(Dimuat di Kompas, Minggu, 4 September 2016) "Dulu, di depan kita ada sungai," kataku. "Sungai besar dan nyata." Telunjukku menuding ke timur, titik matahari berangkat, lalu jariku melayang dan mendekat pada kami, hingga melampaui wajah Milana dan bersambung ke arah benamnya hari. Milana menoleh sejenak. Ia tutup mulut dengan dua tangan. "Sungguh," kataku lagi. Ia menggeleng-geleng dan tersenyum. "Bukan. Bukan itu." Milana berdiri dan menarikku dari bangku taman. Kami menyisir garis panjang di depan bangku, terus ke barat hingga beberapa puluh meter. Garis itu—aku menyebutnya batas sungai purba yang hilang—memang ada dari dulu dan gadis ini tahu legendanya. Mestinya aku tak menjelaskan, karena toh telah tercatat dalam buku-buku dongeng di kota kami.
Menghibur dengan Sepenuh Hati