Skip to main content

[Cerpen]: "Berharap Dijemput Malaikat" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Sumut Pos edisi Minggu, 5 Maret 2017)

    Aku malas disuruh- suruh mandi setiap pagi dan ditendang mamaku dan tidak boleh main video game lebih lama. Padahal, Papa membelikan itu untukku. Mama tak peduli dan terus menyuruh-nyuruh sehingga aku semakin benci. Maka, suatu pagi aku berharap semoga saja Tuhan mengirim malaikat untuk menjemputku dan membawaku ke tempat jauh.
    Gagasan soal malaikat memang sudah lama ada di kepalaku. Tapi Mama tidak suka aku berkhayal, dan hanya akan bilang, "Imo, bersihkan mulutmu! Jangan melongo kalau makan!"
    Aku tidak suka memakan sayur, tetapi mamaku senang memaksa. Sayur bagus buat kesehatanmu, supaya tidak loyo dan pintar, katanya. Padahal, mamaku sering memukul kepalaku dan berkata betapa aku adalah anak terbodoh di dunia.
    Aku tidak suka Mama, tetapi Papa jarang pulang. Sekalinya pulang, lebih banyak bertengkar dengan Mama dan aku selalu duduk di depan pintu kamarku sambil melihat mereka seakan dua orang itu bertarung dalam video game. Aku pegang Papa, dan Leli, anjing pudelku, boleh pegang Mama. Tidak ada joystick untuk Leli, sebab video game tidak diciptakan untuk anjing. Jadi, Papa selalu menang.
    Kalau tidak ada Papa, Mama yang menang, tetapi yang turun ke arena adalah aku yang gendut dan bodoh. Mama memukulku dan berkata betapa memalukannya semua nilaiku. Tidak pernah bikin bangga orangtua. Kepalaku lalu pusing.
    Mama pembohong seperti nenek sihir yang membohongi Putri Salju sehingga putri itu tidak curiga waktu diberi apel beracun. Papa selalu bilang, "Imo, kamu pintar sekali. Ini pohon daunnya bukan biru, tapi hijau. Lalu, ah... anjingnya tidak bertanduk, Nak."
    Papa memberiku kasih sayang berlebih dan tak seperti mamaku yang kasar. Daun diberi warna ini, lalu tanduk anjing itu harusnya dihapus, begitu kata Papa. Kalau ada Mama di sampingku saat itu, bukan tanduk di buku gambar yang harus dihapus, tetapi kepalaku dibenturkan ke tembok.
    Aku sering terluka oleh Mama, tetapi Papa jarang tahu karena jarang pulang. Satu atau dua bulan sekali Papa pulang, dan membawakanku donat cokelat. Aku tidak ingat. Pokoknya papaku jarang berada di rumah, sehingga aku sangat kangen dan berharap Tuhan mengirim sesosok malaikat padaku untuk bisa membawaku sejauh mungkin dari Mama.
    "Kalau ada malaikat, aku bisa minta apa saja. Aku minta mama baru dan biar Papa serta aku pulang ke rumah baru juga. Lalu setiap hari aku main video game sampai puas dan makan donat tanpa gosok gigi."
    Aku sering mengkhayalkan ini benar-benar terjadi. Jadi begini: di luar kamar ada taman, dekat dengan pagar, dan di luar pagar ada jalan. Kubayangkan malaikat baik hati yang dikirim oleh Tuhan itu hinggap di pagar. Jam sepuluh malam, ketika Mama sudah tidur, malaikat memetik harpa dan bernyanyi, "Imo, oh, Imo ... anak pintar, kemarilah. Kita pergi sejauh mungkin..."
    Aku membayangkan nada indah itu, seperti lagu yang kudengar dari kotak musik pemberian tanteku. Tanteku ini adik kandungnya Papa, dan dia pernah bilang kepada Mama, "Anakmu jangan dipukuli begitu. Nanti gila."
    Aku tidak tahu maksud Tante, tapi aku tidak merasa seperti orang gila, karena tidak telanjang di jalan raya. Aku hanya benci Mama. Kepalaku pusing setelah hukuman demi hukuman menyerangku. Aku bosan dipukuli, sehingga kukira sebaiknya kusiapkan saja bekal kepergian sebelum malaikat datang menjemput. Di rumah malaikat itu, mungkin ada banyak mainan, jadi aku hanya membawa barang seperlunya, seperti pakaian dan sepatu. Kalau malaikat bernyanyi, aku tinggal pergi begitu saja dari rumah yang jelek ini dengan menenteng ransel. Dan aku tidak perlu pamit kepada Mama.
    Tetapi, sudah begitu lama aku menunggu malaikat sampai aku bosan dan dia tidak datang-datang. Mungkin jalur terbang kemari macet seperti di game yang diberi oleh sepupuku, Super Mario Bross. Orang bulat-bulat berbaju kucing bisa terbang dan ada banyak halangan di awan-awan. Mungkin malaikat juga bisa capek dan istirahat dulu di tempat pengisian bahan bakar. Apa malaikat memang begitu, aku tidak tahu, karena aku juga tidak boleh membaca buku komik terlalu lama oleh Mama.
    Seandainya aku punya mama yang baik hati seperti kebanyakan teman di sekolah. Di kelas, aku paling menderita karena sering berpikir, membandingkan antara Bu Guru yang cantik dan baik dengan Mama yang jelek seperti nenek sihir.
    Tukang bohong itu tidak berhenti berkata pada Bu Guru, bahwa aku susah diatur, padahal aku diam saja kalau Mama menendang-nendang dan mengguyuriku air di bak mandi sampai menggigil. Dan aku merasa, anjingku Leli saja tidak pernah sepatuh ini. Anjingku tidak suka dimandikan dan selalu mengaing-ngaing lalu bersembunyi entah ke mana. Oh, Leli, coba aku sepertimu, bisa bersembunyi seenaknya dari serangan Mama, mungkin aku tidak perlu kesakitan.
    Aku lalu berdoa: kalau Papa pulang dan kembali memukuli Mama dengan panci, semoga pukulannya lebih keras dua puluh kali dari tendangan Mama padaku, sehingga nenek sihir mengerti rasanya sakit dan tidak lagi menghukumku begitu. Aku tidak tahu kenapa Mama membenciku, tetapi aku berharap suatu hari nanti kami tidak akan hidup bersama.
    Aku suka hidup dengan Papa sampai tua, dan ketika dia mati nanti, aku yang akan memikul petinya untuk kemudian memasukkan jenazah papaku sendiri ke makam dan aku berdoa sendirian. Tidak apa-apa semua kulakukan sendirian demi Papa, bila nanti kami berdua hidup bersama sampai Papa tua.
    Sayangnya, malaikat yang membawa harpa itu tidak juga datang. Kukira aku dan Papa tidak mungkin pergi tanpa bantuan malaikat, karena Mama punya peta dan mobil sendiri. Dia pasti bisa mencari kami dengan gampang dan membawaku ke rumah, lalu menyiksaku sampai babak belur dan aku dihukum tidak boleh main video game selama- lamanya.
    Aku malas disuruh-suruh mandi setiap pagi dan ditendang mamaku dan tidak boleh main video game lebih lama. Aku tidak suka pelajaran di sekolah karena membuatku sangat pusing dan ingin muntah. Kepada Bu Guru, aku sering minta izin pergi ke kamar kecil dan aku muntah di sana sepuasnya. Aku sering sakit perut tapi tidak ada kotoran keluar dari pantatku, seperti ketika Leli kebanyakan makan dan pantatnya mengeluarkan bau busuk.
    Suatu hari, kurasakan perutku semakin sakit. Lalu aku bertanya ke Bu Guru, "Bu, kok aku tidak bisa berak?" Perempuan baik hati itu pun bilang, bahwa mungkin tubuhku sedang tidak enak badan.
    Aku diam dan menolak waktu disuruh pulang lebih awal. Itu artinya, aku ketemu Mama lebih awal dan dia akan menyiksaku lebih lama daripada biasa. Main video game juga tidak bisa tenang, karena pada pukul sembilan pagi, biasanya Mama duduk di sofa dan membaca majalah. Tidak boleh berisik, katanya. Aku boleh main video game dari jam satu sampai setengah dua siang. Ketika itu mamaku tidur. Aku harus mematikan benda itu sebelum Mama bangun, karena kalau tidak, aku pasti dihukum lagi.
    Jadi, kukatakan pada Bu Guru, "Tidak, Bu. Aku di sini." Begitulah, aku pun boleh duduk di UKS dan bermain ular tangga bersama anak penjaga sekolah yang masih kecil. Aku selalu menang dan ingin kutunjukkan hasil pekerjaanku di papan ular tangga pada Papa, biar beliau bangga.
    Anak itu gampang bosan dan dia lebih bodoh dariku karena ingusnya suka keluar. Anak itu belum didaftarkan ke sekolah mana pun dan sering kubisiki dia, "Besok-besok jangan mau sekolah, nanti disiksa kayak aku."
    Anak itu meringis dan mengusap-usapkan ingusnya ke tanganku. Hari ini, belum sempat kubilang kalau aku mau pergi jauh bersama malaikat pada suatu malam, anak itu sudah pergi ke pangkuan ibunya di kantin.
    Sekarang aku sendiri dan mencari cara bagaimana tidak pulang ke rumah. Perutku masih sakit, tetapi aku bisa berjalan jauh. Maka aku pergi diam-diam dari situ dengan ransel yang lengkap berisi buku pelajaranku. Aku keluar pagar sekolah tanpa ada yang tahu dan di selokan depan pagar sekolah, buku-bukuku tadi kubuang. Mereka mengalir seperti kapal pesiar dan aku bertepuk tangan dengan senang.
    Pada saat itulah, aku kaget karena sesosok malaikat tiba-tiba datang dan memberi aku sebungkus Bengbeng. Aku suka makan cokelat, kataku padanya, tetapi jangan yang ini. Lalu dia tanya, "Cokelat apa?" Kubilang, aku ingin donat cokelat. Aku sangat yakin dia malaikat, karena katanya di rumahnya ada banyak donat. Kalau tidak salah, katanya lagi, ada segunung donat cokelat kalau aku memang mau.
    Tentu saja aku mau. Kutanyakan, apakah Papa tahu rencana ini? Dia jawab, "Beres, Bos," sambil mengedipkan sebelah mata. Maka, aku ke rumah malaikat itu, yang tidak bersayap dan tidak membawa harpa. Dia berpakaian seperti tukang sapu di sekolahku: kemeja kelabu dengan satu lubang di ketiak dan satu lagi lubang agak besar di kerahnya. Aku kira malaikat sangat suka menyamar. Dia bertanya siapa namaku dan kujawab saja namaku Imo. Lalu dia tersenyum bahagia.
    Kami jalan sangat jauh, melewati jalanan yang bukan biasanya kalau aku pergi dan pulang sekolah bersama Mama. Aku setuju karena mamaku biasa menjemputku dari rumah melewati jalan tersebut. Kalau ketahuan aku bersama malaikat, rencanaku gagal semua.
    Malaikat itu tidak bicara waktu di jalan. Aku sudah sangat capek, tapi tidak rewel, karena mungkin lalu-lintas di awan sana memang macet seperti yang pernah kupikirkan, jadi kami tidak bisa pergi melayang, walau langit di atas cerah. Matahari terik bersinar sampai kepalaku seakan leleh. Kukatakan, aku mau es krim. Malaikat itu janji akan ada es krim sesampai di rumahnya nanti.
    Tetapi kukira rumah malaikat masih sangat jauh, karena dia memintaku berhenti di tempat sepi dan mengambil tas serta sepatuku untuk dititipkan ke rumah temannya. Aku tidak tahu apa maksudnya, tetapi dia bilang, "Biar rencana kita sukses, Bos."
    Aku setuju. Dia pergi lebih dulu ke tempat penitipan dan aku disuruh menunggu. Sampai sore, malaikat itu tidak kembali dan aku mengantuk. Aku tidak tahu bagaimana aku bisa pulang dan apakah malaikat itu benar-benar ingin membawaku ke tempat yang jauh atau tidak?

    Gempol, 12 Juni 2016 - 6 Januari 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri