Skip to main content

Posts

[Cerpen]:"Maria Pergi ke Neraka" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Riau Pos, Minggu, 10 Januari 2016) Terpaksa, kali ini, sayalah yang harus geser tempat duduk. Saya sudah suruh Maria geser, tetapi dia tidak mau. Dia, masih dengan boneka babi di tangan kiri, terus menerus berbisik entah kepada siapa. Sementara antrean mengular, ia asyik berdialog tunggal. "Wahai setan, hidupkan... Hidupkan anjing-anjing yang dulu mau mengejarnya!" Saya, demi apa pun, tak merespon kegilaannya. Dari pertama kami bersama, saya tahu Maria sudah sinting dan suka berbisik sendiri; kadang kepada setan, kadang pula pada malaikat. Jika orang bertanya kenapa kamu tidak berbisik pada Tuhan, anak itu jawab: Tuhan tidak ada. Ibu berkali-kali bilang, "Jangan ganggu Maria! Bereskan dulu otaknya kalau kamu mau ajak main!"

[Cerpen]: "Sekolah Khusus Kaum Setan" karya Ken Hanggara

  (Dimuat di Harian Fajar Sumatra, Jumat, 8 Januari 2016) Ujian termudah bagi setan bisa ditemui di suatu tempat yang memajang ratusan wajah. Di sana setan-setan berkeliling sesuka hati dan memilih wajah sesuai harapan. Wajah-wajah itu hidup dan bicara. Punya mata, mulut, hidung, pipi, dan telinga. Namun sebagian wajah sulit diambil untuk jadikan topeng. "Hal termanis bagi setan adalah ketika dimanjakan dengan wajah pasrah sumarah. Di tempat itulah kau temukan wajah semacam ini. Kau bermain topeng sepuasnya dan membikin senang negeri kita. Kau naik pangkat dan kebanggaan buat mu sekalian," kata kakakku, senior di sekolah, yang kini sukses di kota peradaban tempat tinggal manusia. Ketika itu awan menggelap dan hujan turun begitu deras. Kami duduk berjejalan di bus terbang yang dikendali setan warna abu-abu. Pemberhentian pertama, katanya, agak mengagetkan .

Bahagia ala Mahmud dan Joni

Suatu ketika saya pernah menyewa rumah bersama beberapa kawan di kawasan Jaksel. Kami memberlakukan sistem patungan. Ketika itu kami pikir cara ini lebih hemat ketimbang per orang sewa kamar kost masing-masing. Di kawasan itu, rata-rata per kamar dibandrol 500 ribu per bulan (tahun 2010). Bagi kami yang hidup di tanah orang, jauh dari keluarga, jumlah itu lumayan besar. Maka ketimbang menyewa kamar, lebih baik sewa rumah sederhana saja, seharga 600 ribu per bulan, untuk berlima. Rumah itu cukup nyaman dan layak, meski dekat dengan kebun. Tentu saja, selain fasilitas air bersih dan listrik gratis, kami juga bebas memancing lele di depan. Di rumah inilah saya kenal seorang perantau asli Minang, sebut saja Mahmud (bukan nama sebenarnya). Dia tidak tinggal di rumah ini, tetapi sekali waktu mampir, sekadar membawakan nasi kotak dari lokasi shooting yang ia bawa untuk sahabatnya, yang tinggal serumah dengan saya. Tetapi kadang-kadang Mahmud juga kemari untuk ngobrol dengan saya.

[Cerpen]: "Biar Tidak Masuk Neraka" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: dedent2.rssing.com (Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 27 Desember 2015) Wajah itu tidak asing. Seperti terbenam di kepala saya, dulu, beberapa tahun silam. Hanya saja, saya tidak terlalu yakin. Maka saya duduk saja, sambil menyesap kopi, atau sesekali meladeni omongan Japri, teman saya—soal politik ibu kota tak berguna—serta tentu saja, mencuri pandang ke seberang. Pagi baru datang. Matahari menepis wajah itu. Beberapa mobil mulai melintas dan saya terlindung dari tingkah pola mengamati. Sebatang sigaret terselip di bibir. Sekejap terseret ke masa lalu, suatu masa ketika sering kali hati kembang kempis melihat tubuh seorang gadis. Dia, wajah itu, tak sadar sepasang mata saya meng- copy setiap detailnya ke dalam otak. Mencari pembeda dari masa lalu. "Korek?" Japri menyodorkan pemantik. "Hmm."

[Cerpen]: "Maria ke Pantai" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Analisa Medan, Minggu, 27 Desember 2015) 1/ Dari sini, kapal-kapal mengapung; mereka datang dan pergi begitu saja tanpa kata. Setiap hari, sepanjang tahun, sejak beribu-ribu tahun lalu. Seperti saya dulu yang tanpa kata. Saya pernah hidup di tubuh lelaki gagah. Itu dulu, memang. Kini, di tubuh baru, saya hanya bisa menunggu dalam bisu dan mati. Maria kekasih paling setia. Dia tidak pergi ke mana-mana, kecuali ke desa dekat pantai untuk melihat anak-anak kecil. Pagi hari ia duduk-duduk di teras sebuah sekolah dan tersenyum seorang diri, sementara anak-anak belajar dalam kelas dengan suara yang teramat nyaring: alphabet, berhitung, pelajaran moral, dan lain-lain. Maria hanya akan membayangkan anak-anak itu menjadi miliknya. Tentu saja, tanpa perlu membaur, atau sekadar jadi perhatian seisi sekolah, apalagi menculik mereka. Maria tidak sekejam itu.