Skip to main content

Posts

Sehari Iseng Jadi Penonton Bayaran

Ini kejadian tahun 2010. Suatu pagi saya iseng mengikuti seorang teman, tetangga kost saya di Jakarta, untuk pergi ke Bekasi demi sebuah pekerjaan harian yang seru. Apa itu? "Penonton bayaran," jawabnya tanpa basa-basi. Ketika itu, jujur saja, saya baru tahu bahwa acara talkshow di TV kebanyakan--menurut teman saya--disetting sedemikian rupa dengan banyak penonton yang ternyata dibayar. Uniknya, teman saya ini seperti sudah menjadikannya pekerjaan sampingan. "Yang penting halal," bisiknya malu-malu, setelah saya tatap beberapa detik dengan ekspresi senyum campur heran. Dia menyuruh saya memakai pakaian kantor karena talkshow "langganan"-nya ini adalah acara serius yang membahas masalah sosial dan kemanusiaan, di salah satu televisi lokal. Saya iyakan saja. Kebetulan sedang tidak ada acara di kostan dan itu hari libur. Baiklah, saya ikut. Kami naik taksi dari Cilandak. Saya tidak terlalu memperhatikan jalan, karena

Bang Jo dan Ponsel Berisi Puisi-puisi Pertama

Ini cerita saat kehilangan puisi-puisi awal saya, yang disimpan di ponsel karena saat itu belum punya laptop. Ketika itu bisa dibilang saya 'nomaden' di Jakarta. Suatu kali saya merasa betah di satu tempat dan memutuskan tinggal di sana lebih lama. Di tempat baru ini saya kenal seorang lelaki. Usianya kira-kira sepuluh tahun lebih tua dari saya, tapi gayanya menyamai saya yang waktu itu belum 19 tahun. Di kompleks kostan ini rata-rata penghuninya seumuran saya dan semua pekerja keras. Tak jauh dari tempat kost ada studio besar tempat produksi sinetron dan FTV, dan sesekali layar lebar. Dia--sebut saja Bang Jo (bukan nama sebenarnya)--sudah malang melintang di dunia hiburan sejak 1998, begitulah ia mengaku. Saya percaya saja karena dia terlihat jujur dan sangat terbuka, serta tentu saja teman ngobrol yang asyik. Namun ketika itu Bang Jo sedang terpuruk. Ia sepi job dan terlunta-lunta berkat suatu masalah dengan keluarga yang tidak bisa ia ungkapkan, juga masala

Teman Baik Tak Harus Selalu Sering Bertatap Muka

Dengar salah satu lagunya Ari Lasso di ponsel, tiba-tiba ingat seorang teman lama. File lagu ini dulu saya minta darinya di teras sebuah kamar kost di Cibubur. Kalau dihitung, seumur hidup kami hanya bertemu langsung--bertatap muka maksudnya--tak lebih dari sepuluh kali. Hidup di perantauan, mengejar mimpi, jauh dari keluarga, membuat kami cepat dekat, meski usia terpaut jauh. Pergi ke tempat casting sama-sama, berbagi makanan di tempat shooting, bahkan melawan tindakan jahat seseorang kami juga pernah. Jumlah pertemuan yang terbilang singkat untuk berbagai hal luar biasa, ya? Beberapa bulan berikutnya kami tak lagi bertemu. Saya dengar ia repot mengurus usaha bandengnya di Blitar. Saya tidak lagi mendengar kabarnya sampai waktu mengantar saya ke tempat baru dengan cerita-cerita baru yang tak kalah mengesankan.

[Cerpen]: "Tentang Janji dan Kado Salah Alamat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Metro Riau, Minggu, 11 Oktober 2015) Janji itu merupa kado kecil. Kau membungkusnya dengan rapi, diberi kertas motif beruang Teddy berbagai kostum, warna dasar pink, dibaluti pita biru tua, dan terakhir, di satu sudut kubus, sebuah kertas karton wangi ukuran 5 x 10 cm digantung, bertuliskan: Buat yang terkasih, Asmara. Kadang-kadang kau berpikir dirimu adalah Teddy, beruang lucu yang amat kusukai. Kau selancar ke suatu pantai dengan tanpa kaus. Kau daki gunung dengan sarung tangan dan ransel. Kau pelesir ke luar negeri dan menatap tempat-tempat baru seperti menatap kekasih. Kau memesona dan mobilitasmu tak diragukan. Itu terjadi andai kau benar Teddy-ku.

[Cerpen]: "Doa si Gila" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo, Minggu, 11 Oktober 2015) Aroma ketiak ibu-ibu sampai ke hidungku. Kukira aku harus bilang, "Anda butuh sabun mandi!" Aku sudah akan menyerbunya, usai balik badan, sebelum kusadari ada yang salah. Ibu-ibu itu, yang sedari mula aku memilih baju bekas di trotoar sudah mengoceh sana-sini soal suami yang tak pulang, juga anak-anak yang tak tahu diuntung, ternyata tidak sewaras yang kupikir. Mundur selangkah, dua langkah, tiga langkah... Haruskah kuhitung? Aku mundur hingga jarak kami aman buatku tidak menghirup aroma memuakkan itu. Bau badan ibu-ibu yang tidak bisa dikenali sebagai bau manusia waras. Pantaslah ocehannya tanpa batas. Tak terbayang betapa orang menganggapku super sinting andai keburu melabraknya tanpa melihat penampilan itu lebih dulu. Amit-amit jabang bayi!