Maria tahu di kebun
belakang rumah Nenek ada lubang rahasia. Tidak besar, hanya seukuran bola
sepak. Di lubang itu hidup kelinci-kelinci berdasi. Karena itu, bila Mama
mengajaknya pergi ke rumah Nenek, Maria bilang tidak enak badan. Maria tidak
suka ke rumah Nenek, bukan karena perempuan tua itu jahat, melainkan betapa ia
bisa mati kalau lebih lama di kebun. "Kelinci-kelinci," katanya,
"bukan teman yang baik!"
Mama tidak percaya ucapan
Maria soal kelinci yang tidak baik. Seorang tetangga bernama Leli, setahun
lebih tua dari Maria dan suka mengajaknya main bola bekel bila sedang hari
libur, punya kelinci lucu di rumahnya. Dan Leli setiap hari bermain dengan
kelinci itu dengan riang gembira. Apanya yang tidak baik?
Di ulang tahun Maria yang
keenam, Mama memberikan kado berupa kelinci yang lebih lucu dari kepunyaan
Leli. Mama kira anaknya belum terbiasa. Nanti juga anak itu suka, begitu yang
beliau pikir. Maka, seekor kelinci gemuk nan sehat dibeli. Mahal sekali. Jauh
lebih mahal dari harga bedak dan high heels Mama, meski harga sebesar
itu bukan apa-apa demi cinta anak.
"Ini untukmu, Nak.
Kelinci bagus yang Mama beli di luar kota," kata Mama penuh kasih. Sebagai
anak tunggal, apa yang tidak buat Maria? Segala-gala dilakukan Mama demi
anaknya, apalagi sejak papa Maria mati kecelakaan tiga tahun lalu.
Tapi, Maria tidak suka
kelinci. Sejak umur empat tahun, persisnya dua tahun silam, Maria benci kelinci
gara-gara kejadian di kebun milik Nenek. Di sana, kelinci-kelinci hampir
membuatnya mati.
Maria menjerit-jerit dan
menendang keranjang mungil berisi kelinci hadiah dari Mama. "Maria nggak
mau! Maria takut!" Anak itu lalu menangis dan suasana pesta jadi kacau
balau. Mama sungguh tidak mengerti. Apa yang terjadi? Bagaimana bisa si anak
menjadi begitu benci pada kelinci, padahal Mama tahu kelinci itu imut dan lucu.
Tentu saja Mama tidak berpikir yang bukan-bukan pada Nenek. Nenek sangat baik
pada Maria, cucu semata wayangnya, bahkan kebaikannya melebihi siapa pun.
Tidak ada orang berhati
seputih Nenek. Maria sendiri tahu itu. Maka, pada zaman dahulu kala, ketika
Maria mulai bisa mengingat wajah orang-orang terdekat, sebelum mengenal alphabet
atau angka, wajah Neneklah yang pertama ia hafal. Wajah pembawa dongeng dan
permen-permen manis penyebab sakit gigi.
Maria sering menginap di
rumah Nenek dan mereka punya banyak rahasia yang tak Mama tahu, misalnya, soal
permen-permen manis itu. Kata Mama, tidak boleh makan permen terlalu banyak,
nanti gigimu lubang-lubang dan bisa dimasukin ulat. Itu rasanya sungguh sakit!
Maria mulanya tidak
percaya. Ulat kok bisa masuk ke dalam gigi? Tak kalah siasat, Mama menunjukkan
tayangan iklan pasta gigi pada Maria, di mana ulat-ulat nakal bisa masuk dan
menggerogoti gigi seorang anak yang kebanyakan makan permen dan tidak rajin gosok
gigi.
Jadi, meski Maria rajin
gosok gigi, tetap giginya akan dikuasai ulat-ulat nakal, karena ia suka
ketiduran kalau kenyang. Dan, permen-permen Nenek selalu bikin kenyang! Nenek
beli permen seukuran bola bekel itu di toko khusus di tepi kota, di mana permen-permen
tersebut diproduksi oleh pabrik permen yang pendirinya dari kecil sangat
menggilai makanan manis.
"Kamu tahu,
sayangku," bisik Nenek pada suatu malam pada Maria, "permen yang
dibuat oleh pabrik itu sangat baik untuk kebahagiaanmu. Dulu zaman Belanda,
Nenek sudah makan permen yang sama. Dan karena permen memberi kita kebahagiaan,
yang Nenek lihat cuma kelinci-kelinci lucu yang bisa bicara."
"Kelinci-kelinci lucu
yang bisa bicara?" tanya Maria antusias. Ia sangat penasaran; bagaimana
bisa dengan hanya memakan permen, kita bertemu kelinci-kelinci yang bisa
bicara?
"Iya. Nenek tidak
bohong, lho. Ini sungguh terjadi. Kapan-kapan Nenek tunjukin."
Sejak itu, Maria menjaga
rahasia soal betapa banyak permen yang Nenek berikan padanya di saat menginap.
Mama tidak tahu karena beliau harus pulang mengurus tugas di kantor. Oh, berkat
Nenek, bayang-bayang rasa sakit sebab geligi diinvasi para ulat, padam,
berganti dunia permen alam mimpi, karena di dapur Nenek menyimpan banyak sekali
jenis dan rasa permen yang manis.
Lalu, sejak hari itu,
ketika kembali menginap di rumah Nenek, Maria banyak sekali melahap permen.
Nenek mengingatkan, boleh makan banyak, tetapi jangan sampai kita kenyang.
Nanti kelinci-kelinci bisa marah. Maria tidak tahu maksudnya, kenapa ada kelinci
bisa marah. Bukankah kelinci seharusnya lucu?
"Mereka beda,
Nak," kata Nenek.
Sore hari, Maria dan Nenek
pergi ke kebun belakang. Sudah saatnya, kata si Nenek pada Maria. Kamu harus
mewarisi pengetahuan ini sekarang. Tentang ilmu di mana seorang anak tidak
hanya bisa menikmati masa kecil, tetapi sekaligus melihat langsung keajaiban
dengan mata kepalamu.
Dari lubang sebesar bola
sepak, Nenek mengundang empat ekor kelinci berdasi yang semuanya benar-benar
bisa bicara. Bahkan, mereka pintar berhitung dan berbicara dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Arab.
"Mereka lucu dan
pintar," bisik Nenek pada cucunya, dan kelinci-kelinci mengikik geli.
Mereka kelihatannya suka pada Maria; mereka saling berbisik dan mulai menatap
anak itu dari ujung rambut hingga kaki, dan, sekali lagi, berbisik antar
sesama, tanpa si anak tahu bisikan para kelinci ini.
Nenek bilang, ini cucu
saya. Kelak, dialah pengganti saya yang menjaga lubang ini. Mereka menjawab,
"Oh!" Tetapi para kelinci sepertinya sibuk dan mulai mengalihkan
perhatian ke hal lain; mereka tidak lagi mengikik, apalagi berbisik-bisik.
Maria tertegun. Beberapa
lama ia dengar kelinci-kelinci bicara soal pabrik permen yang kini turun
omsetnya. Mereka bicara pada Nenek, bahwa mulai sedikit anak-anak kecil makan
permen yang mereka produksi, karena di kota ini, jumlah anak kecil jauh
berkurang.
"Oh, jadi kalian yang
sekarang memegang pabrik itu?" tanya Maria tiba-tiba.
Keempat kelinci mendadak
berhenti dan memandang Nenek dengan raut kesal. "Suruh masuk. Mengganggu
saja!" ketus seekor kelinci berdasi hijau pada Nenek.
Nenek menghela napas
prihatin. Beliau bilang pada Maria: "Pokoknya, kamu boleh main di sini dan
makan permen sepuasnya. Kamu juga boleh melihat kelinci-kelinci itu rapat. Di
gudang belakang rumah Nenek, mereka biasa duduk-duduk dan minum teh dan bicara
soal pabrik permen itu. Tapi, satu yang harus Maria patuhi: jangan
menyela."
"Baik, Nek."
Demikianlah, akhirnya Nenek
meminta maaf pada para kelinci dan mereka mau memaafkan Maria. Anak itu juga
janji tidak menyela omongan lagi. Lalu, karena hari gelap, keempat kelinci dan
Maria pindah ke gudang yang disiapkan Nenek. Di dapur, Nenek memasak makan
malam buat Maria. "Kalau selesai, kamu pulang, ya," begitu pesan
Nenek. Maria mengangguk.
Di gudang para kelinci
mulai rapat. Maria tidak tahu apa isi pembicaraan, karena kali ini mereka
bicara dengan dua bahasa yang belum Maria tahu: Inggris dan Arab. Jadi, anak
itu hanya diam. Begitu rapat selesai, kelinci berdasi biru berdiri dan memimpin
kelinci-kelinci lain keluar. Maria tahu, kali ini ia boleh menyela, karena para
kelinci tak lagi bicara. Ia tanya, ke mana kalian? Para kelinci bilang, kami
pulang. Mau ikut?
Tanpa pikir pikir panjang,
Maria mengangguk.
Sayang sekali, Nenek belum
memberi tahu cucunya satu hal penting. Satu hal yang harusnya dari awal beliau
peringatkan.
***
Maria masih menjerit-jerit
karena hadiah istimewa Mama justru sesuatu yang amat ia benci.
Maria masuk kamar mandi dan
tidak mau keluar kalau kelinci itu belum dibuang dari rumah. Dengan berat hati,
malam itu juga Mama mengetuk pintu rumah Leli dan memberikan kelinci bagus
tersebut pada anak tetangga itu. Maria pun mau keluar.
Mama tidak pernah tahu apa
penyebab anaknya menjadi sedemikian aneh, tetapi Maria bungkam. Esoknya, pulang
sekolah, ketika Maria bermain bekel dengan Leli, anak itu tidak bergairah,
karena tahu di rumah temannya ada dua ekor kelinci. Melihat temannya lemas,
Leli tentu saja bertanya-tanya.
"Nanti kamu mati,
lho," bisik Maria pada Leli.
"Kenapa?"
"Kelinci-kelinci itu
jahat!"
"Enggak kok,"
jawab Leli mencoba biasa, padahal kini ia ikut takut.
Kepada Leli, Maria
bercerita bahwa suatu malam ia pernah pergi ke lubang kelinci di kebun Nenek.
Di sana, ternyata ada sebuah pabrik permen rahasia. Permen seukuran bola bekel.
Di sana juga banyak sekali kelinci pekerja, sehingga tak hanya ada kelinci
berdasi, melainkan juga berompi, berhelm, berkaus singlet, dan lain-lain. Dan
mereka semua bisa bicara!
"Tempat itu luas dan
aku tahu dari Nenek tempat itu ada sejak zaman Belanda."
Maria juga tahu, lubang
kelinci itu sering membawa masuk anak-anak kecil, yang akhirnya tidak pernah
kembali. Ia tahu ketika keempat kelinci membawanya lewat di bagian luar
penjara. Ada jeruji di pintu-pintu. Di situ, anak-anak seumuran dia menangis
mencari ayah ibunya.
"Kamu jangan bohong,
dong!" keluh Leli yang mulai benar-benar ketakutan.
Tidak, Maria tidak bohong.
Kali itu saja, Maria sampai terkencing-kencing saking takutnya. Apalagi saat
para kelinci membawanya ke ruang produksi. Sampai di sini, Maria tidak
meneruskan. Ia melihat sesuatu yang mengerikan. Sesuatu penuh darah dan jeritan
dan ia nyaris mengalaminya. Ia cuma diam meski Leli mendesak. Ia malah ingat
Nenek yang baik. Malam itu, Nenek datang menolong Maria dengan seutas tali,
persis sebelum ia diseret masuk ke mesin penggiling.
"Anak-anak manis
seperti kamu nggak boleh masuk, Nak," kata Nenek malam itu dengan
air mata berlinang. Karena itulah kunci rasa permen mereka.
Keberadaan lubang kelinci
adalah cara Nenek menjaga agar keluarganya tidak menjadi korban. Menyediakan
tempat dengan imbalan: tanpa ada penculikan menimpa anak cucunya. Sayangnya,
malam itu Maria nyaris celaka. Para kelinci tak pernah pilih kasih.
Tentu saja, sejak itu Maria
benci kelinci dan tidak pernah mau ke rumah Nenek. Ini rahasia terakhir bersama
wanita tua itu, "Mama jangan tahu, ya, Nak." [ ]
Gempol, 13-01-2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi,
cerpen, novel, dan esai. Karyanya tersebar di berbagai media cetak.
Selalu keren, Mas.
ReplyDeleteKeren. Agak mengingatkan saya dengan Charlie and the Chocholate factory. Terinspirasi atau hanya perasaan saya saja?
ReplyDeleteJustru lebih terinspirasi Alice in Wonderland.
DeleteCerita aneh. Satire atau apa? gak jelas. Cernak atau...?
ReplyDeleteApanya yang satire, Mbak? :D Tidak ada yang satire dalam cerita ini. Murni cerpen sastra biasa. Bisa dibedakan dengan cerpen anak kok, kalau membacanya teliti sih. :v
Delete