Skip to main content

[Cerpen]: " Mayat di Dekat Pohon Pisang yang Menjelma Jadi Malaikat" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Harian Waktu edisi Jumat, 24 Februari 2017)

Kepada Bapak kukatakan, "Sugeni sudah mati." Lalu dia berdiri dan menghadapku dan bertanya dikubur di mana tubuh orang sinting itu. Kubilang, "Di dekat pohon pisang di belakang rumah Mak Nah."
Tanpa banyak cincong, Bapak mengambil parangn dan keluar. Aku mengekornya seakan bajuku yang bernoda darah sama sekali tidak membuatku mual atau tidak juga membuatku berpikir aku harus segera mandi dan ganti baju agar tetangga tidak ada yang curiga. Bapak sendiri tidak peduli karena tahu sejak awal aku tidak suka pada Sugeni.
Dulu Sugeni memperkosa kambingku. Aku tahu ada yang tak beres pada kambing itu. Suatu malam aku bermimpi kambing itu menjelma jadi perempuan jelek berjanggut dan berbau badan tidak enak. Si perempuan mengadu padaku bahwa Sugeni sang pacar telah minggat setelah menanam tubuh manusia di dalam tubuhnya. Di mimpi itu aku bertekad, bahwa kelak Sugeni harus mati di tanganku.

Pada suatu malam di bulan Ramadhan, semua bebek milik bapakku ribut. Awalnya orang mengira ada maling ingin mencuri beberapa bebek, tetapi setelah dihitung, tak ada satu pun hilang. Karena penasaran, aku menunggu bermalam di dalam kandang. Di malam ketiga, kulihat Sugeni menyatroni semua bebekku.
"Sugeni itu sinting dan pantas dibunuh. Bila semua binatang dibuat stress, mereka tidak produktif, dan yang rugi kita," kataku pada Bapak. Akhirnya, setelah beberapa hari merajuk, Bapak menyanggupi tidak melaporkanku ke polisi atau siapa pun, jika nanti memang Sugeni jadi mati di tanganku.
Sugeni sudah jadi musuh bebuyutanku sejak SD. Dulu kami suka bermain bola dan dia senang meledekku habis-habisan; Sugeni bilang tendanganku tidak akan bisa setara Kapten Tsubasa, sehingga aku lebih pantas bersolek. Kata Sugeni, aku cocok kerja pada Mbak Rosmalina, wanita jadi-jadian pemilik salon Juwita Cantik di seberang kantor pos. Aku yang ketika itu masih ceking, tidak berani melawan kesemena-menaan Sugeni yang berbadan Samsons. Ia tidak segan menggelut anak SD lain atau anak SMP (atau bahkan siswa SMA) yang tidak suka padanya, dan Sugeni selalu menang.
Menjelang SMA, aku mengurung diri di rumah, tidak banyak omong dan bermain. Sugeni masih bersenang-senang dengan kegilaan dan kebejatannya; ia sudah seringkali tertangkap basah mabuk oleh warga, tapi tak ada yang berani mengganggu. Sugeni juga sering kedapatan mengintip perawan-perawan mandi di tepi kali, tetapi para lelaki yang seusia dengannya tak berani berbuat apa-apa.
Demi kenyataan itu, kubangun tempat fitness dalam kamarku sendiri, dan di salah satu sisi tembok kutulis besar-besar: pada suatu hari dari tubuh seukuran batang lidi ini lahir sesosok Hercules pembela kebenaran yang menumpas setan alas bernama Sugeni. Demikianlah bagaimana tiga sampai empat tahun kemudian aku tak lagi sekurus dahulu. Tubuhku sudah pantas disetarakan tubuh Sugeni. Aku berhasil berkat kekuatan kata-kata, sekaligus dendam kesumat yang terlalu lama menggunung.
Bapak sadar aku punya alasan menghabisi Sugeni; dan itu bukan sekadar kambing dan bebek kami yang ia perkosa, tetapi ada hal lain. Sarmila, pacarku semasa SMP, dulu direbut Sugeni secara paksa. Aku tidak bisa melawan, dan Sarmila rela sebab tidak ingin aku dihajar oleh Sugeni sampai mati dan tubuhku nanti dibuang ke sungai besar dan tidak pernah ditemukan selamanya.
Sarmila berkata di hari perpisahan kami, waktu kami masih SMP tentu saja, "Suatu hari nanti rebut diriku dari Sugeni." Kata-kata itu dulu membuatku menangis semalam dan membayangkan aku Superman yang bisa terbang dan mengalahkan Sugeni dengan gampang, tanpa perlu upaya body building, tapi hari ini semua itu tahi kucing. Aku tidak bisa merebut Sarmila karena setelah melahirkan empat orang anak kandung Sugeni, dia mati ketabrak kereta.
Sugeni dan Sarmila memang menikah, walaupun Sugeni tidak pernah bekerja dan dikenal sebagai gorilla sinting yang suka berbuat onar di kampung serta ketua umum persatuan pemuda tak berguna dan pengangguran kelas berat sekecamatan. Barangkali Sarmila stress, lalu ia memutuskan minggat membawa anak-anaknya, dan saat di tengah jalan mereka semua ditabrak kereta sampai mati.
Setelah mendengar kabar kematian Sarmila, malam harinya aku mimpi didatangi perempuan ayu itu dan ia berpesan, "Sugeni harus mati, Mas. Biar di neraka aku bisa membalaskan dendamku kepadanya." Siapa tidak punya dendam pada Sugeni? Bahkan orang paling lembut seperti Sarmila pun tidak tahan.
Maka, pada akhirnya, setelah Sugeni mati dan kulihat punggung Bapak berjalan di depanku, aku merasa lega karena sudah menepati janjiku. Bajuku bernoda darah Sugeni yang amis dan menjijikkan, tetapi aku tidak muntah. Aku hanya berpikir mengikuti saja apa langkah yang akan Bapak ambil untuk jasad Sugeni. Setiba di dekat pohon pisang Mak Nah, Bapak berdiri kaku melihat gundukan yang sebelumnya tidak pernah ada.
"Sugeni kupendam di situ," kataku pendek.
Bapak lalu menebas beberapa daun pisang dan menyerahkannya padaku untuk aku kumpulkan dan satukan. Aku tidak tahu apa maksud Bapak, tapi ia terus melakukannya. Bapak berhenti setelah banyak daun pisang terkumpul; tidak cuma dari pohon yang ada di dekat kuburan Sugeni, tetapi juga pohon-pohon pisang lain di sekitar situ.
"Buat apa, Pak?"
"Sudah. Kamu diam!"
Bapak lalu mengajakku menggali kuburan Sugeni dengan tangan. Kami menggali kira-kira lima menit, dan tubuh Sugeni tampak. Aku bertanya dibawa ke mana jasad orang sinting ini? Bapak bilang, dibuang ke sungai biar betul-betul hilang dan tidak ada jejak tertinggal. Aku pikir itu jelas lebih baik, tapi apa gunanya daun pisang ini?
"Daun-daun ini buat membantu kelancaran perjalanan Sugeni. Kamu diam saja."
Tak berapa lama tubuh Sugeni pun kami seret melintasi kebun Mak Nah. Tak jauh dari sana terdapat sebuah sungai besar. Bapak menyuruhku membantu membungkus si Sugerni dengan daun pisang. Aku menurut. Begitu pekerjaan aneh ini selesai, Bapak membolehkan aku menendang jasad itu agar menggelinding ke sungai.
Tubuh Sugeni pun menggelinding dan bunyi kecipak belasan meter di bawah kaki kami terdengar. Tak berapa lama, arus sungai yang biasanya menimbulkan irama teratur, melahirkan suara-suara aneh yang tak bisa kukenali dengan otakku. Aku tak tahu suara apa itu, tetapi jasad Sugeni mendadak menyala dan terbang dengan jarak sejengkal dari air. Aku maju dan Bapak terkekeh sinis. "Kamu nggak paham, Le," katanya. "Dari dulu harusnya kamu tahu. Sugeni bukan manusia. Dia seperti manusia, tapi bukan manusia."
Tanpa memberi penjelasan apa-apa, Bapak pergi. Jasad Sugeni pun melayang lebih tinggi, dan pada ketinggian kesekian, daun-daun pisang tadi bergetar bersamaan dengan getaran keras dari tubuh tak bernyawanya. Getaran itu mencipratkan darah di badannya akibat kuhabisi dengan pacul. Cahaya di dalam tubuhnya makin terang dan terang. Pada saat tak terduga, daun-daun itu berubah sayap yang membentang dan tubuh Sugeni kini berubah menjadi burung. Ia terbang dan menghilang begitu cepat di angkasa.
Aku tidak tahu bagaimana semua itu terjadi, tapi Sugeni yang kuhabisi pada suatu malam berubah menjadi malaikat. Jasadnya menjadi burung bercahaya putih dan hilang ke angkasa.
Ketika kuajak Bapak bicara soal ini, beliau pura-pura tak mengerti. Aku ceritakan pengalamanku pada orang-orang di warung, mereka tak percaya. Saat Sarmila hadir ke dalam mimpiku, bersama si kambing yang menjelma perempuan berjanggut dengan bau badan tak keruan, mereka kuceritai hal yang sama. Mereka juga tidak percaya.
"Ada yang tidak beres di kepalamu, Sanusi," kata Sarmila dalam mimpiku.
Aku tak mengerti maksudnya, tapi Sarmila dan perempuan berjanggut menyuruhku duduk di kursi dan mereka mengikatku. Mereka membawa jarum suntik. Aku menjerit kesakitan saat jarum itu menusukku. Aku ngantuk dan pandanganku berkunang-kunang. Aku membayangkan menjotos kloningan Samsons, musuh bebuyutanku sejak masa SD: Sugeni. Tapi yang kutinju hanyalah udara kosong.
Ketika terbangun, kulihat jam dinding menunjuk pukul 11.00. Seseorang mengetuk pintu. Seseorang masuk. Bapak dengan seorang dokter membawa nampan berisi bubur ayam dan beberapa butir pil dan teh hangat. Dokter itu tampan dan berbadan kekar, dan ia penyabar. Ia menyuruhku memelihara kambing dan bebek kalau nanti sudah boleh keluar dari sini.
"Tapi, Anda tidak menggoda istri saya, 'kan?" tanyaku.
"Oh, tentu saja tidak. Saya sudah punya istri," kata dokter itu.
Seperti biasa, Bapak menasihatiku agar jangan kurang ajar pada dokter yang satu ini, sebab Dokter Sugeni adalah dokter yang membantuku lepas dari penderitaan akibat anak istriku minggat dan mati ketabrak kereta. [ ]
Gempol, 2016 - 2017
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri