Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Bertamu ke Rumah Maria" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Riau Realita, Selasa, 7 Maret 2017)      Tubuhku berdarah- darah dan aku tidak mau membuat masalah lagi. Tadi pagi aku mungkin masih bisa bersombong, tetapi barusan nyawaku nyaris melayang, dan suatu perasaan takut segera menyergapku. Anak-anakku masih sangat kecil, dan aku pun juga masih menyayangi istriku. Jadi, kuputuskan menyudahi semua ini. Kesombongan hanya untuk orang-orang yang ingin mati cepat. Aku tidak ingin mati cepat.     Aku mungkin masih bisa mencari sedikit peruntungan di kampung sepi ini. Untung saja, setelah berlari begitu lama, dengan mengerahkan segenap tenaga, dapat kuhindari serbuan massa yang marah gara-gara kucuri sepeda motor bagus di depan warung nasi. Aku tidak hafal kawasan situ, karena memang cukup jauh dari rumahku. Sengaja kucari target di titik yang tidak memungkinkan istriku tahu aku sampai mencuri hanya untuk menutupi ketidaksanggupanku membiayai kebutuhan dapur.

[Cerpen]: "Berharap Dijemput Malaikat" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 5 Maret 2017)     Aku malas disuruh- suruh mandi setiap pagi dan ditendang mamaku dan tidak boleh main video game lebih lama. Padahal, Papa membelikan itu untukku. Mama tak peduli dan terus menyuruh-nyuruh sehingga aku semakin benci. Maka, suatu pagi aku berharap semoga saja Tuhan mengirim malaikat untuk menjemputku dan membawaku ke tempat jauh.     Gagasan soal malaikat memang sudah lama ada di kepalaku. Tapi Mama tidak suka aku berkhayal, dan hanya akan bilang, "Imo, bersihkan mulutmu! Jangan melongo kalau makan!"     Aku tidak suka memakan sayur, tetapi mamaku senang memaksa. Sayur bagus buat kesehatanmu, supaya tidak loyo dan pintar, katanya. Padahal, mamaku sering memukul kepalaku dan berkata betapa aku adalah anak terbodoh di dunia.     Aku tidak suka Mama, tetapi Papa jarang pulang. Sekalinya pulang, lebih banyak bertengkar dengan Mama dan aku selalu duduk di depan pintu kamarku sambil melihat mereka seakan dua orang itu b

[Cerpen]: "Lelaki Pengupas Apel yang Membawa Ibu Pergi" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Sumatera Ekspres edisi Sabtu, 4 Maret 2017)     Meli gila setelah Ibu pergi tanpa meninggalkan pesan terakhir. Dalam suatu mimpi, adikku itu melihat Ibu pergi bersama lelaki berdasi yang suka makan apel. Dia memang bercerita apa adanya:     "Si lelaki membawa buah apel ke mana-mana dan mengupasnya tepat depanku, di pinggir jalan, di tengah keramaian pengguna trotoar. Seakan-akan apel itu adalah rokok dan orang tidak perlu heran melihat tingkahnya!"     Meli selalu melihat lelaki berdasi tersebut mengupas apel di dalam mimpinya. Tapi ia tidak mampu mengingat wajah si lelaki. Aku bosan meminta Meli menggambar wajah lelaki yang suka mengupas apel tersebut, karena siapa tahu kami dapat petunjuk tentang keberadaan Ibu.     Meli tidak ingin menyentuh buku gambar, meski kami semua tahu, dahulu sebelum Ibu pergi, dia suka menggambar. Buku gambar hadiah nomor satu sebelum berbagai boneka dan mainan favorit anak perempuan.     "Kamu paling pintar menggam

[Cerpen]: " Mayat di Dekat Pohon Pisang yang Menjelma Jadi Malaikat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Harian Waktu edisi Jumat, 24 Februari 2017) Kepada Bapak kukatakan, "Sugeni sudah mati." Lalu dia berdiri dan menghadapku dan bertanya dikubur di mana tubuh orang sinting itu. Kubilang, "Di dekat pohon pisang di belakang rumah Mak Nah." Tanpa banyak cincong, Bapak mengambil parangn dan keluar. Aku mengekornya seakan bajuku yang bernoda darah sama sekali tidak membuatku mual atau tidak juga membuatku berpikir aku harus segera mandi dan ganti baju agar tetangga tidak ada yang curiga. Bapak sendiri tidak peduli karena tahu sejak awal aku tidak suka pada Sugeni. Dulu Sugeni memperkosa kambingku. Aku tahu ada yang tak beres pada kambing itu. Suatu malam aku bermimpi kambing itu menjelma jadi perempuan jelek berjanggut dan berbau badan tidak enak. Si perempuan mengadu padaku bahwa Sugeni sang pacar telah minggat setelah menanam tubuh manusia di dalam tubuhnya. Di mimpi itu aku bertekad, bahwa kelak Sugeni harus mati di tanganku.

[Cerpen]: "Menguak Identitas Bertha" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Flores Sastra (17 Februari 2017) & Malang Post (19 Februari 2017))     Bertha sering memberiku tumpangan, tetapi aku tidak pernah tahu di mana rumah gadis itu. Ia hanya bilang, "Di suatu tempat yang tidak pernah kamu pikirkan." Tentunya aku semakin penasaran, apalagi sering saat aku kehabisan bus atau taksi, karena pulang kemalaman, tiba-tiba dia lewat dan berhenti begitu saja sembari membuka pintu depan mobilnya dan berkata, "Ayo, kuantar!"     Pertama kali Bertha memberiku tumpangan kira-kira setahun silam, dan pada saat itu kami belum saling mengenal. Dia berhenti begitu saja karena melihatku berdiri diam di pinggir jalan, dan membuka pintu depan mobil dan bertanya ke arah mana rumahku. Aku bisa mengantarmu, katanya waktu itu. Karena sama-sama perempuan, kupikir aku bisa menumpang mobilnya. Sejak itu, bantuan berupa tumpangan gratis selalu gadis itu berikan setiap aku kesulitan mendapat kendaraan.