Skip to main content

Posts

Bahagia ala Mahmud dan Joni

Suatu ketika saya pernah menyewa rumah bersama beberapa kawan di kawasan Jaksel. Kami memberlakukan sistem patungan. Ketika itu kami pikir cara ini lebih hemat ketimbang per orang sewa kamar kost masing-masing. Di kawasan itu, rata-rata per kamar dibandrol 500 ribu per bulan (tahun 2010). Bagi kami yang hidup di tanah orang, jauh dari keluarga, jumlah itu lumayan besar. Maka ketimbang menyewa kamar, lebih baik sewa rumah sederhana saja, seharga 600 ribu per bulan, untuk berlima. Rumah itu cukup nyaman dan layak, meski dekat dengan kebun. Tentu saja, selain fasilitas air bersih dan listrik gratis, kami juga bebas memancing lele di depan. Di rumah inilah saya kenal seorang perantau asli Minang, sebut saja Mahmud (bukan nama sebenarnya). Dia tidak tinggal di rumah ini, tetapi sekali waktu mampir, sekadar membawakan nasi kotak dari lokasi shooting yang ia bawa untuk sahabatnya, yang tinggal serumah dengan saya. Tetapi kadang-kadang Mahmud juga kemari untuk ngobrol dengan saya.

[Cerpen]: "Biar Tidak Masuk Neraka" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: dedent2.rssing.com (Dimuat di Radar Banyuwangi, Minggu, 27 Desember 2015) Wajah itu tidak asing. Seperti terbenam di kepala saya, dulu, beberapa tahun silam. Hanya saja, saya tidak terlalu yakin. Maka saya duduk saja, sambil menyesap kopi, atau sesekali meladeni omongan Japri, teman saya—soal politik ibu kota tak berguna—serta tentu saja, mencuri pandang ke seberang. Pagi baru datang. Matahari menepis wajah itu. Beberapa mobil mulai melintas dan saya terlindung dari tingkah pola mengamati. Sebatang sigaret terselip di bibir. Sekejap terseret ke masa lalu, suatu masa ketika sering kali hati kembang kempis melihat tubuh seorang gadis. Dia, wajah itu, tak sadar sepasang mata saya meng- copy setiap detailnya ke dalam otak. Mencari pembeda dari masa lalu. "Korek?" Japri menyodorkan pemantik. "Hmm."

[Cerpen]: "Maria ke Pantai" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Analisa Medan, Minggu, 27 Desember 2015) 1/ Dari sini, kapal-kapal mengapung; mereka datang dan pergi begitu saja tanpa kata. Setiap hari, sepanjang tahun, sejak beribu-ribu tahun lalu. Seperti saya dulu yang tanpa kata. Saya pernah hidup di tubuh lelaki gagah. Itu dulu, memang. Kini, di tubuh baru, saya hanya bisa menunggu dalam bisu dan mati. Maria kekasih paling setia. Dia tidak pergi ke mana-mana, kecuali ke desa dekat pantai untuk melihat anak-anak kecil. Pagi hari ia duduk-duduk di teras sebuah sekolah dan tersenyum seorang diri, sementara anak-anak belajar dalam kelas dengan suara yang teramat nyaring: alphabet, berhitung, pelajaran moral, dan lain-lain. Maria hanya akan membayangkan anak-anak itu menjadi miliknya. Tentu saja, tanpa perlu membaur, atau sekadar jadi perhatian seisi sekolah, apalagi menculik mereka. Maria tidak sekejam itu.

[Cerpen]: "Bukan Saidjah" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Harian Umum Koran Padang, Sabtu, 26 Desember 2015) Tersebutlah pemuda bernama Saidjah. Aku tahu, namaku tidak seburuk atau seaneh itu. Laki-laki bernama Saidjah? Apa yang kau pikirkan tentang laki-laki muda semacam itu? Dia sejak kecil sudah saling mencinta dengan Adinda. Kalau aku, baru mengenal cinta saat dewasa. Baik, baik ... aku tidak akan membandingkan Saidjah denganku. Mereka—Saidjah dan Adinda—sama-sama tinggal di desa pada zaman penjajahan. Saat itu pejabat Belanda dan bangsawan pribumi suka sewenang-wenang. Singkat cerita, kerbau milik Saidjah, harta paling berharga keluarganya, dirampas pejabat culas. Lalu bapaknya sakit jiwa dan meninggal. Ibunya juga meninggal karena sedih.

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Hutan" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara NTB, Sabtu, 26 Desember 2015) Maria lama-lama bosan mengerjakan tugasnya: mendorong saya di ayunan. Saya bilang, "Dasar gendut pemalas. Mendorong begitu apa susahnya?" Dia marah dan janji tidak mau ketemu saya lagi. Setelah membanting piring, dia benar-benar pergi. Saya tidak yakin Maria pergi lebih dari tiga jam. Biasanya, kalau dia marah, paling sembunyi ke hutan di belakang rumah. Kalau hari sudah tenggelam, dia pasti balik dan menangis dan minta maaf tidak akan menentang lagi. Pada saat itu, penampilan Maria sangat compang-camping.