Sejak minggu lalu Norman tak bisa tidur dengan nyenyak.
Penyebabnya adalah mimpi-mimpi aneh yang belakangan sering menyerangnya.
Dilihatnya seorang pria berjubah hitam tengah berdiri di tengah ladang warisan
bapaknya. Matanya bersinar, menyala-nyala, tajam menatapnya seolah-olah ingin
menagih sesuatu.
Maka, dikonsultasikanlah hal ini pada seorang
paranormal tersohor di kampungnya. Norman mendengar nasihat-nasihat dari beliau
bahwa mungkin dulu di masa lalu dia pernah punya tanggungan utang pada
seseorang entah siapa.
"Memang dulu pernah utang, tapi sudah saya
lunasi, Mbah."
"Kalau begitu, cobalah kamu ingat-ingat lagi.
Barangkali ada yang terlupa."
Norman lalu pulang dengan kepala penuh tanya. Ia
sudah yakin kalau selama ini ia tidak punya utang ke siapa pun. Kalaupun ada,
semua telah dilunasi. Pertemuan dengan paranormal itu tidak bisa membantu. Ia
justru dirundung gelisah. Malam-malamnya kini lebih terasa mencekam. Jika
sebelumnya mimpi-mimpi itu hanya sebatas penampakan sosok misterius di ladang,
maka kini ditambah lagi dengan suara-suara rintihan orang kesakitan.
Merasa tidak ada solusi untuk masalah ini, Norman
memutuskan untuk mengungsi sementara ke rumah salah seorang saudara di kampung
sebelah. Selama ini, ia memang tinggal sendirian di rumahnya semenjak kedua
orangtuanya tiada. Mimpi-mimpi itu membuat jiwanya merasa terancam. Beberapa
teman yang mendengar keluh kesahnya menganggapnya terlalu berlebihan. Karena
apa gunanya mencemaskan bunga tidur?
"Kalau aku terus-terusan seperti ini, bisa
gila nanti," pikirnya pada suatu malam. Ia melompat dari tempat tidurnya
setelah sosok berjubah hitam itu kembali menyatroninya di mimpi. Kali ini
seperti hendak menerkamnya. Jaraknya hanya beberapa jengkal dari wajah Norman.
Lama-lama Norman kesal juga. Sebab-sebab yang
masih gelap terus bermunculan di kepala. Tak dapat ia temukan jawaban yang
pasti mengenai si jubah hitam. Memang, mimpi yang aneh akan sangat wajar bagi
siapa pun. Tapi baginya mimpi semacam ini bukanlah mimpi sembarangan, karena
tak hanya satu dua kali saja sosok itu muncul. Selama delapan malam berturut-turut,
sosok itu ada dalam mimpi dan selalu ladang warisan bapaknya yang menjadi
tempat pertemuan mereka.
Dikemasilah segala pakaian dan keperluan-keperluan
yang lain. Norman yakin, setelah dia mengungsi nanti, gangguan dalam mimpi itu
mungkin akan hilang.
"Bagaimana kau yakin kalau mimpi itu tidak
akan mendatangimu lagi?" tanya Galuh, temannya. Galuh adalah teman yang
menurut Norman bisa dipercaya. Kepada Galuhlah, ia menitipkan kunci rumahnya.
"Ladang itu ada di belakang rumah. Mungkin
kalau aku tidur di tempat saudaraku sana, orang berjubah hitam tidak lagi
mendatangi mimpiku."
Namun sayang, semua dugaan mentah oleh malam
pertama ketika Norman menginap di rumah saudaranya. Kali ini ia mendapati
dirinya jatuh dalam mimpi yang lebih ganjil. Jika delapan malam sebelumnya ia
berjalan di tepi ladang warisan bapaknya, maka kini, di malam kesembilan, dia
berada di tengah sebuah lapangan sepak bola. Sempat Norman mengira mimpi ini
pertanda berakhirnya mimpi aneh yang belakangan menyerangnya. Tapi tiba-tiba sosok
itu muncul kembali, berdiri di tepi lapangan, menatapnya tajam dengan mata yang
menyala-nyala.
"Seandainya memang penyebabnya adalah
utang-utangmu, mungkin ia tak pernah ada karena katamu kau sudah tidak punya
utang," ucap saudaranya keesokan hari. Ada benarnya kalimat itu. Jika
memang penyebabnya utang, mengapa sosok itu selalu ada?
Pertanyaan ini membuat Norman berpikir sepanjang
hari berikutnya. Pekerjaannya sebagai pengacara menjadi sangat terganggu.
Norman terlalu lelah karena kurang tidur. Dan itu membuat kliennya marah,
karena Norman lebih banyak menghabiskan waktu untuk melamun ketimbang
mencarikan solusi untuk perkara hukumnya.
Malam itu, kembali Norman dirundung gelisah. Ia
menduga bahwa sebentar lagi sosok itu pasti akan kembali mengganggu tidurnya.
Maka ia memutuskan menunda tidurnya untuk beberapa waktu. Ia terus memikirkan
segala sesuatu yang menjadi sebab datangnya lelaki berjubah hitam itu.
Bentuknya begitu nyata, seperti bukan sesuatu yang berasal dari dunia mimpi.
Jubahnya panjang menutup leher, tubuh, hingga mata kaki, hitam berkibar-kibar
bak bendera tertempa angin. Rambutnya nampak kusut. Namun pada bagian wajah
tidak begitu jelas, karena selama ini sosok itu hanya muncul di bagian yang
setengah gelap setengah terang. Yang paling mencolok adalah matanya. Sorotnya
tajam, mengiris nyali dengan nyala merah membara.
Saudaranya yang prihatin duduk di sampingnya,
bermaksud menemani Norman jika memang ia ingin begadang. Namun Norman tak enak
hati dan segera menyuruhnya tidur. Norman kembali dalam lamunan ketika malam
merangkak jauh. Dilihatnya jam dinding di ujung ruangan. Sudah jam satu petang.
Apakah ia akan terus begini? Apakah lagi-lagi sosok itu datang dalam tidurnya?
Malam kesepuluh ini tidak ingin dilaluinya dengan
kejadian serupa. Hawa dingin yang merayap pelan di daun pintu dan jendela
rumah, perlahan menerobos masuk lewat celah-celah kecil hingga menyentuh kulit
pemuda ini. Embusan angin malam bak bisikan makhluk halus, membuat bulu kuduk
Norman berdiri. Ia memutuskan tidak tidur dan akan tidur kembali malam
berikutnya. Ketidakhadirannya di alam mimpi bisa membuat sosok berjubah hitam
berhenti mengganggunya semalam ini. Dan mungkin saja, setelah itu, sosok
misterius itu benar-benar berhenti mengusiknya.
Semua itu memang sebatas dugaan. Dan semua dugaan
mengandung banyak kemungkinan. Norman tidak ingin hidupnya terus-terusan
dihantui oleh sesuatu yang tidak ia pahami. Norman ingin hidupnya normal
seperti dulu. Dibuangnya rasa takut itu bersama dengan langkahnya yang pasti
menuju dapur. Ia ingin merebus air. Secangkir kopi mungkin membantunya melewati
semua ini.
Dapur milik saudaranya itu khas dapur pedesaan.
Jika malam hari penglihatan seseorang sedikit kabur, karena lampunya hanya
benda menggantung di dinding dengan sumber cahaya berupa api kecil. Oleh karena
tidak bertegel, musim hujan membuat sebagian lantai tanah itu becek. Norman
melangkah hati-hati meraih meja di sudut dapur. Pemuda itu hampir terjungkal
kalau tidak segera berpegang pada bibir meja. Ia tak sadar sesuatu di atas tanah
tergeletak hingga membuatnya tersandung.
Dan, betapa terperanjatnya dia ketika tangannya
meraba-raba di balik lantai dapur yang gelap gulita, mencari-cari sesuatu yang
menghalanginya. Norman menemukan sebongkah batu besar seukuran dua kepalan
tangan manusia dewasa. Batu itu seperti tampak istimewa karena kulit luarnya
sangat halus dan berwarna hitam sempurna.
"Batu siapa ini?" tanyanya dalam hati.
Norman tahu saudaranya itu seorang yang tidak percaya dengan hal-hal berbau
mistik. Maka tak mungkin jika batu itu sengaja disimpan di sana sebagai syarat
ilmu-ilmu tertentu.
Tak tahu apa yang dilakukannya terhadap batu itu,
Norman mengembalikannya ke tempat semula. Mungkin ini batu biasa, yang tak
sengaja ditemukan saudaraku lalu menyimpannya untuk kemudian dijual,
pikirnya, mencoba menenangkan diri sendiri.
"Apa kaubilang? Itu bukan batu
sembarangan!" sebuah suara tiba-tiba terdengar di telinga Norman,
suara yang belum pernah ia kenal; berat dan berkarisma.
"Siapa kamu? Maling, ya?!" Norman
spontan berteriak.
Tak ada balasan. Norman menajamkan pendengaran
karena matanya tak mampu menembus kegelapan ruangan. Hanya suara gerimis turun,
menyentak halus genteng rumah. Angin di luar bertiup lebih kencang.
Detik berikutnya membuat Norman nyaris semaput[1].
Kakinya mendadak lumpuh. Keringat dingin membalur sekujur tubuh. Kepalanya
berat hingga lupa kini tengah berada di mana. Sosok berjubah hitam itu muncul
dari balik tumpukan kayu bakar. Tubuhnya melayang ringan di udara. Kaki
telanjang yang biasa dilihat Norman dalam mimpi, kini nampak sebagai asap putih
yang mengepul-ngepul.
"Batu itu milikku. Kamu telah mencurinya!"
suara itu muncul dari balik jubah yang berkibar-kibar. Sorot matanya menatap
tajam ke arah Norman, merah menyala-nyala. Pemuda itu bergetar hebat. Ingin
lari tapi tak bisa. Bagaimana ia bisa lari, sedang ia sendiri lumpuh?
"Aku tidak tahu apa-apa soal batu ini! Aku
juga tidak tahu siapa kamu! Apa aku sekarang sedang bermimpi?"
"Tak perlu kautanyakan apakah ini mimpi
atau bukan."
Norman berusaha memastikan kalau ini cuma mimpi,
seperti yang sudah-sudah. Ia bahkan mulai berharap untuk bangun jika memang ini
benar mimpi. Ah, tapi jikalau ini memang mimpi, Norman mengira ada baiknya
juga. Bukankah dengan ketidaknyataan mimpi, ia akan terbangun dengan tidak
menjumpai pria berjubah hitam?
Namun kali ini Norman melihat dirinya masih berada
di dalam dapur. Mungkinkah seseorang bermimpi di tempat yang sama seperti
tempat di mana ia tertidur? Jawaban itu lalu tertolak oleh kenyataan bunyi
gerimis yang berubah menjadi hujan. Tetes air yang menembus atap dapur yang
keropos, membuat mata Norman berkedip berkali-kali, menandakan bahwa ia sedang
tidak dalam keadaan tertidur. Lalu, dari mana datangnya sosok berjubah hitam
ini?
"Aku bisa membaca pikiranmu,"
suara itu kembali mengurung Norman tak berdaya. Ia masih tak percaya ini bukan
mimpi. Sungguh sebuah kenyataan yang ganjil. Sosok yang selama sembilan malam
menyerangnya di dalam tidur, kini benar-benar hadir di depannya.
"Aku bisa membaca pikiranmu. Aku tahu
siapa bapakmu, ibumu, dirimu. Aku tahu semua tentangmu. Berbohonglah jika
memang itu membuatmu tenang. Tapi aku tak 'kan bisa kau dustai! Hahaha!"
Suara tawa lelaki misterius membahana,
menggetarkan bumi yang kini menjadi tempat sandaran Norman. Atap dapur dapat
sewaktu-waktu roboh akibat getaran yang terlalu dahsyat ini. Tapi itu tidak
menjadi ketakutan Norman. Ia merasa pria berjubah hitam membawa ancaman lebih
besar ketimbang apa pun. Sayang, tak ada yang bisa ia lakukan selain menyeret
tubuhnya ke belakang, menjauh dari sosok seram itu. Matanya yang merah
menyala-nyala membuat Norman mengira makhluk itu jelmaan iblis.
"Siapa kamu? Apa yang kamu inginkan?"
"Aku cuma ingin batu itu kau kembalikan."
"Ambillah ... Ambillah kalau kau mau! Tapi
jangan ganggu aku lagi!" Norman melemparkan batu hitam yang tadi sempat
membuatnya terheran-heran.
Anehnya, batu yang terlempar ke arah tubuh pria
berjubah itu kemudian lenyap secara tiba-tiba, hilang ditelan jubahnya. Norman
yang masih tak berdaya kini tak lagi dapat menyembunyikan ketakutannya.
Dirasakannya celana yang ia kenakan basah. Ia terkencing-kencing ketika sosok
itu semakin dekat dan menguncinya dengan tatapan mengerikan.
"Jangan kau kira aku akan berhenti, meski
batu itu kini sudah kembali padaku. Aku tak 'kan berhenti. Sesuatu yang besar
telah mengutusku untukmu. Masihkah kau ingat kejadian saat umurmu sebelas tahun
dulu?"
Mendengar pertanyaan itu, Norman menjernihkan
pikirannya, mengingat-ingat kembali tentang bapaknya yang punya rencana
membelikannya sepatu baru. Kala itu Norman menginginkan memiliki sepatu seperti
teman-temannya, sepasang sepatu yang bagus, yang bisa membuatnya tampil lebih
gaya.
"Ini Bapak belikan buatmu. Jaga
baik-baik dan jangan sampai rusak," begitu kalimat yang kini terngiang kembali di
benak Norman. Bapaknya kala itu berpesan agar ia dapat merawat benda tersebut
karena perjuangan membeli sepatu tidaklah mudah. Bapaknya hanya kuli serabutan
dengan upah kecil.
"Apa urusanmu dengan bapakku? Apa
maumu?" Norman memberanikan diri menatap balik mata pria berjubah. Ia tak
menyangka betapa tamu misterius yang sudah mengganggu mimpi dan nyatanya itu,
justru menatapnya lebih tajam ketimbang yang sudah-sudah.
"Kamu bagian dari tugasku. Aku tak bisa
mengabaikanmu, Norman. Hahaha. Apa kau ingat kejadian saat kau berumur sebelas
tahun?" tanyanya kembali.
Norman tentu tak 'kan lupa ketika seseorang
berteriak memanggil-manggil nama bapaknya dan ia sedang sibuk dengan segelas es
sirup. Seiring dengan mengalirnya minuman itu ke kerongkongannya, sesuatu yang
besar siap menjemput bapaknya. Sesuatu yang besar itu ada di atas dua pasang
roda berputar yang melaju sangat kencang dari arah tak terduga. Norman
menjatuhkan gelasnya tanpa sadar ketika melihat tubuh lelaki yang baru saja
menunaikan janji membelikan sepatu itu, melayang-layang di bawah awan, untuk
kemudian jatuh terhempas ke atas jalanan. Norman tak pernah melupakan saat di
mana bapaknya meninggal secara tidak wajar.
Kenangan itu memang tak mungkin terhapus dari
benaknya selama ia masih waras. Tapi bagaimana mungkin pria berjubah itu tahu
tentang masa lalunya? Norman semakin tersudut ketika sosok itu mulai
mengungkit-ungkit soal ibunya. Dikatakan olehnya bahwa ibu Norman adalah
sesuatu yang memalukan bagi keluarga mereka, sebuah aib. Tapi itu dulu, ketika
Norman belum menjadi manusia yang mampu mencerna sesuatu dengan baik.
"Apa buktinya? Ibuku tak seburuk yang kau
bilang!"
"Batu hitam itu buktinya. Hahaha. Apa yang
kau pikirkan tak selalu benar, Norman! Semua yang manusia pikirkan itu hanyalah
harapan-harapan yang mereka ciptakan sendiri!"
Suara itu kembali nyaris merobohkan atap dapur.
Hujan menderas, angin bertiup semakin kencang, petir sambar menyambar.
"Kau serupa dengan ibumu, Norman. Hahaha!"
"Apa yang kau mau?"
Norman kini mulai tak dapat mengontrol diri.
Pertemuan dengan sosok berjubah hitam yang berlangsung selama beberapa menit,
membuatnya mulai terbiasa, meski tak dapat membuang ketakutan. Kaki yang lumpuh
kini mulai bisa digerakkan. Ia berdiri dan dengan kalap meraih benda-benda yang
ada di sekitarnya, melemparnya ke arah pria berjubah. Usahanya sia-sia karena
jubah hitam itu melenyapkan sesuatu yang ada di depan. Seolah semua benda yang
menyentuhnya akan hilang tertelan kain hitam itu.
Pemuda itu mulai terdesak. Sosok berjubah hitam
yang selama sembilan malam ada dalam tidurnya—dan kini muncul di kehidupan nyata—dapat menebak segala yang terjadi padanya
dan keluarga. Ia sendiri mulai ragu tentang keberadaan ibu kandungnya. Bahkan
Norman pun tak benar-benar tahu bagaimana ia lahir dan hidup di dunia untuk
pertama kalinya.
Suatu waktu, bapaknya pernah berkata bahwa tidak
ada hal yang lebih berarti ketimbang Norman, meski sebenarnya lelaki itu berhak
untuk tidak menaruh perhatian padanya. Norman tak memahami makna kalimat
bapaknya. Sampai sekarang ia tak paham. Hidup dalam keadaan bebas dijalaninya
bertahun-tahun, hingga sosok berjubah hitam datang mengganggu mimpi. Tatapan
mata tajam sarat kebencian itu—juga
yang seolah hendak menagih utang padanya—satu per satu mulai terang di mata Norman.
"Tidak ada waktu mengubah semuanya,
Norman. Tidak ada! Waktumu habis. Hahaha!"
Dalam kebutaan hati, Norman mendobrak pintu
belakang. Ia lari. Ditembusnya bayang pepohonan rimbun di sepanjang persil
milik saudaranya. Tak peduli meski hujan lebat membuatnya basah kuyup dan
hampir jatuh lantaran angin kencang. Norman tak tahu akan dibawa ke mana
lajunya. Bahkan ia tak mengerti mengapa ia malah lari menuju kampungnya?
Sesekali suara-suara pria berjubah hitam
mengusiknya di beberapa kegelapan. Siluet hitam berdiri tegak dengan dua titik
merah menyala di atasnya, adalah tanda kehadiran sosok itu. Norman merasa
dikejar dosa karena telah mengecewakan bapaknya. Ia kini menelan ketakutannya,
seperti menelan sebongkah batu seukuran dua kepalan tangan tadi. Batu hitam itu
adalah kumpulan potongan waktu yang ia lalui selama bertahun-tahun. Minuman
keras, judi, dan main wanita menjadi kesehariannya. Semua itu tak jadi soal
karena uang-uang haram dari para manusia curang yang dibelanya di meja hijau
terus berdatangan.
Itulah mengapa Norman tak mau menikah. Hidup
sebebas-bebasnya, ia yakini bisa membuatnya lepas dari kepercayaan. Kini ia
bersalah menelantarkan kepercayaan yang seharusnya dijaga. Sebuah kepercayaan
yang tak ada—jika
lelaki yang menikahi ibu kandungnya tak pernah mau menganggapnya ada.
Norman berhenti ketika sebuah gerbang
menyambutnya. Hujan terus menderas, petir kian menggila, seperti menolak
kedatangan sang pendosa karena waktu-waktu berharga telah terlewat. Dipeluknya
batu nisan milik lelaki yang dulu membelikannya sepatu baru itu, yang dulu
menjaganya di kala ibu kandungnya pergi entah ke mana.
"Kau serupa dengan ibumu, Norman. Hahaha!"
Pria berjubah hitam itu kembali hadir. Kali ini,
di tepi pekuburan, ia berdiri. Matanya merah menyala-nyala. Hujan yang lebat
tak dapat menutupi kekuatan sorotnya. Dengan perlahan, dikeluarkannya batu
hitam tadi. Ia mengangkatnya tinggi-tinggi dan sekuat tenaga melemparkannya ke
arah Norman. Pemuda itu tak berkutik dan hanya dapat memandang pasrah ketika
benda itu menembus tubuhnya. Seketika segalanya menjadi gelap, lebih gelap dari
malam yang paling gelap. Norman tak sadarkan diri.
Esoknya, Norman terbaring di atas ladang. Bukankah
semalam aku ada di kuburan, pikirnya. Tapi itu tak membuatnya cemas karena
ternyata kejadian semalam mungkin mimpi yang hampir terasa seperti nyata.
Norman mulai sadar atas perbuatannya. Ia ingin segera bertaubat dan memperbaiki
diri.
"Assalamu'alaikum," sapa
seseorang ketika Norman bangkit. Ia tak menjawab, hanya bertanya dalam hati
siapa orang ini. Tubuhnya tinggi besar, wajahnya berjanggut, rambutnya
acak-acakan.
"Ikut aku, cepat!"
"Lho, lho ... Mau dibawa ke mana saya? Anda
ini siapa?" Norman keheranan.
Sosok itu diam. Norman patuh saja karena lelah.
Mereka lalu berjalan menyisir tepian ladang, menapaki jalan kecil yang memisahkan
sungai dan kebun-kebun di sekitar tanah itu. Tak lama, mereka sampai di jalanan
dekat kuburan tempat bapaknya dimakamkan. Hampir tiap hari ia lewat sana ketika
berangkat ke kota dengan mobil mewahnya. Tapi tak sekalipun ia mampir sejak
lelaki itu mati.
Dari kejauhan ia melihat beberapa warga sibuk
mengerjakan sesuatu. Karena penasaran, Norman meminta pada lelaki yang
mengajaknya pergi ini untuk melangkah lebih cepat. Jarang sekali ada warga
sibuk di kuburan pagi-pagi begini.
Norman kaget ketika ia semakin dekat dengan
orang-orang itu. Mereka ternyata menemukan mayat seseorang yang tak dikenal,
dengan luka parah di seluruh wajah. Tapi Norman sangat mengenal jaket yang
dikenakan si mayat, karena kemarin sore jaket itulah yang dia pakai.
"Ibumu memang pandai menyimpan rahasia
tentang siapa ayah kandungmu. Tapi setidaknya bapakmu sudah cukup baik
menerimamu," kata sosok misterius itu. Ia menoleh.
Norman
bergetar hebat. Mata merah menyala-nyala itu belum mau pergi, bahkan setelah ia
menyadari kematiannya.-2013-
Comments
Post a Comment