Ilustrasi cerpen "Ditolak Bumi" oleh Ken Hanggara "Ditolak Bumi" ( Dimuat di Minggu Pagi (KR Grup), Jumat, 21 Agustus 2015) Malam itu kampung dilanda hujan lebat. Laut seolah tumpah dari langit. Lentera menggantung layu, berkali-kali padam oleh angin. Hanya dengan bantuan senter—atau sesekali cahaya petir—seseorang bisa melihat dengan jelas. Semua itu tak menghalangi kedatangan pelayat ke rumah Sukarman. "Tapi hujan terlalu deras. Apa tidak bisa kita tunggu satu-dua jam dulu?" Mursid si penggali liang lahat mengajukan usul. Sebagian setuju. Tak mungkin mereka menerabas hujan disertai angin kencang, apalagi dengan membawa keranda mayat. "Kita tidak bisa nunggu. Jenazah ini harus dimakamkan malam ini!" tukas Samijan, ketua RT.
Menghibur dengan Sepenuh Hati