Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Para Perasuk" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka, Minggu, 13 Desember 2015) Mohon maaf, cerpen ini sengaja dihapus karena dimasukkan ke dalam buku terbaru saya yang berjudul Museum Anomali . Buku tersebut berupa kumpulan cerpen bertema horror kontemporer. Jika ingin membaca cerpen ini, yang juga akan dihimpun bersama cerpen-cerpen lainnya (baik yang sudah terbit atau belum dipublikasikan sama sekali), se gera pesan buku tersebut. Harga 49 ribu belum termasuk ongkos kirim Terima kasih. :)  Untuk pemesanan Museum Anomali, bi sa klik Tentang Penulis

[Cerpen]: "Terlarang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Banjarmasin Post, Minggu, 13 Desember 2015) "Apa yang kamu katakan, seandainya saya pergi malam ini?" Pertanyaan itu tiba-tiba terucap begitu saja dari bibirnya. Angin berembus tenang. Tidak serupa diriku, yang gugup dan mencoba lari dari kenyataan. Dari sini, kerlip belasan lampu di kejauhan tampak seperti tak acuh, namun mengintip. Suatu sikap khas penggunjing. Seolah-olah titik-titik putih itu adalah berpasang mata yang siap merekam apa yang kami bicarakan, untuk kemudian disebar menganut arah semilir di pantai tempat kami bertemu. Andai aku berubah, misalnya, bukan lagi sebagai diriku yang sekarang. Bukankah waktu bisa mengubah segalanya? Tanpa menagih jawab, ia raih korek dari saku jaketnya. Sepintas melirik, kendati tanpa penerangan cukup, karena kami memilih tempat remang, aku tahu jaket itu masih berarti. "Masih kamu pakai?" Cuma itu yang kuucap.

[Cerpen]: "Mugeni Ingin Menjadi Malaikat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 13 Desember 2015)   1/ Mugeni, dengan wajah merah membara, berlari-lari dan satu tangannya menunjuk langit. Ia sebenarnya sangat lelah. Kelopak matanya pun berair. Tapi, demi cintanya, apa pun dilakukan. Pertama, ia menjadi malaikat. Kedua, di sisi lain ia juga setan. Ketiga, ia tidak percaya Tuhan melihat kehadirannya. "Dasar sinting!" cibir orang-orang di depan warung, di sepanjang jalan tempat Mugeni berlarian. Dapat saya dengar itu dari sini. Saya melaporkan tidak jauh dari TKP (Tempat Kejadian Perkara), bahwa Mugeni, lelaki bujang lapuk, usia empat puluh sembilan, tidak punya rumah, nekat mengajukan lamaran pada seorang kembang desa, tetapi ditolak dan harus melakukan suatu syarat. Sarmila gadis itu, baru sembilan belas tahun. Masih segar dan wangi. Menurut informasi yang saya dapat dari penjual jambu kluthuk , Sarmila ini cantik persis bintang iklan sabun mandi. Atau, malah lebih dari itu. "Lho, Mas, kalau belum perna

[Cerpen]: "Romansa Mugeni" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 13 Desember 2015) Tidak ada yang lebih tragis ketimbang kisah cinta Mugeni. Bertahun-tahun ia coba merayu pujaan hatinya, tetapi bukan cinta yang didapat, melainkan diam. Adakah yang lebih tragis ketimbang sikap diam, bahkan sekalipun Anda ditolak perempuan berkulit buaya? Mugeni memang keras kepala, tetapi kebanyakan menyebutnya gila, kecuali saya. Saya sebut Mugeni setia, sehingga saya juga dianggap gila. "Orang gila kok Anda bela," kata warga. Tapi di sini kita tidak bicara soal saya, melainkan Mugeni. Jadi, biarpun saya dianggap gila oleh mereka, silakan saja. Toh segala bentuk peristiwa, bahkan yang paling celaka di desa itu, tidak mengubah apa yang sudah Mugeni janjikan.

[Cerpen]: "Bidadari Tersesat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, Minggu, 6 Desember 2015)     Rambut gadis itu panjang, lebat, dan hitam. Jatuh menjuntai, menutup punggung yang ramping. Sesekali berkibar ke kiri kanan, namun tak liar, sekadar bergoyang pelan seakan mengundangku melihat lebih lama. Pada saat itu, seandainya kau berada di sini, duduk bersisian denganku, kau akan menghirup aroma kesturi yang magis dan ganjil, seakan datang dari surga, membelai wajahmu manja dan membuaimu sampai tak sadar gelap merayap di sekitar mejamu. Dan, tentu saja, kau bangun saat malam menempel bulan di langit. Alangkah dingin saat itu, tapi tak seorang pun membangunkanmu!     Soal penilaian itu—maksudku, punggung yang ramping itu—terbit dari pandangan kira-kira satu menit yang lalu, sebelum ia di bawah pohon kelapa berdiri kaku menatap barat. Ia memang sempat menoleh utara, seolah mencari kawan; barangkali ia membikin janji, entahlah. Tetapi, karena kawan yang dinanti tak jua tiba (mungkin saja, 'kan?), ia putus asa dan memutuskan

[Cerpen]: "Neraka di Kota Kami" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Lombok Post, Minggu, 29 November 2015) Setan-setan bermain balon di dasar neraka. Suatu kali, bila kau ke kota kami dan tersesat—atau katakan saja: terperosok —ke bawah sebuah jembatan, maka pada saat itu kau tiba di neraka yang dimaksud. Setan-setan itu berbagai rupa. Seandainya saja kau percaya, bila kau manusia suci dan tak mungkin Tuhan membiarkanmu jatuh ke situ, ketahuilah bahwa setan ada dua macam: setan rupawan dan buruk rupa. Di dasar neraka, setan-setan segala rupa berkumpul di suatu ruang. Tak ada tembok, kecuali sekat-sekat yang dibuat dari potongan benda tipis serupa tripleks, serta ada yang sekadar kain lusuh disampir ke batang-batang pepohonan yang terbakar, lantas menjadi serupa arang. Semua sekat membentuk bilik-bilik.

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc