Skip to main content

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Lubang Kelinci" karya Ken Hanggara



(Dimuat di Padang Ekspres, Minggu, 7 Februari 2016)

Maria tahu di kebun belakang rumah Nenek ada lubang rahasia. Tidak besar, hanya seukuran bola sepak. Di lubang itu hidup kelinci-kelinci berdasi. Karena itu, bila Mama mengajaknya pergi ke rumah Nenek, Maria bilang tidak enak badan. Maria tidak suka ke rumah Nenek, bukan karena perempuan tua itu jahat, melainkan betapa ia bisa mati kalau lebih lama di kebun. "Kelinci-kelinci," katanya, "bukan teman yang baik!"
Mama tidak percaya ucapan Maria soal kelinci yang tidak baik. Seorang tetangga bernama Leli, setahun lebih tua dari Maria dan suka mengajaknya main bola bekel bila sedang hari libur, punya kelinci lucu di rumahnya. Dan Leli setiap hari bermain dengan kelinci itu dengan riang gembira. Apanya yang tidak baik?
Di ulang tahun Maria yang keenam, Mama memberikan kado berupa kelinci yang lebih lucu dari kepunyaan Leli. Mama kira anaknya belum terbiasa. Nanti juga anak itu suka, begitu yang beliau pikir. Maka, seekor kelinci gemuk nan sehat dibeli. Mahal sekali. Jauh lebih mahal dari harga bedak dan high heels Mama, meski harga sebesar itu bukan apa-apa demi cinta anak.
"Ini untukmu, Nak. Kelinci bagus yang Mama beli di luar kota," kata Mama penuh kasih. Sebagai anak tunggal, apa yang tidak buat Maria? Segala-gala dilakukan Mama demi anaknya, apalagi sejak papa Maria mati kecelakaan tiga tahun lalu.
Tapi, Maria tidak suka kelinci. Sejak umur empat tahun, persisnya dua tahun silam, Maria benci kelinci gara-gara kejadian di kebun milik Nenek. Di sana, kelinci-kelinci hampir membuatnya mati.
Maria menjerit-jerit dan menendang keranjang mungil berisi kelinci hadiah dari Mama. "Maria nggak mau! Maria takut!" Anak itu lalu menangis dan suasana pesta jadi kacau balau. Mama sungguh tidak mengerti. Apa yang terjadi? Bagaimana bisa si anak menjadi begitu benci pada kelinci, padahal Mama tahu kelinci itu imut dan lucu. Tentu saja Mama tidak berpikir yang bukan-bukan pada Nenek. Nenek sangat baik pada Maria, cucu semata wayangnya, bahkan kebaikannya melebihi siapa pun.
Tidak ada orang berhati seputih Nenek. Maria sendiri tahu itu. Maka, pada zaman dahulu kala, ketika Maria mulai bisa mengingat wajah orang-orang terdekat, sebelum mengenal alphabet atau angka, wajah Neneklah yang pertama ia hafal. Wajah pembawa dongeng dan permen-permen manis penyebab sakit gigi.
Maria sering menginap di rumah Nenek dan mereka punya banyak rahasia yang tak Mama tahu, misalnya, soal permen-permen manis itu. Kata Mama, tidak boleh makan permen terlalu banyak, nanti gigimu lubang-lubang dan bisa dimasukin ulat. Itu rasanya sungguh sakit!
Maria mulanya tidak percaya. Ulat kok bisa masuk ke dalam gigi? Tak kalah siasat, Mama menunjukkan tayangan iklan pasta gigi pada Maria, di mana ulat-ulat nakal bisa masuk dan menggerogoti gigi seorang anak yang kebanyakan makan permen dan tidak rajin gosok gigi.
Jadi, meski Maria rajin gosok gigi, tetap giginya akan dikuasai ulat-ulat nakal, karena ia suka ketiduran kalau kenyang. Dan, permen-permen Nenek selalu bikin kenyang! Nenek beli permen seukuran bola bekel itu di toko khusus di tepi kota, di mana permen-permen tersebut diproduksi oleh pabrik permen yang pendirinya dari kecil sangat menggilai makanan manis.
"Kamu tahu, sayangku," bisik Nenek pada suatu malam pada Maria, "permen yang dibuat oleh pabrik itu sangat baik untuk kebahagiaanmu. Dulu zaman Belanda, Nenek sudah makan permen yang sama. Dan karena permen memberi kita kebahagiaan, yang Nenek lihat cuma kelinci-kelinci lucu yang bisa bicara."
"Kelinci-kelinci lucu yang bisa bicara?" tanya Maria antusias. Ia sangat penasaran; bagaimana bisa dengan hanya memakan permen, kita bertemu kelinci-kelinci yang bisa bicara?
"Iya. Nenek tidak bohong, lho. Ini sungguh terjadi. Kapan-kapan Nenek tunjukin."
Sejak itu, Maria menjaga rahasia soal betapa banyak permen yang Nenek berikan padanya di saat menginap. Mama tidak tahu karena beliau harus pulang mengurus tugas di kantor. Oh, berkat Nenek, bayang-bayang rasa sakit sebab geligi diinvasi para ulat, padam, berganti dunia permen alam mimpi, karena di dapur Nenek menyimpan banyak sekali jenis dan rasa permen yang manis.
Lalu, sejak hari itu, ketika kembali menginap di rumah Nenek, Maria banyak sekali melahap permen. Nenek mengingatkan, boleh makan banyak, tetapi jangan sampai kita kenyang. Nanti kelinci-kelinci bisa marah. Maria tidak tahu maksudnya, kenapa ada kelinci bisa marah. Bukankah kelinci seharusnya lucu?
"Mereka beda, Nak," kata Nenek.
Sore hari, Maria dan Nenek pergi ke kebun belakang. Sudah saatnya, kata si Nenek pada Maria. Kamu harus mewarisi pengetahuan ini sekarang. Tentang ilmu di mana seorang anak tidak hanya bisa menikmati masa kecil, tetapi sekaligus melihat langsung keajaiban dengan mata kepalamu.
Dari lubang sebesar bola sepak, Nenek mengundang empat ekor kelinci berdasi yang semuanya benar-benar bisa bicara. Bahkan, mereka pintar berhitung dan berbicara dalam tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Arab.
"Mereka lucu dan pintar," bisik Nenek pada cucunya, dan kelinci-kelinci mengikik geli. Mereka kelihatannya suka pada Maria; mereka saling berbisik dan mulai menatap anak itu dari ujung rambut hingga kaki, dan, sekali lagi, berbisik antar sesama, tanpa si anak tahu bisikan para kelinci ini.
Nenek bilang, ini cucu saya. Kelak, dialah pengganti saya yang menjaga lubang ini. Mereka menjawab, "Oh!" Tetapi para kelinci sepertinya sibuk dan mulai mengalihkan perhatian ke hal lain; mereka tidak lagi mengikik, apalagi berbisik-bisik.
Maria tertegun. Beberapa lama ia dengar kelinci-kelinci bicara soal pabrik permen yang kini turun omsetnya. Mereka bicara pada Nenek, bahwa mulai sedikit anak-anak kecil makan permen yang mereka produksi, karena di kota ini, jumlah anak kecil jauh berkurang.
"Oh, jadi kalian yang sekarang memegang pabrik itu?" tanya Maria tiba-tiba.
Keempat kelinci mendadak berhenti dan memandang Nenek dengan raut kesal. "Suruh masuk. Mengganggu saja!" ketus seekor kelinci berdasi hijau pada Nenek.
Nenek menghela napas prihatin. Beliau bilang pada Maria: "Pokoknya, kamu boleh main di sini dan makan permen sepuasnya. Kamu juga boleh melihat kelinci-kelinci itu rapat. Di gudang belakang rumah Nenek, mereka biasa duduk-duduk dan minum teh dan bicara soal pabrik permen itu. Tapi, satu yang harus Maria patuhi: jangan menyela."
"Baik, Nek."
Demikianlah, akhirnya Nenek meminta maaf pada para kelinci dan mereka mau memaafkan Maria. Anak itu juga janji tidak menyela omongan lagi. Lalu, karena hari gelap, keempat kelinci dan Maria pindah ke gudang yang disiapkan Nenek. Di dapur, Nenek memasak makan malam buat Maria. "Kalau selesai, kamu pulang, ya," begitu pesan Nenek. Maria mengangguk.
Di gudang para kelinci mulai rapat. Maria tidak tahu apa isi pembicaraan, karena kali ini mereka bicara dengan dua bahasa yang belum Maria tahu: Inggris dan Arab. Jadi, anak itu hanya diam. Begitu rapat selesai, kelinci berdasi biru berdiri dan memimpin kelinci-kelinci lain keluar. Maria tahu, kali ini ia boleh menyela, karena para kelinci tak lagi bicara. Ia tanya, ke mana kalian? Para kelinci bilang, kami pulang. Mau ikut?
Tanpa pikir pikir panjang, Maria mengangguk.
Sayang sekali, Nenek belum memberi tahu cucunya satu hal penting. Satu hal yang harusnya dari awal beliau peringatkan.
***
Maria masih menjerit-jerit karena hadiah istimewa Mama justru sesuatu yang amat ia benci.
Maria masuk kamar mandi dan tidak mau keluar kalau kelinci itu belum dibuang dari rumah. Dengan berat hati, malam itu juga Mama mengetuk pintu rumah Leli dan memberikan kelinci bagus tersebut pada anak tetangga itu. Maria pun mau keluar.
Mama tidak pernah tahu apa penyebab anaknya menjadi sedemikian aneh, tetapi Maria bungkam. Esoknya, pulang sekolah, ketika Maria bermain bekel dengan Leli, anak itu tidak bergairah, karena tahu di rumah temannya ada dua ekor kelinci. Melihat temannya lemas, Leli tentu saja bertanya-tanya.
"Nanti kamu mati, lho," bisik Maria pada Leli.
"Kenapa?"
"Kelinci-kelinci itu jahat!"
"Enggak kok," jawab Leli mencoba biasa, padahal kini ia ikut takut.
Kepada Leli, Maria bercerita bahwa suatu malam ia pernah pergi ke lubang kelinci di kebun Nenek. Di sana, ternyata ada sebuah pabrik permen rahasia. Permen seukuran bola bekel. Di sana juga banyak sekali kelinci pekerja, sehingga tak hanya ada kelinci berdasi, melainkan juga berompi, berhelm, berkaus singlet, dan lain-lain. Dan mereka semua bisa bicara!
"Tempat itu luas dan aku tahu dari Nenek tempat itu ada sejak zaman Belanda."
Maria juga tahu, lubang kelinci itu sering membawa masuk anak-anak kecil, yang akhirnya tidak pernah kembali. Ia tahu ketika keempat kelinci membawanya lewat di bagian luar penjara. Ada jeruji di pintu-pintu. Di situ, anak-anak seumuran dia menangis mencari ayah ibunya.
"Kamu jangan bohong, dong!" keluh Leli yang mulai benar-benar ketakutan.
Tidak, Maria tidak bohong. Kali itu saja, Maria sampai terkencing-kencing saking takutnya. Apalagi saat para kelinci membawanya ke ruang produksi. Sampai di sini, Maria tidak meneruskan. Ia melihat sesuatu yang mengerikan. Sesuatu penuh darah dan jeritan dan ia nyaris mengalaminya. Ia cuma diam meski Leli mendesak. Ia malah ingat Nenek yang baik. Malam itu, Nenek datang menolong Maria dengan seutas tali, persis sebelum ia diseret masuk ke mesin penggiling.
"Anak-anak manis seperti kamu nggak boleh masuk, Nak," kata Nenek malam itu dengan air mata berlinang. Karena itulah kunci rasa permen mereka.
Keberadaan lubang kelinci adalah cara Nenek menjaga agar keluarganya tidak menjadi korban. Menyediakan tempat dengan imbalan: tanpa ada penculikan menimpa anak cucunya. Sayangnya, malam itu Maria nyaris celaka. Para kelinci tak pernah pilih kasih.
Tentu saja, sejak itu Maria benci kelinci dan tidak pernah mau ke rumah Nenek. Ini rahasia terakhir bersama wanita tua itu, "Mama jangan tahu, ya, Nak." [ ]
Gempol, 13-01-2016
KEN HANGGARA lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karyanya tersebar di berbagai media cetak.


Comments

  1. Keren. Agak mengingatkan saya dengan Charlie and the Chocholate factory. Terinspirasi atau hanya perasaan saya saja?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Justru lebih terinspirasi Alice in Wonderland.

      Delete
  2. Cerita aneh. Satire atau apa? gak jelas. Cernak atau...?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Apanya yang satire, Mbak? :D Tidak ada yang satire dalam cerita ini. Murni cerpen sastra biasa. Bisa dibedakan dengan cerpen anak kok, kalau membacanya teliti sih. :v

      Delete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri