Skip to main content

Posts

Mati Meninggalkan Tulisan, Mati Menjadi Sejarah

Perjalanan menulis paling awal saya, kalau boleh jujur, disebabkan oleh kekonyolan masa remaja. Waktu itu saya jatuh cinta lalu membuat puisi. Klise sekali, ya? Tapi seiring waktu berjalan, setelah sekian puluh puisi saya hasilkan, saya menyadari bahwa saya terlalu egois dan bodoh. Betapa tidak? Menulis puisi hanya untuk cinta memang manis kedengarannya. Tapi mungkin juga tidak banyak yang tahu, betapa hal itu sulit membuat kita bangkit. Sah-sah saja menulis puisi, tapi setidaknya harus memberi manfaat, baik untuk si penulis maupun si pembaca (pembacanya tak harus selalu orang yang dicinta tadi). Sementara, puisi-puisi yang saya tulis, tidak memberi manfaat apa-apa selain menambah lembar kekaguman saya yang berlebihan kepada seseorang.

Belajar "Melihat" untuk Hidup yang Lebih Baik

Musuh terbesar adalah diri sendiri. Kalimat itu sering kita dengar. Tapi, sudahkah kita mengalaminya? Ketika jalan menuju mimpi menyempit — sebab ada jalan lain yang tiba-tiba hadir bak cabang di tengah perjalanan — maka saat itu keputusan adalah kartu terakhir yang kita punya. Ibarat kata dalam sepak bola, kita bermain dalam pertandingan hidup dan mati. Apa kita berpikir bahwa dengan memilih jalan yang kita suka, maka kita akan menang? Atau begini: dengan menghindari jalan yang kita benci, kita akan jauh dari kesialan. Tentu saja itu bukan wilayah kita. Itu wilayah Tuhan, karena makhlukNya tidak dibekali kemampuan membaca masa depan.

Gang Hantu di Sudut Kota

Apa yang kalian pikirkan saat mendengar cerita rumah berhantu? Aku punya cerita tentang gang berhantu. Kebayang gak ? Satu rumah berhantu saja serem , apalagi gang! Wuiih ! Mau dengar? Begini, di sudut kota Surabaya (tak kusebut nama daerahnya) terdapat sebuah gang yang konon dihuni oleh berbagai jenis hantu. Ini kisah nyata, bukan rekayasa. Dulu kakek nenekku punya dua rumah. Salah satu yang mereka punya—dan yang terbesar di wilayah itu—adalah rumah yang bakal kusinggung di sini, yang berdiri bersama barisan rumah lain di sepanjang gang hantu. Gang ini pada saat itu memang sudah terkenal angker. Banyak saksi yang melihat penampakan, dari mulai yang bentuknya paling lucu sampai seramnya minta ampun. Kalian pernah melihat hantu? Atau setidaknya pernah diganggu oleh mereka dengan suara-suara? Kalau pernah, mungkin belum seberapa dengan para penduduk di gang hantu ini. Tahu, gak , berurusan dengan hantu sudah jadi makanan mereka sehari-hari!

[Cerpen]: "Mata yang Merah Menyala-Nyala" karya Ken Hanggara

Sejak minggu lalu Norman tak bisa tidur dengan nyenyak. Penyebabnya adalah mimpi-mimpi aneh yang belakangan sering menyerangnya. Dilihatnya seorang pria berjubah hitam tengah berdiri di tengah ladang warisan bapaknya. Matanya bersinar, menyala-nyala, tajam menatapnya seolah-olah ingin menagih sesuatu. Maka, dikonsultasikanlah hal ini pada seorang paranormal tersohor di kampungnya. Norman mendengar nasihat-nasihat dari beliau bahwa mungkin dulu di masa lalu dia pernah punya tanggungan utang pada seseorang entah siapa. "Memang dulu pernah utang, tapi sudah saya lunasi, Mbah." "Kalau begitu, cobalah kamu ingat-ingat lagi. Barangkali ada yang terlupa."

Kisah yang Boleh Kau Sebut Nyata, Juga Boleh Kau Sebut Fiktif

  (Part 1) Aku mencermati waktu yang paling tepat, ketika gadis itu mulai keluar dari rumah dan melakukan rutinitas paginya: menyapu. Sudah seminggu lebih kuperkirakan itu. Dulu pertama aku melihatnya langsung terkesima, bagaimana mungkin perempuan secantik itu ada di tempat ini? Dan, di kali kedua, kira-kira seminggu yang lalu itu, pertanyaan ku tak perlu jawaban. Aku tak sengaja melihatnya lagi dan seolah dunia adalah mimpi. "Kau tahu, mimpi indah itu kadang tak perlu dicari, tapi ia akan dengan sendirinya menyambangimu?"