Skip to main content

Posts

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

[Cerpen]: "Mudakir dan Sejarahnya yang Tak Akurat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi 7 Oktober 2018)       Mudakir memacu motornya bagai kesetanan. Orang-orang di jalan bergelimpangan setelah dengan brutal dia tendangi satu per satu. Ya, orang-orang itu adalah pengendara motor lain di jalan raya. Tentu saja di antara mereka ada yang pingsan, ada yang bangun lalu memaki-maki, dan bahkan ada yang tidak sempat menyadari kalau mereka sedang menggelinding di aspal, sebab terlebih dulu tubuh mereka disambut kendaraan lain dari belakang.     Aku tadinya tidak tahu penyebabnya. Aku hanya sedang makan rawon di suatu warung, lalu orang-orang berteriak dan kudengar umpatan salah satu korban Mudakir. Aku keluar bersama orang-orang lain yang kemudian memadati trotoar dengan saling pandang dan bertanya, "Apa yang membuat lelaki bujang lapuk itu begitu?"

[Cerpen]: "Memburu Sekutu Iblis" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Tempo edisi 6-7 Oktober 2018)       Seorang lelaki melompati tubuh kereta api saat kendaraan itu melintas dengan amat cepat, tapi tak ada sepercik darah. Tak ada sepotong kepala atau bola mata manusia atau usus atau liver atau lambung atau jantung atau organ vital apa pun yang tergeletak di sepanjang rel, sehingga malam itu situasi di pinggiran kota tetaplah sunyi sebagaimana biasa.     Saya mendengar kabar seseorang telah kabur dari penjara sekitar tiga hari lalu, dan sampai detik ini, polisi belum mendapatkan petunjuk apa pun yang dapat mengantar mereka untuk sekali lagi meringkus bajingan laknat itu.     Dahulu, bertahun-tahun silam, laki-laki pemerkosa yang di suatu malam tertangkap mata seorang pemulung sedang melompat ke tubuh kereta yang melintas namun justru tak mati, membuat hidup seorang perempuan rusak.     Perempuan itu telah lama membangun hidupnya mulai dari nol; tanpa orangtua dan bahkan tanpa orang-orang yang sedia melindunginya. Tubuh gadis itu be

[Cerpen]: "Jembatan dan Lelaki Tua Kesepian" karya Ken Hanggara

Sumber: pixabay.com (Dimuat di Flores Sastra, Kamis, 27 September 2018)       Jembatan di seberang panti jompo itu tidak pernah benar-benar dilewati orang. Aku bisa memastikan karena hampir sepanjang waktu aku duduk di situ dan tidak beranjak. Lalu lalang orang kebanyakan terjadi dekat taman yang berada persis di ujung salah satu jembatan.     Aku tidak tahu apa yang ada di ujung lain jembatan, tetapi kupikir boleh jadi itu jalan menuju kota lain di balik bukit. Buat apa orang sudi membangun sebuah jembatan yang cukup besar hanya untuk mengantarkan pengunjung taman kota kecil ini ke sebuah hutan? Sampai sejauh itu, tidak ada kemungkinan lain yang bisa kubayangkan.     Aku pikir, dahulu, jembatan itu tidak sesepi sekarang. Tiada henti dilewati mereka yang pergi ke kota lain tadi dengan rute yang lebih istimewa karena menawarkan lokasi yang bebas polusi udara dan risiko tertabrak mobil. Orang-orang bisa menyeberang ke kota tetangga dengan rute yang tidak ada bedanya dari tempat re

[Cerpen]: "Bibit Dosa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di takanta pada 1 Juli 2018)       Pagi itu Bapak meninggal di kasur. Ketika pelayat berdatangan, aku pergi. Dan ketika aku pergi, orang-orang tidak menahanku. Mulanya aku merasa ada yang tidak beres. Sebulan terakhir Bapak pulang pagi, dan kalau ditanya dari mana, dia tidak menjawab. Lain kesempatan, kubanting piring di depannya. Bapak merespon dengan marah.     Aku sadar, kalau melawan, aku tidak menang. Tubuhku kecil, dan walau Bapak bilang kemungkinan tubuh ini dulu bisa menjadi tulang belulang, aku tertawa. Bahkan detik ini pun tubuhku tinggal tulang sama kentut.     Aku anak durhaka, begitulah Bapak menyebutku. Menurutnya, jika seorang anak tidak patuh pada orangtua, bisa dosa, walau bapaknya bejat.     Di masa lampau, ketika aku masih berseragam dan tak tahu di mana Ibu berada, teman-teman bilang ibuku pendosa. Sedang Bapak, kata mereka, jauh lebih buruk dari pendosa.     "Bapakmu iblis," tuduh mereka.

[Cerpen]: "Pengakuan Seorang Pendosa" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos edisi Minggu, 23 September 2018)       Bertahun-tahun yang lalu aku sering melihat maling dihajar masa; sebagian mereka selamat karena polisi datang tepat waktu, tapi beberapa meninggal di tangan warga yang terbakar emosi. Aku tidak ingin menceritakan soal itu, tapi mungkin saja kematianku di suatu tempat jauh lebih buruk dari itu.     Aku membayangkan beberapa orang menghajarku tanpa ampun. Di tanah terbuka, mereka menyerangku dari berbagai arah. Mereka tidak peduli seberapa besar sakit yang kuderita akibat serangan-serangan ini, sehingga kubayangkan kepala para penghajarku sama sekali kosong.     Orangtuaku pernah berpesan, "Kelak, jika kau benar-benar membiarkan kepalamu kosong, segala hal buruk dan menjijikkan terasa wajar dan batas-batasmu—batas-batas kemanusiaanmu—menjadi tidak ada."     Waktu itu aku tidak paham kalimat tersebut, tetapi hari demi hari, hidup di dunia keras mendidikku memahami secara utuh maksud nasihat mereka. Maka, demikianlah

[Cerpen]: "Matinya Penyembah Puisi" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Rakyat Sultra edisi Rabu, 19 September 2018)        Ali Sudarwin pernah mengatakan dalam sebuah diskusi di gedung kesenian di kota kami, bahwa dia akan mati pada umur dua puluh delapan. Pada waktu itu tidak banyak yang menganggapnya serius atau malah tidak ada sama sekali yang menduga bahwa di usianya yang keduapuluh delapan, persis empat tahun setelah ucapan itu dia katakan di diskusi tersebut, dia mati gantung diri.     Saat mendengar kabar itu, aku sakit dan berbaring sendirian di rumah yang kusewa, sebuah rumah yang dapat sewaktu-waktu roboh saking busuknya. Di sini kurawat diriku sendiri dengan banyak istirahat dan minum air putih, karena tidak ada uang untuk pergi ke dokter.     Sejak dulu aku percaya Ali Sudarwin tidak bercanda dengan ucapannya itu. Setelah memastikan yang terjadi bukan mimpi, aku membiarkan penelepon berceloteh sendiri di seberang sana selagi kupandangi langit-langit kamar dan membayangkan teman lamaku itu.