keluargaku juga meluangkan waktu untuk membuatnya sembuh dan mampu bicara. Pada akhirnya lelaki itu mati setelah tiga hari tiga malam mengigau.     Pria tanpa nama tadi kami kubur dengan doa ala kadarnya dan upacara tersepi yang pernah ada. Tidak ada kejadian ganjil setelah beberapa minggu dikuburnya pria itu. Lalu, suatu malam, saat aku dan sepupu mencari adik terkecil kami yang belum juga pulang, seorang pria paruh baya menyeret-nyeret tubuhnya yang berlumuran darah dan meminta pertolongan.

[Cerpen]: "Pohon Berbisik" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 23 Desember 2018)       Pohon jambu di depan saya, di halaman rumah sahabat yang mati disembelih dua tahun lalu, seperti sedang mengajak bicara. Tentu saja saya tidak paham bahasa pohon, namun mengira ia berusaha bicara. Tentang apa, saya tidak tahu. Daun-daun jambu itu bergesekan seperti orang berbisik. Kalau benar apa yang saya duga, ia jelas membisiki saya sesuatu bernuansa purba dan ganjil. Sesuatu tentang kematian.     Mila, pacar saya, tidak terlalu percaya kata-kata itu. Padahal saya ceritakan dengan penuh semangat bahwa saya merasa pohon jambu itu berbisik. Memang saya tidak bisa buktikan atau paling tidak menirukan ucapan pohon itu, tetapi saya yakin apa yang saya rasakan tidak salah.     "Kebanyakan melamun kamu," celetuk Mila pendek.     Saya tidak bisa membela diri. Lagi pula, laki-laki—menurut Mila—adalah sumber kebohongan dan perempuan selalu benar. Saya tidak tahu apa semua perempuan di muka bumi berpikir demikian ataukah

[Cerpen]: "Hari-hari Yu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, Minggu, 23 Desember 2018)     Yu memberiku sebungkus kue dan pergi setelah orang-orang pabrik pulang. Besok paginya dia kembali menemuiku, tetapi kali ini tidak membawa kue atau apa pun. Gadis itu bilang, "Tidak ada lagi kue."     Sebenarnya aku sangat lapar. Rasanya perutku tidak berisi apa pun, tetapi Yu tidak dapat kukalahkan. Kami tetap pergi sesuai dengan janji. Kami menerabas ilalang di area belakang pabrik, dan tetap di sana dari menjelang magrib hingga jam tujuh malam.     Yu sudah kukenal selama lima tahun. Dulu Yu adalah bulan yang indah dan pucat, yang tak mungkin kuajak bicara. Yu adalah segala sesuatu di luar angkasa, sedang diriku adalah sebutir kerikil di kandang sapi. Tapi, sebuah kejadian membalik segalanya.     Aku tidak perlu cerita kejadian apa itu. Lagi pula, semua sudah tidak lagi penting. Yang terpenting adalah: Yu dan aku dapat bertemu. Tidak ada yang tahu pertemuan ini, tentu saja, kecuali beberapa orang dari pabrik yang s

[Cerpen]: "Megalomania" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 9 Desember 2018)       Lelaki berbaju polisi menghentikanku. Aku baru keluar dari WC umum. Ia bilang, "Mari ikut saya!"     Kukatakan bahwa aku tadi ketiduran di terminal dan sekarang harus pulang. Sudah jam dua belas malam dan langit kini gerimis. Ia tidak peduli dan mengeluarkan sepucuk revolver.     "Pokoknya Anda harus ikut!"     Demi terhindar dari kesulitan, aku patuh. Kuikuti polisi itu, yang berkepala botak, dan di puncak kepalanya ada tahi lalat begitu besar. Aku melangkah dan melirik bagian itu, karena aku lebih tinggi darinya. Polisi itu sadar kelakuanku dan bilang, "Jika masih mau hidup, sebaiknya jangan berpikir mencoblos tahi lalat saya!"     Kalimat itu begitu jelas, tapi kurasa kepalaku sedang pusing. Aku baru bangun dari tidur dan belum sepenuhnya sadar selain mengingat bahwa aku harus pulang sekarang juga, jadi kupikir barangkali ada yang salah di otakku. Kutanyakan apa yang barusan si polisi katak

[Cerpen]: "Usaha Terakhir Sebelum Mati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 30 November 2018)     Aku tidak pernah bisa bergaul dengan orang-orang di sekitarku. Sejak dulu kurasa inilah kutukan yang harus kupikul. Tidak tahu kenapa setiap siswa seakan-akan tercipta untuk membenciku di sekolah. Dan setelah lulus lalu mendapat kerja, orang-orang yang berada di sekelilingku bersikap seolah aku tidak ada.     Memang pekerjaanku tidak membanggakan dan itu tidak kusebutkan di sini. Aku bekerja di gedung ternama, tetapi hanya sebagai bagian tidak penting dari sebuah sistem. Status sosial yang biasa saja, ditambah kesulitan bersosialisasi, membuat hidupku terasa sepi.     Kalau dihitung, orang yang pernah menjadi temanku tidak lebih dari tiga. Itu pun salah satunya adalah seekor anjing sewaktu aku masih kelas empat SD, dan sayangnya si anjing sudah mati tertabrak truk beberapa hari setelah kutolong dia dengan sebungkus roti. Anjing itu kelaparan dan kuberi makan, dan kemudian ia mendatangiku selama dua hari berturut-turut de