Skip to main content

[Cerpen]: "Mata yang Merah Menyala-Nyala" karya Ken Hanggara



Sejak minggu lalu Norman tak bisa tidur dengan nyenyak. Penyebabnya adalah mimpi-mimpi aneh yang belakangan sering menyerangnya. Dilihatnya seorang pria berjubah hitam tengah berdiri di tengah ladang warisan bapaknya. Matanya bersinar, menyala-nyala, tajam menatapnya seolah-olah ingin menagih sesuatu.
Maka, dikonsultasikanlah hal ini pada seorang paranormal tersohor di kampungnya. Norman mendengar nasihat-nasihat dari beliau bahwa mungkin dulu di masa lalu dia pernah punya tanggungan utang pada seseorang entah siapa.
"Memang dulu pernah utang, tapi sudah saya lunasi, Mbah."
"Kalau begitu, cobalah kamu ingat-ingat lagi. Barangkali ada yang terlupa."

Norman lalu pulang dengan kepala penuh tanya. Ia sudah yakin kalau selama ini ia tidak punya utang ke siapa pun. Kalaupun ada, semua telah dilunasi. Pertemuan dengan paranormal itu tidak bisa membantu. Ia justru dirundung gelisah. Malam-malamnya kini lebih terasa mencekam. Jika sebelumnya mimpi-mimpi itu hanya sebatas penampakan sosok misterius di ladang, maka kini ditambah lagi dengan suara-suara rintihan orang kesakitan.
Merasa tidak ada solusi untuk masalah ini, Norman memutuskan untuk mengungsi sementara ke rumah salah seorang saudara di kampung sebelah. Selama ini, ia memang tinggal sendirian di rumahnya semenjak kedua orangtuanya tiada. Mimpi-mimpi itu membuat jiwanya merasa terancam. Beberapa teman yang mendengar keluh kesahnya menganggapnya terlalu berlebihan. Karena apa gunanya mencemaskan bunga tidur?
"Kalau aku terus-terusan seperti ini, bisa gila nanti," pikirnya pada suatu malam. Ia melompat dari tempat tidurnya setelah sosok berjubah hitam itu kembali menyatroninya di mimpi. Kali ini seperti hendak menerkamnya. Jaraknya hanya beberapa jengkal dari wajah Norman.
Lama-lama Norman kesal juga. Sebab-sebab yang masih gelap terus bermunculan di kepala. Tak dapat ia temukan jawaban yang pasti mengenai si jubah hitam. Memang, mimpi yang aneh akan sangat wajar bagi siapa pun. Tapi baginya mimpi semacam ini bukanlah mimpi sembarangan, karena tak hanya satu dua kali saja sosok itu muncul. Selama delapan malam berturut-turut, sosok itu ada dalam mimpi dan selalu ladang warisan bapaknya yang menjadi tempat pertemuan mereka.
Dikemasilah segala pakaian dan keperluan-keperluan yang lain. Norman yakin, setelah dia mengungsi nanti, gangguan dalam mimpi itu mungkin akan hilang.
"Bagaimana kau yakin kalau mimpi itu tidak akan mendatangimu lagi?" tanya Galuh, temannya. Galuh adalah teman yang menurut Norman bisa dipercaya. Kepada Galuhlah, ia menitipkan kunci rumahnya.
"Ladang itu ada di belakang rumah. Mungkin kalau aku tidur di tempat saudaraku sana, orang berjubah hitam tidak lagi mendatangi mimpiku."
Namun sayang, semua dugaan mentah oleh malam pertama ketika Norman menginap di rumah saudaranya. Kali ini ia mendapati dirinya jatuh dalam mimpi yang lebih ganjil. Jika delapan malam sebelumnya ia berjalan di tepi ladang warisan bapaknya, maka kini, di malam kesembilan, dia berada di tengah sebuah lapangan sepak bola. Sempat Norman mengira mimpi ini pertanda berakhirnya mimpi aneh yang belakangan menyerangnya. Tapi tiba-tiba sosok itu muncul kembali, berdiri di tepi lapangan, menatapnya tajam dengan mata yang menyala-nyala.
"Seandainya memang penyebabnya adalah utang-utangmu, mungkin ia tak pernah ada karena katamu kau sudah tidak punya utang," ucap saudaranya keesokan hari. Ada benarnya kalimat itu. Jika memang penyebabnya utang, mengapa sosok itu selalu ada?
Pertanyaan ini membuat Norman berpikir sepanjang hari berikutnya. Pekerjaannya sebagai pengacara menjadi sangat terganggu. Norman terlalu lelah karena kurang tidur. Dan itu membuat kliennya marah, karena Norman lebih banyak menghabiskan waktu untuk melamun ketimbang mencarikan solusi untuk perkara hukumnya.
Malam itu, kembali Norman dirundung gelisah. Ia menduga bahwa sebentar lagi sosok itu pasti akan kembali mengganggu tidurnya. Maka ia memutuskan menunda tidurnya untuk beberapa waktu. Ia terus memikirkan segala sesuatu yang menjadi sebab datangnya lelaki berjubah hitam itu. Bentuknya begitu nyata, seperti bukan sesuatu yang berasal dari dunia mimpi. Jubahnya panjang menutup leher, tubuh, hingga mata kaki, hitam berkibar-kibar bak bendera tertempa angin. Rambutnya nampak kusut. Namun pada bagian wajah tidak begitu jelas, karena selama ini sosok itu hanya muncul di bagian yang setengah gelap setengah terang. Yang paling mencolok adalah matanya. Sorotnya tajam, mengiris nyali dengan nyala merah membara.
Saudaranya yang prihatin duduk di sampingnya, bermaksud menemani Norman jika memang ia ingin begadang. Namun Norman tak enak hati dan segera menyuruhnya tidur. Norman kembali dalam lamunan ketika malam merangkak jauh. Dilihatnya jam dinding di ujung ruangan. Sudah jam satu petang. Apakah ia akan terus begini? Apakah lagi-lagi sosok itu datang dalam tidurnya?
Malam kesepuluh ini tidak ingin dilaluinya dengan kejadian serupa. Hawa dingin yang merayap pelan di daun pintu dan jendela rumah, perlahan menerobos masuk lewat celah-celah kecil hingga menyentuh kulit pemuda ini. Embusan angin malam bak bisikan makhluk halus, membuat bulu kuduk Norman berdiri. Ia memutuskan tidak tidur dan akan tidur kembali malam berikutnya. Ketidakhadirannya di alam mimpi bisa membuat sosok berjubah hitam berhenti mengganggunya semalam ini. Dan mungkin saja, setelah itu, sosok misterius itu benar-benar berhenti mengusiknya.
Semua itu memang sebatas dugaan. Dan semua dugaan mengandung banyak kemungkinan. Norman tidak ingin hidupnya terus-terusan dihantui oleh sesuatu yang tidak ia pahami. Norman ingin hidupnya normal seperti dulu. Dibuangnya rasa takut itu bersama dengan langkahnya yang pasti menuju dapur. Ia ingin merebus air. Secangkir kopi mungkin membantunya melewati semua ini.
Dapur milik saudaranya itu khas dapur pedesaan. Jika malam hari penglihatan seseorang sedikit kabur, karena lampunya hanya benda menggantung di dinding dengan sumber cahaya berupa api kecil. Oleh karena tidak bertegel, musim hujan membuat sebagian lantai tanah itu becek. Norman melangkah hati-hati meraih meja di sudut dapur. Pemuda itu hampir terjungkal kalau tidak segera berpegang pada bibir meja. Ia tak sadar sesuatu di atas tanah tergeletak hingga membuatnya tersandung.
Dan, betapa terperanjatnya dia ketika tangannya meraba-raba di balik lantai dapur yang gelap gulita, mencari-cari sesuatu yang menghalanginya. Norman menemukan sebongkah batu besar seukuran dua kepalan tangan manusia dewasa. Batu itu seperti tampak istimewa karena kulit luarnya sangat halus dan berwarna hitam sempurna.
"Batu siapa ini?" tanyanya dalam hati. Norman tahu saudaranya itu seorang yang tidak percaya dengan hal-hal berbau mistik. Maka tak mungkin jika batu itu sengaja disimpan di sana sebagai syarat ilmu-ilmu tertentu.
Tak tahu apa yang dilakukannya terhadap batu itu, Norman mengembalikannya ke tempat semula. Mungkin ini batu biasa, yang tak sengaja ditemukan saudaraku lalu menyimpannya untuk kemudian dijual, pikirnya, mencoba menenangkan diri sendiri.
"Apa kaubilang? Itu bukan batu sembarangan!" sebuah suara tiba-tiba terdengar di telinga Norman, suara yang belum pernah ia kenal; berat dan berkarisma.
"Siapa kamu? Maling, ya?!" Norman spontan berteriak.
Tak ada balasan. Norman menajamkan pendengaran karena matanya tak mampu menembus kegelapan ruangan. Hanya suara gerimis turun, menyentak halus genteng rumah. Angin di luar bertiup lebih kencang.
Detik berikutnya membuat Norman nyaris semaput[1]. Kakinya mendadak lumpuh. Keringat dingin membalur sekujur tubuh. Kepalanya berat hingga lupa kini tengah berada di mana. Sosok berjubah hitam itu muncul dari balik tumpukan kayu bakar. Tubuhnya melayang ringan di udara. Kaki telanjang yang biasa dilihat Norman dalam mimpi, kini nampak sebagai asap putih yang mengepul-ngepul.
"Batu itu milikku. Kamu telah mencurinya!" suara itu muncul dari balik jubah yang berkibar-kibar. Sorot matanya menatap tajam ke arah Norman, merah menyala-nyala. Pemuda itu bergetar hebat. Ingin lari tapi tak bisa. Bagaimana ia bisa lari, sedang ia sendiri lumpuh?
"Aku tidak tahu apa-apa soal batu ini! Aku juga tidak tahu siapa kamu! Apa aku sekarang sedang bermimpi?"
"Tak perlu kautanyakan apakah ini mimpi atau bukan."
Norman berusaha memastikan kalau ini cuma mimpi, seperti yang sudah-sudah. Ia bahkan mulai berharap untuk bangun jika memang ini benar mimpi. Ah, tapi jikalau ini memang mimpi, Norman mengira ada baiknya juga. Bukankah dengan ketidaknyataan mimpi, ia akan terbangun dengan tidak menjumpai pria berjubah hitam?
Namun kali ini Norman melihat dirinya masih berada di dalam dapur. Mungkinkah seseorang bermimpi di tempat yang sama seperti tempat di mana ia tertidur? Jawaban itu lalu tertolak oleh kenyataan bunyi gerimis yang berubah menjadi hujan. Tetes air yang menembus atap dapur yang keropos, membuat mata Norman berkedip berkali-kali, menandakan bahwa ia sedang tidak dalam keadaan tertidur. Lalu, dari mana datangnya sosok berjubah hitam ini?
"Aku bisa membaca pikiranmu," suara itu kembali mengurung Norman tak berdaya. Ia masih tak percaya ini bukan mimpi. Sungguh sebuah kenyataan yang ganjil. Sosok yang selama sembilan malam menyerangnya di dalam tidur, kini benar-benar hadir di depannya.
"Aku bisa membaca pikiranmu. Aku tahu siapa bapakmu, ibumu, dirimu. Aku tahu semua tentangmu. Berbohonglah jika memang itu membuatmu tenang. Tapi aku tak 'kan bisa kau dustai! Hahaha!"
Suara tawa lelaki misterius membahana, menggetarkan bumi yang kini menjadi tempat sandaran Norman. Atap dapur dapat sewaktu-waktu roboh akibat getaran yang terlalu dahsyat ini. Tapi itu tidak menjadi ketakutan Norman. Ia merasa pria berjubah hitam membawa ancaman lebih besar ketimbang apa pun. Sayang, tak ada yang bisa ia lakukan selain menyeret tubuhnya ke belakang, menjauh dari sosok seram itu. Matanya yang merah menyala-nyala membuat Norman mengira makhluk itu jelmaan iblis.
"Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan?"
"Aku cuma ingin batu itu kau kembalikan."
"Ambillah ... Ambillah kalau kau mau! Tapi jangan ganggu aku lagi!" Norman melemparkan batu hitam yang tadi sempat membuatnya terheran-heran.
Anehnya, batu yang terlempar ke arah tubuh pria berjubah itu kemudian lenyap secara tiba-tiba, hilang ditelan jubahnya. Norman yang masih tak berdaya kini tak lagi dapat menyembunyikan ketakutannya. Dirasakannya celana yang ia kenakan basah. Ia terkencing-kencing ketika sosok itu semakin dekat dan menguncinya dengan tatapan mengerikan.
"Jangan kau kira aku akan berhenti, meski batu itu kini sudah kembali padaku. Aku tak 'kan berhenti. Sesuatu yang besar telah mengutusku untukmu. Masihkah kau ingat kejadian saat umurmu sebelas tahun dulu?"
Mendengar pertanyaan itu, Norman menjernihkan pikirannya, mengingat-ingat kembali tentang bapaknya yang punya rencana membelikannya sepatu baru. Kala itu Norman menginginkan memiliki sepatu seperti teman-temannya, sepasang sepatu yang bagus, yang bisa membuatnya tampil lebih gaya.
"Ini Bapak belikan buatmu. Jaga baik-baik dan jangan sampai rusak," begitu kalimat yang kini terngiang kembali di benak Norman. Bapaknya kala itu berpesan agar ia dapat merawat benda tersebut karena perjuangan membeli sepatu tidaklah mudah. Bapaknya hanya kuli serabutan dengan upah kecil.
"Apa urusanmu dengan bapakku? Apa maumu?" Norman memberanikan diri menatap balik mata pria berjubah. Ia tak menyangka betapa tamu misterius yang sudah mengganggu mimpi dan nyatanya itu, justru menatapnya lebih tajam ketimbang yang sudah-sudah.
"Kamu bagian dari tugasku. Aku tak bisa mengabaikanmu, Norman. Hahaha. Apa kau ingat kejadian saat kau berumur sebelas tahun?" tanyanya kembali.
Norman tentu tak 'kan lupa ketika seseorang berteriak memanggil-manggil nama bapaknya dan ia sedang sibuk dengan segelas es sirup. Seiring dengan mengalirnya minuman itu ke kerongkongannya, sesuatu yang besar siap menjemput bapaknya. Sesuatu yang besar itu ada di atas dua pasang roda berputar yang melaju sangat kencang dari arah tak terduga. Norman menjatuhkan gelasnya tanpa sadar ketika melihat tubuh lelaki yang baru saja menunaikan janji membelikan sepatu itu, melayang-layang di bawah awan, untuk kemudian jatuh terhempas ke atas jalanan. Norman tak pernah melupakan saat di mana bapaknya meninggal secara tidak wajar.
Kenangan itu memang tak mungkin terhapus dari benaknya selama ia masih waras. Tapi bagaimana mungkin pria berjubah itu tahu tentang masa lalunya? Norman semakin tersudut ketika sosok itu mulai mengungkit-ungkit soal ibunya. Dikatakan olehnya bahwa ibu Norman adalah sesuatu yang memalukan bagi keluarga mereka, sebuah aib. Tapi itu dulu, ketika Norman belum menjadi manusia yang mampu mencerna sesuatu dengan baik.
"Apa buktinya? Ibuku tak seburuk yang kau bilang!"
"Batu hitam itu buktinya. Hahaha. Apa yang kau pikirkan tak selalu benar, Norman! Semua yang manusia pikirkan itu hanyalah harapan-harapan yang mereka ciptakan sendiri!"
Suara itu kembali nyaris merobohkan atap dapur. Hujan menderas, angin bertiup semakin kencang, petir sambar menyambar.
"Kau serupa dengan ibumu, Norman. Hahaha!"
"Apa yang kau mau?"
Norman kini mulai tak dapat mengontrol diri. Pertemuan dengan sosok berjubah hitam yang berlangsung selama beberapa menit, membuatnya mulai terbiasa, meski tak dapat membuang ketakutan. Kaki yang lumpuh kini mulai bisa digerakkan. Ia berdiri dan dengan kalap meraih benda-benda yang ada di sekitarnya, melemparnya ke arah pria berjubah. Usahanya sia-sia karena jubah hitam itu melenyapkan sesuatu yang ada di depan. Seolah semua benda yang menyentuhnya akan hilang tertelan kain hitam itu.
Pemuda itu mulai terdesak. Sosok berjubah hitam yang selama sembilan malam ada dalam tidurnyadan kini muncul di kehidupan nyatadapat menebak segala yang terjadi padanya dan keluarga. Ia sendiri mulai ragu tentang keberadaan ibu kandungnya. Bahkan Norman pun tak benar-benar tahu bagaimana ia lahir dan hidup di dunia untuk pertama kalinya.
Suatu waktu, bapaknya pernah berkata bahwa tidak ada hal yang lebih berarti ketimbang Norman, meski sebenarnya lelaki itu berhak untuk tidak menaruh perhatian padanya. Norman tak memahami makna kalimat bapaknya. Sampai sekarang ia tak paham. Hidup dalam keadaan bebas dijalaninya bertahun-tahun, hingga sosok berjubah hitam datang mengganggu mimpi. Tatapan mata tajam sarat kebencian itujuga yang seolah hendak menagih utang padanyasatu per satu mulai terang di mata Norman.
"Tidak ada waktu mengubah semuanya, Norman. Tidak ada! Waktumu habis. Hahaha!"
Dalam kebutaan hati, Norman mendobrak pintu belakang. Ia lari. Ditembusnya bayang pepohonan rimbun di sepanjang persil milik saudaranya. Tak peduli meski hujan lebat membuatnya basah kuyup dan hampir jatuh lantaran angin kencang. Norman tak tahu akan dibawa ke mana lajunya. Bahkan ia tak mengerti mengapa ia malah lari menuju kampungnya?
Sesekali suara-suara pria berjubah hitam mengusiknya di beberapa kegelapan. Siluet hitam berdiri tegak dengan dua titik merah menyala di atasnya, adalah tanda kehadiran sosok itu. Norman merasa dikejar dosa karena telah mengecewakan bapaknya. Ia kini menelan ketakutannya, seperti menelan sebongkah batu seukuran dua kepalan tangan tadi. Batu hitam itu adalah kumpulan potongan waktu yang ia lalui selama bertahun-tahun. Minuman keras, judi, dan main wanita menjadi kesehariannya. Semua itu tak jadi soal karena uang-uang haram dari para manusia curang yang dibelanya di meja hijau terus berdatangan.
Itulah mengapa Norman tak mau menikah. Hidup sebebas-bebasnya, ia yakini bisa membuatnya lepas dari kepercayaan. Kini ia bersalah menelantarkan kepercayaan yang seharusnya dijaga. Sebuah kepercayaan yang tak adajika lelaki yang menikahi ibu kandungnya tak pernah mau menganggapnya ada.
Norman berhenti ketika sebuah gerbang menyambutnya. Hujan terus menderas, petir kian menggila, seperti menolak kedatangan sang pendosa karena waktu-waktu berharga telah terlewat. Dipeluknya batu nisan milik lelaki yang dulu membelikannya sepatu baru itu, yang dulu menjaganya di kala ibu kandungnya pergi entah ke mana.
"Kau serupa dengan ibumu, Norman. Hahaha!"
Pria berjubah hitam itu kembali hadir. Kali ini, di tepi pekuburan, ia berdiri. Matanya merah menyala-nyala. Hujan yang lebat tak dapat menutupi kekuatan sorotnya. Dengan perlahan, dikeluarkannya batu hitam tadi. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi dan sekuat tenaga melemparkannya ke arah Norman. Pemuda itu tak berkutik dan hanya dapat memandang pasrah ketika benda itu menembus tubuhnya. Seketika segalanya menjadi gelap, lebih gelap dari malam yang paling gelap. Norman tak sadarkan diri.
Esoknya, Norman terbaring di atas ladang. Bukankah semalam aku ada di kuburan, pikirnya. Tapi itu tak membuatnya cemas karena ternyata kejadian semalam mungkin mimpi yang hampir terasa seperti nyata. Norman mulai sadar atas perbuatannya. Ia ingin segera bertaubat dan memperbaiki diri.
"Assalamu'alaikum," sapa seseorang ketika Norman bangkit. Ia tak menjawab, hanya bertanya dalam hati siapa orang ini. Tubuhnya tinggi besar, wajahnya berjanggut, rambutnya acak-acakan.
"Ikut aku, cepat!"
"Lho, lho ... Mau dibawa ke mana saya? Anda ini siapa?" Norman keheranan.
Sosok itu diam. Norman patuh saja karena lelah. Mereka lalu berjalan menyisir tepian ladang, menapaki jalan kecil yang memisahkan sungai dan kebun-kebun di sekitar tanah itu. Tak lama, mereka sampai di jalanan dekat kuburan tempat bapaknya dimakamkan. Hampir tiap hari ia lewat sana ketika berangkat ke kota dengan mobil mewahnya. Tapi tak sekalipun ia mampir sejak lelaki itu mati.
Dari kejauhan ia melihat beberapa warga sibuk mengerjakan sesuatu. Karena penasaran, Norman meminta pada lelaki yang mengajaknya pergi ini untuk melangkah lebih cepat. Jarang sekali ada warga sibuk di kuburan pagi-pagi begini.
Norman kaget ketika ia semakin dekat dengan orang-orang itu. Mereka ternyata menemukan mayat seseorang yang tak dikenal, dengan luka parah di seluruh wajah. Tapi Norman sangat mengenal jaket yang dikenakan si mayat, karena kemarin sore jaket itulah yang dia pakai.
"Ibumu memang pandai menyimpan rahasia tentang siapa ayah kandungmu. Tapi setidaknya bapakmu sudah cukup baik menerimamu," kata sosok misterius itu. Ia menoleh.
Norman bergetar hebat. Mata merah menyala-nyala itu belum mau pergi, bahkan setelah ia menyadari kematiannya.

-2013- 


[1] Pingsan.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri