Skip to main content

[Cerpen]: "Bertamu ke Rumah Maria" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Riau Realita, Selasa, 7 Maret 2017)
  
  Tubuhku berdarah- darah dan aku tidak mau membuat masalah lagi. Tadi pagi aku mungkin masih bisa bersombong, tetapi barusan nyawaku nyaris melayang, dan suatu perasaan takut segera menyergapku. Anak-anakku masih sangat kecil, dan aku pun juga masih menyayangi istriku. Jadi, kuputuskan menyudahi semua ini. Kesombongan hanya untuk orang-orang yang ingin mati cepat. Aku tidak ingin mati cepat.
    Aku mungkin masih bisa mencari sedikit peruntungan di kampung sepi ini. Untung saja, setelah berlari begitu lama, dengan mengerahkan segenap tenaga, dapat kuhindari serbuan massa yang marah gara-gara kucuri sepeda motor bagus di depan warung nasi. Aku tidak hafal kawasan situ, karena memang cukup jauh dari rumahku. Sengaja kucari target di titik yang tidak memungkinkan istriku tahu aku sampai mencuri hanya untuk menutupi ketidaksanggupanku membiayai kebutuhan dapur.

    Aku dipecat sebulan lalu, dan istriku masih mengira aku bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik benang. Pabrik itu seharusnya sudah sejak lama gulung tikar, dan ketika kenyataan ini terjadi, terpaksa aku kehilangan satu-satunya sumber kehidupan keluarga kecilku. Aku pontang-panting ke sana kemari mencari kerja, tetapi tidak ada kabar baik kudapat.
    Karena tidak sabar, suatu hari kucoba mencuri benda berharga di pasar. Level yang terendah, sejenis makanan tertentu yang dapat dibeli oleh bocah kelas enam SD, seumur sulungku. Sekali dua kali berhasil, pada mulanya aku merasa berdosa, tetapi setelahnya tidak sama sekali. Lalu kucoba mencuri barang yang sedikit lebih mahal, dan aku bisa. Aku memang bisa mencuri. Kulakukan itu lagi dan lagi, sambil terus menaikkan level barang curianku. Hasilnya lumayan juga. Sementara menunggu panggilan kerja di luar kota, aku masih bisa mencuri untuk menambal kebutuhan kami.
    Tentu saja istriku tidak harus tahu soal ini, apalagi anak-anak. Jadi, setiap hari aku masih berangkat kerja dengan kostum satpam. Betapa munafik. Seragam satpam yang kukenakan seakan memberiku rasa gerah dan gatal gaib, padahal seragam itu bersih dan baru disetrika. Barangkali ia menolak berbuat munafik, tetapi aku tidak bisa bila tidak munafik. Itu memang harus kulakukan, meski terpaksa, agar anak istriku tidak kecewa.
    Aku sendiri berjanji, setelah semua itu selesai, maksudku setelah mendapat kerja di mana pun, aku akan berhenti mencuri. Itu memang sudah jadi semacam kesepakatan di antara aku dan sisi baik dalam diriku. Aku berjanji mengganti seluruh dosa mencuri ini dengan memberikan sebagian rezekiku kepada orang-orang tidak mampu. Itu pasti akan kulakukan jika kelak aku mendapat pekerjaan. Aku tidak tahu apa kata ulama di desaku, tetapi aku akan tetap melakukan sesuai tekadku ini.
    Sayangnya, belum sampai tujuanku tercapai, aku tertangkap basah dan dihajar oleh sekelompok pria. Aku ditendang dan dilempari balok kayu sampai kepalaku bocor dan pandanganku agak berkunang. Sejenak aku yakin aku mati, tetapi aku masih hidup. Aku masih dapat merasakan sakit di badan dan kepalaku. Aku tidak tahu bagaimana akhirnya aku bisa lari dengan sisa tenagaku, menerabas hutan gelap dan hilang dari sasaran amuk warga.
    Aku terus berjalan setelah yakin mereka berhenti mengejarku. Biar saja seesorang menelepon polisi, karena di hutan ini penyesalanku menumpuk sehingga bayang wajah istri dan anak-anak membuatku merasa sangat berdosa. Aku sadar dengan memberikan uang haram, sebetulnya sama saja kubakar mereka dengan api neraka. Sepanjang jalan aku mulai menangis dan tak peduli meski mungkin hantu-hantu gentayangan sedang ada di sekelilingku. Aku hanya terus memikirkan nasib anak istriku.
    Harusnya memang aku tidak pernah mencuri. Meminjam uang lebih baik daripada mencuri. Menjadi pengangguran jujur lebih baik daripada maling. Lalu, timbullah suatu gagasan bahwa aku harus mengakui ini secara terhormat. Aku tidak ingin mati di sini, malam ini, jadi lebih baik kucari rumah seseorang dan kubiarkan dia memanggil polisi. Lebih baik berada di tangan polisi, daripada dihajar massa yang kalut.
    Ketika menemukan suatu kampung, kukira aku masih bisa bertahan hidup, dan aku tidak akan mati sia-sia dan menimbulkan kesedihan lebih mendalam di hati anak istriku. Kalau dipikir-pikir, lebih baik mereka membenciku saja karena ketangkap polisi karena mencuri, daripada mendengar aku mati dihajar massa gara-gara mencuri.
    Dua hal itu, bagiku, amat lain artinya. Aku mati sebagai maling, dan aku dibawa ke penjara sebagai maling. Itu jelas berbeda. Jika aku mati sebagai maling, anak dan istriku sudah pasti sedih dan kecewa, dan aku tidak dapat meminta maaf kepada mereka sampai kapan pun. Sedangkan jika aku dipenjara oleh polisi, respons mereka memang begitu juga, tetapi aku masih punya waktu untuk meminta maaf, kelak jika bebas dari penjara.
    Aku ingin memperbaiki semua.
    Aku mengetuk pintu sebuah rumah, dan seorang perempuan cantik membuka pintu sambil memasang wajah penasaran. Aku bilang, aku sedang terluka. Dan memang siapa pun dapat melihat lukaku cukup lumayan. Darah mengalir dari kepalaku, dan tubuhku ini membiru akibat tendangan warga. Lalu perempuan cantik itu menyuruhku masuk ke ruang tamu, dan berjanji akan memberiku perawatan sebisanya. Barangkali dia pikir aku ini korban kecelakaan atau perampokan, sehingga tidak ada rasa takut di matanya.
    Begitu pintu ruang tamu ditutup, aku merasa lega. Kupandangi suasana ruang tamu yang penuh barang pajangan berupa guci dan patung-patung serta souvenir dari banyak tempat. Aku tidak tahu benda-benda itu didatangkan atau dibawa dari daerah mana saja, tetapi yang pasti rumah ini terlihat seperti rumah orang berduit. Seandainya aku belum taubat, sudah pasti rumah ini menjadi sasaran yang empuk. Tidak ada satpam di depan sana, dan kondisi rumah-rumah tetangga di sekitarnya juga seperti rumah kosong tidak berpenghuni.
    Barangkali karena kampung ini kampung terpencil, jadi tidak semua rumah terlihat betul-betul berpenghuni, padahal aslinya memang berpenghuni. Rumah ini sendiri kalau dari depan terlihat sepi, tetapi ternyata dihuni perempuan cantik dengan baju tidur cerah yang wangi. Dia pasti istri si pemilik rumah, dan sudah pasti mereka memiliki rumah ini sebagai semacam rumah peristirahatan, untuk mengusir penat hidup di kota besar yang bising dan kejam.
    Rumah yang sebegini besar sebenarnya agak aneh dan mencolok ketika kita dapati di suatu kampung terpencil di dekat hutan. Tetapi aku yakin di sini ada pesawat telepon yang berfungsi dengan baik, sehingga nanti aku dapat menjamin si perempuan cantik itu agar tidak usah takut saat kuakui bahwa sebenarnya aku ini adalah pencuri yang nyaris mati dihajar massa. Karena ia dapat langsung menelepon polisi.
    Aku sedang menyiapkan kalimat yang tepat agar perempuan itu tidak panik, ketika ia mendadak keluar dengan membawa baskom air hangat dan juga handuk kecil warna biru. Ia duduk dan bertanya siapa namaku. Kubilang bahwa namaku adalah Sapono, tapi sebelum kukatakan lebih lanjut kenapa aku terluka sebegini parah, perempuan cantik itu memperkenalkan diri sebagai Maria.
    Handuk itu dia rendam di baskom air hangat, dan Maria mulai menangis karena tak tega melihat gigi depanku yang copot satu. Ia bilang, wajahku mengingatkannya kepada suaminya yang sudah almarhum ditembak pencuri. Waktu itu ada dua pencuri masuk ke rumah ini, dan kebetulan suaminya baru keluar dari toilet dan langsung berteriak. Salah satu pencuri itu membawa pistol, dan seketika suaminya ditembak tepat pada jidatnya.
    "Suami saya mati. Otaknya berhamburan di lantai dekat pintu toilet seperti bubur!"
     Aku tidak tahu harus bicara apa, karena ini di luar dugaan. Dua orang pencuri pada masa lalu masuk kemari dan membawa pistol dan menembak kepala suaminya sampai otaknya berhamburan seperti bubur. Kurasa tidak ada lagi cerita yang lebih memilukan dari itu. Aku lumayan shock mendengarnya.
    Jika suaminya alharhum, dengan siapa ia tinggal di rumah besar yang sepi ini?
    "Saya sendirian kok, tetapi sudah biasa," katanya pendek.
    Lalu Maria merawat luka-lukaku dengan telaten.
    Aku diam selama lima belas menit, dan kubiarkan Maria yang cantik ini berbicara sesukanya. Aku belum dapat menemukan cara untuk menjelaskan siapa aku sebenarnya kepadanya. Sesekali dia memandangiku dalam-dalam, dan kurasakan getaran aneh pada tubuhku, yang entah kenapa mendadak diliputi nafsu membara untuk mengajak Maria kawin. Aku tidak mengerti dari mana gagasan konyol semacam ini datang, tapi mungkin itu karena Maria terlalu cantik di mataku. Tentu saja aku tidak akan melakukannya.
    "Anda sudah punya istri atau belum?" tanya Maria setelah hampir seratus persen ia rampungkan pekerjaannya merawat lukaku.
    Kusampaikan bahwa anakku ada beberapa orang dan yang tertua sudah kelas enam SD. Istriku sebenarnya lumayan cantik juga. Ia dengar itu dengan penuh kesabaran, lalu mulai mengemasi tisu-tisu penuh darahku yang tadi kupakai untuk mengusap beberapa luka yang tidak henti mengalirkan darah.
    "Sekarang Anda sudah agak baikan, 'kan? Anda bisa istrirahat dulu di kamar, kalau Anda mau. Saya sudah siapkan kamar untuk Anda tadi sewaktu mengambil air hangat," kata Maria tenang.
    Aku tidak bisa menerima tawaran itu, karena sebetulnya yang Maria lakukan tidak harus lebih dari ini. Tapi, ia memaksaku tidur di kamarnya, dan entah kenapa aku tak bisa menolak.
    Maria juga masuk ke kamar yang sama. Setelah aku berbaring, ia ikut berbaring. Aku tidak tahu bagaimana aku mengantuk dan ketiduran, dan kemudian kurasakan ada sentuhan aneh di punggungku. Seingatku aku tidak melepas baju setelah dirawat, tetapi aku merasa badanku tidak berbaju dan suasana kamar sangat dingin. Saat kubuka mata, baru kutahu bahwa ternyata aku tidak tidur di kamar seseorang, melainkan di kuburan yang entah berada di mana. Aku tidak tahu siapa sebenarnya Maria, tetapi kukira warga masih dapat membunuhku dalam waktu dekat ini. []
    Gempol, 5-9-2016
   
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri