Skip to main content

[Cerpen]: "Lelaki Pengupas Apel yang Membawa Ibu Pergi" karya Ken Hanggara

 (Dimuat di Sumatera Ekspres edisi Sabtu, 4 Maret 2017)

    Meli gila setelah Ibu pergi tanpa meninggalkan pesan terakhir. Dalam suatu mimpi, adikku itu melihat Ibu pergi bersama lelaki berdasi yang suka makan apel. Dia memang bercerita apa adanya:
    "Si lelaki membawa buah apel ke mana-mana dan mengupasnya tepat depanku, di pinggir jalan, di tengah keramaian pengguna trotoar. Seakan-akan apel itu adalah rokok dan orang tidak perlu heran melihat tingkahnya!"
    Meli selalu melihat lelaki berdasi tersebut mengupas apel di dalam mimpinya. Tapi ia tidak mampu mengingat wajah si lelaki. Aku bosan meminta Meli menggambar wajah lelaki yang suka mengupas apel tersebut, karena siapa tahu kami dapat petunjuk tentang keberadaan Ibu.
    Meli tidak ingin menyentuh buku gambar, meski kami semua tahu, dahulu sebelum Ibu pergi, dia suka menggambar. Buku gambar hadiah nomor satu sebelum berbagai boneka dan mainan favorit anak perempuan.
    "Kamu paling pintar menggambar. Kenapa tidak mau menggambar wajah si lelaki yang suka mengupas apel?" tanyaku.
    Meli tidak memberi jawaban. Ia terus menerus bercerita dalam banyak kesempatan tentang mimpinya bertemu si lelaki dengan apel di tangannya. Suatu kali Ibu bersama si lelaki tersebut, tetapi di lain mimpi, hanya si lelaki yang dilihat adikku.
    Aku tidak tahu penyakit macam apa yang Meli derita. Mendapatkan banyak mimpi dengan tokoh lelaki apel, yang diyakini membawa pergi Ibu, adalah keanehan. Apakah benar seseorang bisa begitu? Maksudku, apakah bisa seorang figur mampir ke mimpimu dalam banyak kesempatan, dan melulu berbuat hal itu-itu saja?
    Mengupas apel adalah kegiatan yang biasa kami lakukan, tetapi itu tidak istimewa. Ibu juga jarang membeli apel. Kebanyakan kami makan jeruk, pisang, dan melon. Tak ada sejarah keluarga kami menggemari apel, hingga muncul semacam cetak biru mimpi tentang apel.
    Kenyataan ini membuatku curiga ada kejadian tertentu yang Meli alami terkait apel, tapi ia tidak pernah bercerita. Meli, sebagaimana yang sudah kukatakan, menjadi sinting setelah Ibu pergi. Ia tampak depresi dari hari ke hari, dan pada suatu ketika bertelanjang dada sambil berjalan mengitari pohon di belakang rumah. Untung tidak ada yang tahu ini, dan aku menyimpannya bersama seorang sepupu. Di rumah, aku dan bibiku yang mengurus Meli. Ayah sudah mati sejak kami sekolah. Kami sendiri bukan orang kaya, tetapi bibi beserta sepupu yang masih sekolah itu menumpang dan menjadi tanggungan hidupku.
    Bersama sepupuku, kadang-kadang aku berbagi masalah ini; bagaimana membuat Meli sembuh. Kami terpikir membawanya ke psikiater, tetapi mungkin itu membuatnya tersinggung. Aku mengerti Meli tidak sadar isi kepalanya sedang kacau. Membawanya ke tempat macam itu mungkin membuat adikku sedih dan segalanya akan lebih kacau.
    Akhirnya aku dan sepupu mengajak Meli berbicara seakan dia gadis normal. Kami memberi adikku kejutan di luar hari ulang tahunnya, atau mengajaknya bicara tentang lelucon apa pun, tapi respons Meli jauh di luar harapan.
    Entah bagaimana kemudian satu-dua tetangga tahu aib itu dan kabar tentang Meli yang bertelanjang dada sambil berjalan berputar-putar dan bernyanyi lagu Nina Bobo di belakang rumah segera menyebar sehingga tidak ada yang tidak tahu Meli kini gila. Aku sedih karena Ibu pergi. Dan semakin sedih melihat keadaan Meli.
    Aku merindukan Meli yang tidak mengigau lantas terbangun dengan banyak cerita tentang lelaki yang mengupas apel dalam mimpinya. Aku rindu Meli yang girang tak kepalang dan melonjak-lonjak ketika dihadiahi buku gambar. Aku rindu Meli yang dulu kukenal.
    Kesedihanku memuncak setelah sepupuku terlibat tawuran, dan urusan ini harus kuselesaikan sementara Meli makin tenggelam dalam kesintingannya. Aku marah besar dan kutumpahkan marahku ke Meli, yang harusnya lebih tepat ditelan sepupuku. Meli yang tidak salah, karena tidak mau menggambar wajah lelaki asing dalam mimpinya itu, kubentak sampai menangis bergetar.
    "Sebaiknya kamu gambar!" kataku membanting buku gambar ke depan Meli. "Dan kita lihat apakah benar yang kamu sebut-sebut soal mimpi itu!"
    Meli menggambar tergesa-gesa; segaris demi segaris, lelaki berdasi itu mewujud. Meli memang berbakat. Ia akan selalu menjadi bintang di rumah kami, seperti Ibu dulu katakan, "Tidak ada anak secantik dan sepintar adikmu."
    Ibu begitu bangga, dan ia tidak sungkan memuji-muji Meli di depanku. Tetapi aku sendiri tidak pernah cemburu. Aku bangga memiliki adik sesempurna Meli.
    Hasil karya Meli setelah kubentak amat luar biasa. Aku dapat melihat bentuk wajah lelaki berdasi dengan apel di tangan kiri dan pisau di tangan lainnya. Lelaki asing itu menatapku dengan sorot mata yang tegas tapi misterius.
    Kusampaikan permintaan maafku pada Meli yang masih menangis setelah selesai membuat karya pertama semenjak Ibu pergi. Dia tidak menjawab ucapanku, melainkan menepisku dan pergi ke kamar. Aku tidak mengejarnya dan kembali mengamati gambar lelaki berdasi dengan apel di tangannya.
    Lelaki itu, jikapun ada di dunia nyata, tidak kukenal. Tetapi, aku tahu, jika memang ia ada di dunia nyata, setidaknya Meli tahu siapa orang ini. Ibu mungkin mengenal si lelaki, tetapi mungkin juga tidak. Aku tidak dapat mencari kemungkinan apa pun, tanpa tahu penjelasan lebih lengkap dari Meli tentang sosok tersebut. Aku justru lebih suka lelaki berdasi tersebut hanya kepingan bunga tidur, yang tidak nyata dan tidak mengenal siapa pun di antara kami.
    Mungkin gambar itu tidak akan berarti setelah bertahun-tahun lamanya, dan lantas terlupakan, kalau saja Meli tidak bangkit malam itu dan membawa pisau sambil mencari kunci rumah. Aku tidak tahu mau pergi ke mana dia? Memang selama ini kunci rumah kusembunyikan, karena sering kali dalam igauannya, Meli tidur sambil berjalan dan itu dapat membahayakan nyawanya.
    Tetapi malam ini kubiarkan adikku pergi. Kuberikan kunci tersebut begitu saja dan Meli menatapku lalu mengucap terima kasih. Ia bilang, kalau tidak ada yang memaksa seperti tadi, sampai kiamat tidak bakal ada gambar lelaki berdasi yang membawa Ibu pergi.
    "Sekarang aku benar-benar ingat wajah lelaki itu. Dia memang suka makan apel, dan Abang tidak akan tahu siapa yang kumaksud," jelasnya.
    "Aku memang tidak tahu siapa yang kamu maksud."
    Meli menarik tanganku dan kami pergi ke gang di samping rumah. Kuambil kunci motor dan kami pergi ke arah yang ditunjuk Meli, seakan-akan ia hafal tempat di mana Ibu mungkin menyembunyikan diri. Aku tidak tahu apakah dulu Ibu pamit kepada Meli atau bagaimana. Dan aku juga tidak tahu apakah Meli mengerti sebuah rahasia yang Ibu simpan dariku dan siapa pun di dunia ini? Aku bahkan merasa konyol atas semua ini; aku tidak tahu bagaimana secara tiba-tiba aku terpikir soal rahasia?
    Meli mengarahkanku melewati batas kota dan motor seakan-akan belum mendekat ke tujuan yang diharapkan. Ia tidak menyebut nama desa atau kecamatan atau bahkan nama kota yang jelas, dan hanya menunjuk arah mana yang berikutnya kuambil. Motor terus kupacu sampai kira-kira tiga jam lamanya.
    Akhirnya Meli memintaku berbelok ke sebuah pertigaan, dan di sana kami melihat bangunan tinggi besar, yang sudah lama tak terpakai. Dahulu, kukira, tempat ini adalah hotel. Meli menggumam sedih dan sekali lagi bercerita tentang lelaki berdasi yang suka makan apel.
    "Di situ," katanya, "di seberang tembok itu, tepat di bawah tanda dilarang parkir, orang yang kumaksud sedang mengupas apel. Dan dia benar-benar menatap mataku. Ibu ada di dekatnya."
    Meli menangis begitu saja usai mengucapkan itu. Aku tidak dapat penjelasan apa pun, tapi kurasa ia memang sedang menyimpan rahasia Ibu, dan seseorang yang datang ke mimpinya berulang-ulang, mungkin adalah seseorang yang dulu ditemuinya bersama Ibu, secara diam-diam, selama entah berapa kali.
    Aku berharap tidak ada kejadian ini. Dan kiranya Ayah beruntung, karena ia tidak pernah tahu apa-apa. []
   
Gempol, 4 Januari 2017

KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri