Sudah menjadi semacam penyakit di kampungku, bahwa
pada malam-malam tertentu di musim hujan, seseorang datang membawa keranda
mayat. Dengan keranda itu ia akan mencuri jiwa siapa pun yang berdiri di
pertigaan kampung lewat tengah malam. Tak peduli sebersih atau sekotor apa jiwa
itu, yang jelas, sepengetahuanku, keranda itu tidak pernah pilih-pilih. Konon,
setiap kejadian berkait soal itu sudah terencana jauh sebelumnya.
Aku bingung, mengapa tiba-tiba urusan
"berdiri" menjadi begitu runyam? Walau sedari kecil sudah sering
mendengar orang tua-orang tua mengingatkanku, aku masih tak paham. Apakah
seseorang itu penculik, hantu, siluman, atau bahkan malaikat pencabut nyawa,
aku tak tahu. Semua serba gelap di mataku.
Pagi ini, lagi-lagi warga menemukan seseorang
berbaring di sudut pertigaan. Marjuki mati dengan kondisi mengenaskan. Wajahnya
membiru, dengan mata melotot bak ditarik keras-keras dari luar. Jika melihat
bibirnya, aku teringat pada sesuatu di kebun belakang. Tak tahu apa yang
membuat mulut lelaki itu mekar berlendir-lendir bak batang pisang yang baru
saja ditebang. Seisi kampung geger. Tak ditemukan bukti jikalau memang seorang
pembunuh telah beraksi. Segeralah kisah gaib menyoal pembawa keranda kembali
jadi perbincangan hangat di mana-mana.
Apa mungkin orang-orang zaman dulu berbuat dosa
besar, hingga kini berbuahlah fenomena ganjil ini? Sayangnya, aku selalu gagal
bila mencoba mencari tahu. Pamanku, yang juga salah seorang sesepuh, tak pernah
mau berbagi. Padahal aku tahu, tak sejengkal pun yang tidak ia tahu soal ini.
Ia tahu semuanya.
"Kelak kau tahu sendiri penyebabnya. Ini
sudah menjadi kutukan, turun-temurun. Kualat kalau sampai Pak Lik cerita
semuanya ke kamu. Bahkan mbahmu dulu pun juga sama menjengkelkannya seperti
aku. Begitupun mbah buyut dan canggah-mu. Mereka tak ingin sial hanya
karena mengalah oleh kekerasan kepala penerusnya!"
"Tapi aku sudah kepala tiga. Sebentar lagi
anakku yang kedua mau brojol. Masa iya Pak Lik nganggep aku masih
ingusan? Cerita dikit sajalah, Lik, ndak apa. Yang penting aku jadi tahu
penyebab pastinya. Kalau tahu 'kan, risikoku diambil pembawa keranda itu jadi
kecil," rayuku panjang lebar.
Tapi Paman masih teguh pada pendirian, tak mau
berucap sepatah pun soal ini. Bila sudah begitu, aku cuma bisa diam. Membantah
untuk kedua kali pantang bagiku. Jadilah, dengan memendam kecewa, kenyataan
harus kutelan bulat-bulat. Tidak ada yang mau memberiku informasi akurat
mengenai ini. Bapak ibuku sudah mati sejak aku kecil. Pamankulah yang merawatku.
Aku menjadi tanggung jawabnya. Dan kini, akulah yang harus
di-"lindungi"-nya.
Aku tak paham. Otakku serasa mau pecah memikirkan
ini. Kaitan antara keranda misterius, kutukan, juga keturunan itu apa? Bagiku,
seandainya semua itu berupa tiga helai benang berwarna lain, tidak akan bisa
disatukan. Hasilnya tetap akan semrawut, jauh lebih rumit ketimbang isi
otakku! Menurutku, alasan perlindungan yang Paman utarakan sungguh tak logis.
Kalau benar, kenapa malah merahasiakannya?
Maka, di luar tanda tanya yang terus menggumuli,
kadang ada pula rasa takut. Diam-diam ketakutan itu menyelinap masuk di balik
selimut, tepat tengah malam, pukul dua belas 'teng'. Aku selalu bangkit, jalan mondar-mandir
sepanjang mendengar ketukan bambu hansip Mul yang tengah berjaga di seputaran
kampung. Dalam hati aku bertanya, apa dia ndak takut sendirian jalan ke
sana kemari, yang sudah pasti akan melintasi satu-satunya pertigaan itu?
Biasanya aku jadi lebih tenang jika Mul terdengar
agak sedikit keras memukul kentongan-nya. Itulah tanda bahwa ia telah
"selamat" melalui sesuatu yang menurutku berbahaya. Itulah tanda
bahwa ia sedang melintasi depan rumahku tanpa ada yang menculiknya. Aku akan
kembali tidur jika Ratih, istriku, menyadari suaminya sedang tidak berada di
samping. Aku tak mau membuatnya takut. Jadi kusimpan saja segala kebingunganku
di depannya.
Derasnya pengaruh modernisasi menjadikan cerita
ini kadang terdengar lucu, menyedihkan, atau kadang pula gila. Pemuda-pemuda
yang pernah atau tengah meninggalkan kampung—dan tahu kehidupan kota dengan
gemerlapnya, merasa bahwa kisah mistis ini hanya lelucon semata.
Kenyataan ini pelan-pelan menimbulkan
pertentangan, terlebih saat sebagian besar pemuda itu pulang, menengok keadaan
orangtua di desa. Rapat bersama jadi sering diadakan, demi mengamankan kampung
seperti sedia kala. Gara-garanya kematian Marjuki memunculkan protes keras dari
kelompok pemuda. Usia mereka beberapa tahun di bawahku, tapi lebih berani
mengajukan keberatannya. Tidak seperti aku, yang cuma bisa diam dan diam di bawah
tekanan Paman.
Jadilah—oleh karena silang pendapat dianggap
melampaui batas; dianggap kurang ajar lebih tepatnya—rapat-rapat itu penuh
dengan lontaran emosi para sesepuh yang menjunjung tinggi kepercayaan.
Orang-orang renta ini berpikir betapa kurang ajarnya pemuda sekarang. Berani
menentang tradisi, tidak menghormati sejarah, dan melupakan nilai luhur yang
dianut para pendahulu. Sedang yang muda-muda tak mau mengalah dan teguh pada
pendirian.
Oh, betapa aku semakin tak menentu. Kekacauan yang
timbul setelah kematian Marjuki, membuat para perantau yang kembali dari kota
menuntut penjelasan. Mereka bosan dengan kematian yang terus terjadi, hingga
lebih senang jika melibatkan polisi. Sedangkan para sesepuh berpikir semua itu
tak perlu.
"Ndak ada satu pun aparat yang bisa
menangkapnya, andaipun benar mereka bisa mencium jejaknya!" begitu
bantah pamanku.
"Na? Kalau gitu, berarti benar apa
kata kami. Di kampung kita ini pasti ada yang punya pesugihan! Ya, ndak
salah lagi. Pembawa keranda itu pasti semacam tuyul, babi ngepet,
jengglot, palasik, atau semacamnya. Kalau dibiarkan terus seperti ini,
bisa-bisa kita sendiri yang habis! Kalau kita semua mati, siapa yang akan
menafkahi anak istrimu? Ha? Ayo, siapa di antara kalian yang melakukannya?
Mengakulah! Kami ndak akan memperkarakan ke meja hijau, asal ndak
lagi ada korban!" sahut San berapi-api. Dialah pemuda yang paling vokal.
Kemudian, di antara bisik-bisik warga lain yang
menyaksikan—termasuk aku di dalamnya, terdengar satu suara yang tak kalah
menggemparkan: "Apa lebih baik kita hancurkan saja pertigaan itu? Ha? Kita
ganti saja dengan jalan yang lurus!"
"Ndak, ndak mungkin. Pertigaan
itu satu-satunya akses menuju kota. Kampung kita dikelilingi hutan dan lereng gunung. Satu-satunya jalan ya cuma itu. Dan
pula, pasar kita juga berada di ujung jalan lainnya. Gimana bisa lurus, lha
wong posisi ketiganya saja bersingkuran?!" sela si ketua RT.
Setelah itu, keributan kembali meninggi. Semua
orang maunya menang sendiri. Debat sengit di balai desa membuat gerah siapa pun
yang terlibat. Aku mundur beberapa langkah, menuju teras, mendinginkan kepalaku
agar tak ikut-ikutan panas. Kulihat arlojiku. Jarum pendeknya tepat menghujam
angka sebelas. Itu artinya,
tak lama lagi akan ada sesuatu yang terjadi, tepat satu jam lagi. Benarkah
begitu?
Halaman balai yang luas memantulkan cahaya silau
dari lampu besar di pinggir jalan. Tanah yang berada tak jauh dari tempatku
berpijak, kini basah oleh siraman hujan yang sejak tadi sore turun. Mendadak
aku menjadi sedikit tenang. Hujan-hujan begini, siapa pula yang mau berdiri di
tempat itu, pikirku. Walau nyatanya musim hujan akan berakhir tak lama lagi.
"Kurasa Budi tahu, sedikitnya hal-hal paling
kecil," ucap seseorang, terdengar begitu jelas menyebut-nyebut namaku. Aku
balik badan, kembali ke dalam, mencari tahu siapa yang menarikku dalam
perdebatan.
"Ini dia orangnya. He, katakan ke kami, apa
yang kau tahu!" perintah Gito tanpa basa-basi. Telunjuknya mengarah tepat
ke wajahku. Jarak kami tak terlalu jauh.
Aku bisu, tak paham maksudnya. Bagaimana ia
menilaiku tahu? Sedang aku sendiri sama seperti dia dan teman-temannya;
sama-sama muda, sama-sama lugu!
"Aku ndak tahu soal ini!" jawabku
langsung.
Kutatap mata Gito yang terlihat seperti mau
mengajakku berkelahi.
"Ya, dia ndak tahu apa-apa," sahut
Paman membelaku.
"Tapi Budi 'kan anak angkatmu. Kau kepala
kampung sini! Sudah tentu dia tahu seluk-beluk pembawa keranda. Atau,
jangan-jangan kalian sekeluarga bersekongkol, ya! Kalian yang punya pesugihan
itu? Iya?!"
Mendengar tuduhan Yudi, Paman langsung berdiri dan
hendak meninju mulut pemuda itu. Orang-orang di sekitar mereka langsung menarik
keduanya. Aku masih berdiri di tempatku. Semua mata kini beralih padaku. Aku
bergetar, terdesak di antara dua kubu yang bertentangan. Mereka seolah menuntut
penjelasan dari saksi yang buta.
"Aku benar ndak tahu apa-apa. Bahkan
setiap kali korban berjatuhan, aku masih diliputi pertanyaan; siapa pembawa
keranda, apa yang membuatnya datang, serta bagaimana mereka mati olehnya. Pak
Lik ndak pernah mau ngasih tahu," terangku penuh rasa takut.
Kutatap ujung kakiku. Tanpa sadar ia bergeser dengan sendirinya, menjauh dari
tempat Paman ditenangkan.
Seketika balai menjadi sepi. Orang-orang saling
berpandangan, geleng-geleng kepala, sebagian ada yang mengangguk-angguk takzim.
Hujan deras di luar berangsur mereda, berganti embusan angin yang mendesak
masuk, meliuk-liuk di sela kaki para penonton, mendinginkan betisku yang kurus.
Paman menatapku tajam. Tapi belum sempat ia mendampratku, seseorang menyela.
"Tapi, kenapa kalian menaruh sajen,
membaca mantra-mantra, atau kadang tidur di pertigaan itu selama musim
kemarau?"
"Karena kami tak ingin ada lagi korban. Cukup
sampai di situ siapa pun yang berdiri di pertigaan mati," sahut Paman
dengan dada naik-turun. Beliau seperti menahan amarah padaku, menundanya sampai
saat kami tiba di rumah. Mungkin malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi
kami. Nasihat-nasihat Paman tak pernah ringkas.
Kami sekeluarga, bersama beberapa kerabat dekat,
memang selalu melakukan ritual rutin tahunan di pertigaan itu; menginap
beberapa malam demi menaklukkan kutukan yang berlangsung selama hampir empat
dasawarsa.
Tapi, meski begitu, aku tak mengerti makna dari
tiap tahapan yang kulalui; membakar dupa, menyembelih dua ekor ayam, menebar
kelopak cempaka, melaburi jalan dengan kemenyan, dan tidur berselimut
sarung beralas tanah! Aku bahkan tak sempat berpikir; apa hulu-hilir tradisi
ini, jika mayat masih terus bergelimpangan, sementara musim bergulir begitu
panjang?
"Nah! Lihat sendiri, 'kan? Keluarga ini
sungguh bodoh! Mana bukti ritual kalian? Sukses, ndak? Yang ada justru
kematian demi kematian. Tahun ini, empat orang mati, termasuk Marjuki. Ini tak
lebih dari ulah pendosa! Lihatlah, Sarmawi mana pernah pergi ke masjid?!"
celoteh San kembali melangit.
Kali ini Paman enggan menahan diri. Ia
meronta-ronta, ingin menerjang San yang tak kenal sungkan menatap matanya yang
gelap dan dalam. Paman tak bisa menangkis ocehan pemuda itu, karena memang tak
pernah ada bukti keberhasilan ritual rutin. Pertigaan itu masih menelan korban.
Dan ia juga tak pernah ke masjid. Jangankan ke masjid, wudhu pun tak pernah.
Meski berbadan kurus, pamanku tak segan bila harus berkelahi dengan pemuda
bertubuh kekar.
"Ayo, sini. Maju kalau berani!" tantang
Paman, menangkis keras-keras tangan Mul yang menahannya. Hansip itu
terjengkang. Beberapa warga membantunya berdiri. Dan dengan segera perkelahian
pun tak terelakkan.
Suasana balai jadi kacau, ketika para sesepuh di
pihak Paman ikut menyerang kelompok pemuda yang juga mulai meninggalkan kursi
mereka. Situasi tak terkendali. Sepuluh orang hansip dibuat kewalahan oleh
tawuran ini. Jumlah mereka kalah besar. Betapa tidak? Tiga puluh lebih manusia
saling adu jotos dan aku berada di tengah-tengah mereka.
Dua-tiga kali tinju mendarat di mulutku,
menerbitkan rasa asin dan nyeri. Aku merunduk, jongkok, lalu pelan-pelan
merangkak menjauhi kerusuhan. Kuludahkan sesuatu dari dalam mulut ke atas
telapak tanganku. Sial, satu gigi seriku sempal!
Aku baru bisa berdiri ketika sampai di ambang
pintu. Orang-orang yang sejak awal hanya jadi penonton, kini ikut meramaikan,
ikut melontar tinju bahkan sesekali tendangan. Aku tahu sebagian dari
orang-orang ini pernah kehilangan anggota keluarga mereka akibat pembawa
keranda itu.
Putus asa, aku hanya bisa berteriak, mencoba
meredam emosi yang tumpah berceceran. Satu hal langsung terlintas di benakku.
Selama ini, Mul lolos dari maut sang keranda. Entah sedang beruntung atau
memang dia memiliki sesuatu yang misteri. Aku tak peduli. Aku langsung
meneriakkan namanya.
Penuturanku menjadikan adegan rusuh itu memelan,
beku. Aku bagai mendapati lukisan perang di depan mata. Segera kubuka
pembicaraan mengenai malam-malam terakhir yang selalu kualami; malam di musim
hujan kali ini saja. Aku sering mendengar Mul melewati tempat itu tanpa
terbunuh apa pun. Padahal, tak jarang, setelah ia selamat, seseorang yang lain
ditemukan mati besok paginya.
Mul dengan tenang—dan sesekali melirik ke arahku—memberi
penjelasan logis ke semua orang, bahwa ia selamat karena tidak
"berdiri" di tempat itu. Bukankah peraturannya telah jelas; barangsiapa
yang berdiri di pertigaan melewati tengah malam, maka dia akan mati?
"Aku terus jalan, ndak berhenti. Jadi
itulah yang membuatku selamat," katanya santai, dengan muka yang kadang
terkesan polos.
Alasan yang masuk akal. Orang-orang percaya dan
mulai menuduhku yang tidak-tidak, menuduhku penjilat, mengira aku melindungi Paman yang notabene kepala
kampung, punya kuasa di atas segala keperluan warga, punya kehendak meneruskan
tradisi yang menurut kelompok pemuda adalah perbuatan gila.
"Kalau gitu, kita habisi saja mereka
berdua!"
"Anak istri Budi?"
"Kita biarkan hidup. Biar mereka belajar.
Syukur-syukur kalau mau tobat!"
Maka, pada akhirnya, para sesepuh kalah oleh
kelompok pemuda didikan kota. Mereka memandang segalanya secara logis, sesuai
dengan fakta dan ilmu yang mereka gali di bangku-bangku perkuliahan. Aku, yang
masih bisa dibilang muda, justru berada di arus yang salah, walau aku sendiri
tidak bermaksud memihak siapa pun. Aku hanya sedang bingung, apa yang sesungguhnya
terjadi? Siapa pembawa keranda itu?
Yang berikutnya terjadi; aku tak bisa berpikir.
Aku berada di tengah kegelapan, tak bisa melihat kecuali mendengar. Suara-suara
mereka terus berloncatan dalam kepalaku yang berat. Kadang mereka
menyebut-nyebut soal batu nisan. Atau, kadang kebun belakang rumah. Aku tak
peduli apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Aku hanya ingin, setidaknya,
tahu apa yang menjadi penyebab semua ini.
"Mereka lancang. Akibat San ndak bisa menjaga mulut, semua jadi
berantakan," bisik pamanku.
Kami kini berada dalam satu tempat;
berdesak-desakan dengan beberapa orang sesepuh. Kulit mereka terasa lunak.
Keringat yang menggenang di balik lipatan permukaan tubuh itu, rasanya meresap
dengan baik melalui pori-poriku yang kencang. Aku jijik tapi tak bisa
menghindar.
"Bapakmu sudah lama menunggu. Lebih
baik, siapkan dulu bajumu. Mandi yang bersih. Sisir rambutmu yang rapi. Setelah
itu, kau bisa menuntasi kerinduannya," tambahnya.
"Maksud Pak Lik?"
Belum sempat kudengar jawabnya, tahu-tahu aku
sudah berada di halaman sebuah rumah bergaya Victoria. Aku kaget. Kapan
seseorang membawaku kemari?
Tiba-tiba, dari balik pintu besar itu, muncul
beberapa orang gadis berpakaian adat Jawa; cantik-cantik dan anggun, khas gadis
desa masa lampau yang tak sekali pun terjamah, dipingit di tempat terbaik. Bahkan Ratih yang menurutku paling
memesona dibanding wanita mana pun, kini seolah lenyap dari pikiranku. Aku
terlena. Gadis-gadis itu tanpa meminta izin segera menarikku ke dalam,
membawaku ke kamar, memberiku sehelai handuk besar, dan menyuruhku mandi.
"Kamar mandinya di sebelah
sana," ucap salah
satunya. Halus suaranya, lembut tatapannya. Aku jadi berpikir ingin menikah
lagi, tapi tak tahu kapan.
Usai mandi, mereka memberiku pakaian ganti, berupa
satu stel tuxedo, lengkap dengan dasi, sepatu, dan minyak rambutnya. Tak butuh waktu lama,
mereka mendadaniku dengan cekatan, rapi, dan nyaris tanpa sedikit pun membuang
senyuman.
Aku sedih saat gadis-gadis itu pergi. Tapi dua
bayangan besar segera menutupnya, menghampiriku dengan semerbak aroma kesturi
yang tersebar lewat kibasan jubah mereka.
Bapak dan Ibu hadir dalam keadaan yang sungguh
berbeda, di luar akal sehat. Setahuku mereka dulu petani, miskin, punya banyak
utang—begitulah yang kudengar dari Paman. Tapi kini, lihatlah, dua pasangan langgeng
itu berjalan beriringan dengan belasan pengawal di sekeliling mereka; hadir
bak raja dan ratu!
Kami mengobrol sejenak, melepas rindu, menanyakan
kabar masing-masing. Barulah setelah itu Bapak menyinggung soal keranda.
Dikatakannya padaku bahwa pembawa keranda itu tak lain adalah dirinya sendiri.
Aku tak paham. Beliau lantas menepuk pundakku.
"Kita perlu berubah, Nak. Ndak bisa kalau terus-terusan
begitu."
"Maksud Bapak?"
"Kita hanya bisa hidup dari
orang-orang bodoh itu. Lihatlah, bukankah mereka bodoh? Seandainya mereka ndak berdiri di pertigaan itu, mereka
pasti selamat. Tapi, nyatanya, mereka yang berniat busuk selalu mati di sini.
Musim hujan itu musim yang penuh berkah, Nak. Memangnya kau lupa? Guru ngajimu
pernah bilang gitu, 'kan?"
Sungguh, aku belum paham. Tak secuil pun kalimat
Bapak masuk ke otakku.
"Apa? Otak? Kau kira kau punya otak?
Di tempat ini ndak ada
yang namanya otak, Nak! Hahaha!"
"Lho? Bapak kok?"
"Ya, aku bisa membaca pikiranmu.
Sudahlah, jangan pusing memikirkan itu. Sekarang, saatnya Bapak mewarisi ilmu
ini padamu. Biar kamu yang jadi raja setelah ini, jadi pembawa keranda
itu."
Aku manut saja. Tapi, istriku yang sedang
hamil, juga anakku?
"Tenang. Bapak sudah punya gantinya.
Kalau nanti kamu rindu, kamu bisa membujuk mereka ke sini. Ya, toh?"
Aku manut saja.
Sejak hari itu, aku tak lagi perlu bertanya-tanya
soal apa, siapa, dan mengapa pembawa keranda itu hadir dan menjadikan orang-orang
serakah mati sia-sia. Marjuki dan yang lain—yang mati menggiriskan selama
berpuluh tahun lamanya—tak lebih dari kumpulan orang-orang rakus pengejar
jabatan. Dan pembawa keranda itu, datang menjemput mereka setelah tawar-menawar
dan jabat tangan terlaksana. Mereka sama-sama ikhlas meski keduanya benar-benar
mampus di mata para pemuda kota.
Bapak dan Paman sengaja membawaku kemari hanya
karena alasan keturunan. Mereka tahu aku enggan menjadi pembawa keranda,
seperti apa yang selalu mereka harapkan selama ini. Tapi, dengan terpaksa, aku
mengikuti kemauan dua orang yang membesarkanku itu. Sebab, nyatanya, semua yang
kumakan selama ini adalah darah dari korban-korban yang bergelimpangan.
Kurasa Mul benar. Seharusnya semua orang berjalan,
bukan berdiri. Tapi paling tidak Ratih dan anak-anak tidak ikut denganku. Moga
mereka sehat selalu. [ ]
~Pinggiran Sawah, 19-20 April 2014.
Untuk kita yang bertanya-tanya pada kebobrokan sistem.
eh tu lalat ya, kirain nyata hinggap di layar, mau kepukul tadi. :D
ReplyDeletewaw, tulisannya bisa mempengaruhi fisikologis pembaca, keren. :)
Iya lalat bohongan, hehe. Kritiknya? Barangkali ada sesuatu yang kurang pas atau aneh dalam ceroen ini? :)
DeleteNggak ada sisi humornya..
ReplyDeleteEmang genre realisme magis, bukan humor. :D
DeleteKeren. Jadi miris aku
ReplyDelete