Skip to main content

[Cerpen]: "Pembawa Keranda" karya Ken Hanggara



Sudah menjadi semacam penyakit di kampungku, bahwa pada malam-malam tertentu di musim hujan, seseorang datang membawa keranda mayat. Dengan keranda itu ia akan mencuri jiwa siapa pun yang berdiri di pertigaan kampung lewat tengah malam. Tak peduli sebersih atau sekotor apa jiwa itu, yang jelas, sepengetahuanku, keranda itu tidak pernah pilih-pilih. Konon, setiap kejadian berkait soal itu sudah terencana jauh sebelumnya.

Aku bingung, mengapa tiba-tiba urusan "berdiri" menjadi begitu runyam? Walau sedari kecil sudah sering mendengar orang tua-orang tua mengingatkanku, aku masih tak paham. Apakah seseorang itu penculik, hantu, siluman, atau bahkan malaikat pencabut nyawa, aku tak tahu. Semua serba gelap di mataku.
Pagi ini, lagi-lagi warga menemukan seseorang berbaring di sudut pertigaan. Marjuki mati dengan kondisi mengenaskan. Wajahnya membiru, dengan mata melotot bak ditarik keras-keras dari luar. Jika melihat bibirnya, aku teringat pada sesuatu di kebun belakang. Tak tahu apa yang membuat mulut lelaki itu mekar berlendir-lendir bak batang pisang yang baru saja ditebang. Seisi kampung geger. Tak ditemukan bukti jikalau memang seorang pembunuh telah beraksi. Segeralah kisah gaib menyoal pembawa keranda kembali jadi perbincangan hangat di mana-mana.
Apa mungkin orang-orang zaman dulu berbuat dosa besar, hingga kini berbuahlah fenomena ganjil ini? Sayangnya, aku selalu gagal bila mencoba mencari tahu. Pamanku, yang juga salah seorang sesepuh, tak pernah mau berbagi. Padahal aku tahu, tak sejengkal pun yang tidak ia tahu soal ini. Ia tahu semuanya.
"Kelak kau tahu sendiri penyebabnya. Ini sudah menjadi kutukan, turun-temurun. Kualat kalau sampai Pak Lik cerita semuanya ke kamu. Bahkan mbahmu dulu pun juga sama menjengkelkannya seperti aku. Begitupun mbah buyut dan canggah-mu. Mereka tak ingin sial hanya karena mengalah oleh kekerasan kepala penerusnya!"
"Tapi aku sudah kepala tiga. Sebentar lagi anakku yang kedua mau brojol. Masa iya Pak Lik nganggep aku masih ingusan? Cerita dikit sajalah, Lik, ndak apa. Yang penting aku jadi tahu penyebab pastinya. Kalau tahu 'kan, risikoku diambil pembawa keranda itu jadi kecil," rayuku panjang lebar.
Tapi Paman masih teguh pada pendirian, tak mau berucap sepatah pun soal ini. Bila sudah begitu, aku cuma bisa diam. Membantah untuk kedua kali pantang bagiku. Jadilah, dengan memendam kecewa, kenyataan harus kutelan bulat-bulat. Tidak ada yang mau memberiku informasi akurat mengenai ini. Bapak ibuku sudah mati sejak aku kecil. Pamankulah yang merawatku. Aku menjadi tanggung jawabnya. Dan kini, akulah yang harus di-"lindungi"-nya.
Aku tak paham. Otakku serasa mau pecah memikirkan ini. Kaitan antara keranda misterius, kutukan, juga keturunan itu apa? Bagiku, seandainya semua itu berupa tiga helai benang berwarna lain, tidak akan bisa disatukan. Hasilnya tetap akan semrawut, jauh lebih rumit ketimbang isi otakku! Menurutku, alasan perlindungan yang Paman utarakan sungguh tak logis. Kalau benar, kenapa malah merahasiakannya?
Maka, di luar tanda tanya yang terus menggumuli, kadang ada pula rasa takut. Diam-diam ketakutan itu menyelinap masuk di balik selimut, tepat tengah malam, pukul dua belas 'teng'. Aku selalu bangkit, jalan mondar-mandir sepanjang mendengar ketukan bambu hansip Mul yang tengah berjaga di seputaran kampung. Dalam hati aku bertanya, apa dia ndak takut sendirian jalan ke sana kemari, yang sudah pasti akan melintasi satu-satunya pertigaan itu?
Biasanya aku jadi lebih tenang jika Mul terdengar agak sedikit keras memukul kentongan-nya. Itulah tanda bahwa ia telah "selamat" melalui sesuatu yang menurutku berbahaya. Itulah tanda bahwa ia sedang melintasi depan rumahku tanpa ada yang menculiknya. Aku akan kembali tidur jika Ratih, istriku, menyadari suaminya sedang tidak berada di samping. Aku tak mau membuatnya takut. Jadi kusimpan saja segala kebingunganku di depannya.
Derasnya pengaruh modernisasi menjadikan cerita ini kadang terdengar lucu, menyedihkan, atau kadang pula gila. Pemuda-pemuda yang pernah atau tengah meninggalkan kampung—dan tahu kehidupan kota dengan gemerlapnya, merasa bahwa kisah mistis ini hanya lelucon semata.
Kenyataan ini pelan-pelan menimbulkan pertentangan, terlebih saat sebagian besar pemuda itu pulang, menengok keadaan orangtua di desa. Rapat bersama jadi sering diadakan, demi mengamankan kampung seperti sedia kala. Gara-garanya kematian Marjuki memunculkan protes keras dari kelompok pemuda. Usia mereka beberapa tahun di bawahku, tapi lebih berani mengajukan keberatannya. Tidak seperti aku, yang cuma bisa diam dan diam di bawah tekanan Paman.
Jadilah—oleh karena silang pendapat dianggap melampaui batas; dianggap kurang ajar lebih tepatnya—rapat-rapat itu penuh dengan lontaran emosi para sesepuh yang menjunjung tinggi kepercayaan. Orang-orang renta ini berpikir betapa kurang ajarnya pemuda sekarang. Berani menentang tradisi, tidak menghormati sejarah, dan melupakan nilai luhur yang dianut para pendahulu. Sedang yang muda-muda tak mau mengalah dan teguh pada pendirian.
Oh, betapa aku semakin tak menentu. Kekacauan yang timbul setelah kematian Marjuki, membuat para perantau yang kembali dari kota menuntut penjelasan. Mereka bosan dengan kematian yang terus terjadi, hingga lebih senang jika melibatkan polisi. Sedangkan para sesepuh berpikir semua itu tak perlu.
"Ndak ada satu pun aparat yang bisa menangkapnya, andaipun benar mereka bisa mencium jejaknya!" begitu bantah pamanku.
"Na? Kalau gitu, berarti benar apa kata kami. Di kampung kita ini pasti ada yang punya pesugihan! Ya, ndak salah lagi. Pembawa keranda itu pasti semacam tuyul, babi ngepet, jengglot, palasik, atau semacamnya. Kalau dibiarkan terus seperti ini, bisa-bisa kita sendiri yang habis! Kalau kita semua mati, siapa yang akan menafkahi anak istrimu? Ha? Ayo, siapa di antara kalian yang melakukannya? Mengakulah! Kami ndak akan memperkarakan ke meja hijau, asal ndak lagi ada korban!" sahut San berapi-api. Dialah pemuda yang paling vokal.
Kemudian, di antara bisik-bisik warga lain yang menyaksikan—termasuk aku di dalamnya, terdengar satu suara yang tak kalah menggemparkan: "Apa lebih baik kita hancurkan saja pertigaan itu? Ha? Kita ganti saja dengan jalan yang lurus!"
"Ndak, ndak mungkin. Pertigaan itu satu-satunya akses menuju kota. Kampung kita dikelilingi hutan dan lereng gunung. Satu-satunya jalan ya cuma itu. Dan pula, pasar kita juga berada di ujung jalan lainnya. Gimana bisa lurus, lha wong posisi ketiganya saja bersingkuran?!" sela si ketua RT.
Setelah itu, keributan kembali meninggi. Semua orang maunya menang sendiri. Debat sengit di balai desa membuat gerah siapa pun yang terlibat. Aku mundur beberapa langkah, menuju teras, mendinginkan kepalaku agar tak ikut-ikutan panas. Kulihat arlojiku. Jarum pendeknya tepat menghujam angka sebelas. Itu artinya, tak lama lagi akan ada sesuatu yang terjadi, tepat satu jam lagi. Benarkah begitu?
Halaman balai yang luas memantulkan cahaya silau dari lampu besar di pinggir jalan. Tanah yang berada tak jauh dari tempatku berpijak, kini basah oleh siraman hujan yang sejak tadi sore turun. Mendadak aku menjadi sedikit tenang. Hujan-hujan begini, siapa pula yang mau berdiri di tempat itu, pikirku. Walau nyatanya musim hujan akan berakhir tak lama lagi.
"Kurasa Budi tahu, sedikitnya hal-hal paling kecil," ucap seseorang, terdengar begitu jelas menyebut-nyebut namaku. Aku balik badan, kembali ke dalam, mencari tahu siapa yang menarikku dalam perdebatan.
"Ini dia orangnya. He, katakan ke kami, apa yang kau tahu!" perintah Gito tanpa basa-basi. Telunjuknya mengarah tepat ke wajahku. Jarak kami tak terlalu jauh.
Aku bisu, tak paham maksudnya. Bagaimana ia menilaiku tahu? Sedang aku sendiri sama seperti dia dan teman-temannya; sama-sama muda, sama-sama lugu!
"Aku ndak tahu soal ini!" jawabku langsung.
Kutatap mata Gito yang terlihat seperti mau mengajakku berkelahi.
"Ya, dia ndak tahu apa-apa," sahut Paman membelaku.
"Tapi Budi 'kan anak angkatmu. Kau kepala kampung sini! Sudah tentu dia tahu seluk-beluk pembawa keranda. Atau, jangan-jangan kalian sekeluarga bersekongkol, ya! Kalian yang punya pesugihan itu? Iya?!"
Mendengar tuduhan Yudi, Paman langsung berdiri dan hendak meninju mulut pemuda itu. Orang-orang di sekitar mereka langsung menarik keduanya. Aku masih berdiri di tempatku. Semua mata kini beralih padaku. Aku bergetar, terdesak di antara dua kubu yang bertentangan. Mereka seolah menuntut penjelasan dari saksi yang buta.
"Aku benar ndak tahu apa-apa. Bahkan setiap kali korban berjatuhan, aku masih diliputi pertanyaan; siapa pembawa keranda, apa yang membuatnya datang, serta bagaimana mereka mati olehnya. Pak Lik ndak pernah mau ngasih tahu," terangku penuh rasa takut. Kutatap ujung kakiku. Tanpa sadar ia bergeser dengan sendirinya, menjauh dari tempat Paman ditenangkan.
Seketika balai menjadi sepi. Orang-orang saling berpandangan, geleng-geleng kepala, sebagian ada yang mengangguk-angguk takzim. Hujan deras di luar berangsur mereda, berganti embusan angin yang mendesak masuk, meliuk-liuk di sela kaki para penonton, mendinginkan betisku yang kurus. Paman menatapku tajam. Tapi belum sempat ia mendampratku, seseorang menyela.
"Tapi, kenapa kalian menaruh sajen, membaca mantra-mantra, atau kadang tidur di pertigaan itu selama musim kemarau?"
"Karena kami tak ingin ada lagi korban. Cukup sampai di situ siapa pun yang berdiri di pertigaan mati," sahut Paman dengan dada naik-turun. Beliau seperti menahan amarah padaku, menundanya sampai saat kami tiba di rumah. Mungkin malam ini akan menjadi malam yang panjang bagi kami. Nasihat-nasihat Paman tak pernah ringkas.
Kami sekeluarga, bersama beberapa kerabat dekat, memang selalu melakukan ritual rutin tahunan di pertigaan itu; menginap beberapa malam demi menaklukkan kutukan yang berlangsung selama hampir empat dasawarsa.
Tapi, meski begitu, aku tak mengerti makna dari tiap tahapan yang kulalui; membakar dupa, menyembelih dua ekor ayam, menebar kelopak cempaka, melaburi jalan dengan kemenyan, dan tidur berselimut sarung beralas tanah! Aku bahkan tak sempat berpikir; apa hulu-hilir tradisi ini, jika mayat masih terus bergelimpangan, sementara musim bergulir begitu panjang?
"Nah! Lihat sendiri, 'kan? Keluarga ini sungguh bodoh! Mana bukti ritual kalian? Sukses, ndak? Yang ada justru kematian demi kematian. Tahun ini, empat orang mati, termasuk Marjuki. Ini tak lebih dari ulah pendosa! Lihatlah, Sarmawi mana pernah pergi ke masjid?!" celoteh San kembali melangit.
Kali ini Paman enggan menahan diri. Ia meronta-ronta, ingin menerjang San yang tak kenal sungkan menatap matanya yang gelap dan dalam. Paman tak bisa menangkis ocehan pemuda itu, karena memang tak pernah ada bukti keberhasilan ritual rutin. Pertigaan itu masih menelan korban. Dan ia juga tak pernah ke masjid. Jangankan ke masjid, wudhu pun tak pernah. Meski berbadan kurus, pamanku tak segan bila harus berkelahi dengan pemuda bertubuh kekar.
"Ayo, sini. Maju kalau berani!" tantang Paman, menangkis keras-keras tangan Mul yang menahannya. Hansip itu terjengkang. Beberapa warga membantunya berdiri. Dan dengan segera perkelahian pun tak terelakkan.
Suasana balai jadi kacau, ketika para sesepuh di pihak Paman ikut menyerang kelompok pemuda yang juga mulai meninggalkan kursi mereka. Situasi tak terkendali. Sepuluh orang hansip dibuat kewalahan oleh tawuran ini. Jumlah mereka kalah besar. Betapa tidak? Tiga puluh lebih manusia saling adu jotos dan aku berada di tengah-tengah mereka.
Dua-tiga kali tinju mendarat di mulutku, menerbitkan rasa asin dan nyeri. Aku merunduk, jongkok, lalu pelan-pelan merangkak menjauhi kerusuhan. Kuludahkan sesuatu dari dalam mulut ke atas telapak tanganku. Sial, satu gigi seriku sempal!
Aku baru bisa berdiri ketika sampai di ambang pintu. Orang-orang yang sejak awal hanya jadi penonton, kini ikut meramaikan, ikut melontar tinju bahkan sesekali tendangan. Aku tahu sebagian dari orang-orang ini pernah kehilangan anggota keluarga mereka akibat pembawa keranda itu.
Putus asa, aku hanya bisa berteriak, mencoba meredam emosi yang tumpah berceceran. Satu hal langsung terlintas di benakku. Selama ini, Mul lolos dari maut sang keranda. Entah sedang beruntung atau memang dia memiliki sesuatu yang misteri. Aku tak peduli. Aku langsung meneriakkan namanya.
Penuturanku menjadikan adegan rusuh itu memelan, beku. Aku bagai mendapati lukisan perang di depan mata. Segera kubuka pembicaraan mengenai malam-malam terakhir yang selalu kualami; malam di musim hujan kali ini saja. Aku sering mendengar Mul melewati tempat itu tanpa terbunuh apa pun. Padahal, tak jarang, setelah ia selamat, seseorang yang lain ditemukan mati besok paginya.
Mul dengan tenang—dan sesekali melirik ke arahku—memberi penjelasan logis ke semua orang, bahwa ia selamat karena tidak "berdiri" di tempat itu. Bukankah peraturannya telah jelas; barangsiapa yang berdiri di pertigaan melewati tengah malam, maka dia akan mati?
"Aku terus jalan, ndak berhenti. Jadi itulah yang membuatku selamat," katanya santai, dengan muka yang kadang terkesan polos.
Alasan yang masuk akal. Orang-orang percaya dan mulai menuduhku yang tidak-tidak, menuduhku penjilat, mengira aku melindungi Paman yang notabene kepala kampung, punya kuasa di atas segala keperluan warga, punya kehendak meneruskan tradisi yang menurut kelompok pemuda adalah perbuatan gila.
"Kalau gitu, kita habisi saja mereka berdua!"
"Anak istri Budi?"
"Kita biarkan hidup. Biar mereka belajar. Syukur-syukur kalau mau tobat!"
Maka, pada akhirnya, para sesepuh kalah oleh kelompok pemuda didikan kota. Mereka memandang segalanya secara logis, sesuai dengan fakta dan ilmu yang mereka gali di bangku-bangku perkuliahan. Aku, yang masih bisa dibilang muda, justru berada di arus yang salah, walau aku sendiri tidak bermaksud memihak siapa pun. Aku hanya sedang bingung, apa yang sesungguhnya terjadi? Siapa pembawa keranda itu?
Yang berikutnya terjadi; aku tak bisa berpikir. Aku berada di tengah kegelapan, tak bisa melihat kecuali mendengar. Suara-suara mereka terus berloncatan dalam kepalaku yang berat. Kadang mereka menyebut-nyebut soal batu nisan. Atau, kadang kebun belakang rumah. Aku tak peduli apa yang akan mereka lakukan selanjutnya. Aku hanya ingin, setidaknya, tahu apa yang menjadi penyebab semua ini.
"Mereka lancang. Akibat San ndak bisa menjaga mulut, semua jadi berantakan," bisik pamanku.
Kami kini berada dalam satu tempat; berdesak-desakan dengan beberapa orang sesepuh. Kulit mereka terasa lunak. Keringat yang menggenang di balik lipatan permukaan tubuh itu, rasanya meresap dengan baik melalui pori-poriku yang kencang. Aku jijik tapi tak bisa menghindar.
"Bapakmu sudah lama menunggu. Lebih baik, siapkan dulu bajumu. Mandi yang bersih. Sisir rambutmu yang rapi. Setelah itu, kau bisa menuntasi kerinduannya," tambahnya.
"Maksud Pak Lik?"
Belum sempat kudengar jawabnya, tahu-tahu aku sudah berada di halaman sebuah rumah bergaya Victoria. Aku kaget. Kapan seseorang membawaku kemari?
Tiba-tiba, dari balik pintu besar itu, muncul beberapa orang gadis berpakaian adat Jawa; cantik-cantik dan anggun, khas gadis desa masa lampau yang tak sekali pun terjamah, dipingit di tempat terbaik. Bahkan Ratih yang menurutku paling memesona dibanding wanita mana pun, kini seolah lenyap dari pikiranku. Aku terlena. Gadis-gadis itu tanpa meminta izin segera menarikku ke dalam, membawaku ke kamar, memberiku sehelai handuk besar, dan menyuruhku mandi.
"Kamar mandinya di sebelah sana," ucap salah satunya. Halus suaranya, lembut tatapannya. Aku jadi berpikir ingin menikah lagi, tapi tak tahu kapan.
Usai mandi, mereka memberiku pakaian ganti, berupa satu stel tuxedo, lengkap dengan dasi, sepatu, dan minyak rambutnya. Tak butuh waktu lama, mereka mendadaniku dengan cekatan, rapi, dan nyaris tanpa sedikit pun membuang senyuman.
Aku sedih saat gadis-gadis itu pergi. Tapi dua bayangan besar segera menutupnya, menghampiriku dengan semerbak aroma kesturi yang tersebar lewat kibasan jubah mereka.
Bapak dan Ibu hadir dalam keadaan yang sungguh berbeda, di luar akal sehat. Setahuku mereka dulu petani, miskin, punya banyak utang—begitulah yang kudengar dari Paman. Tapi kini, lihatlah, dua pasangan langgeng itu berjalan beriringan dengan belasan pengawal di sekeliling mereka; hadir bak raja dan ratu!
Kami mengobrol sejenak, melepas rindu, menanyakan kabar masing-masing. Barulah setelah itu Bapak menyinggung soal keranda. Dikatakannya padaku bahwa pembawa keranda itu tak lain adalah dirinya sendiri. Aku tak paham. Beliau lantas menepuk pundakku.
"Kita perlu berubah, Nak. Ndak bisa kalau terus-terusan begitu."
"Maksud Bapak?"
"Kita hanya bisa hidup dari orang-orang bodoh itu. Lihatlah, bukankah mereka bodoh? Seandainya mereka ndak berdiri di pertigaan itu, mereka pasti selamat. Tapi, nyatanya, mereka yang berniat busuk selalu mati di sini. Musim hujan itu musim yang penuh berkah, Nak. Memangnya kau lupa? Guru ngajimu pernah bilang gitu, 'kan?"
Sungguh, aku belum paham. Tak secuil pun kalimat Bapak masuk ke otakku.
"Apa? Otak? Kau kira kau punya otak? Di tempat ini ndak ada yang namanya otak, Nak! Hahaha!"
"Lho? Bapak kok?"
"Ya, aku bisa membaca pikiranmu. Sudahlah, jangan pusing memikirkan itu. Sekarang, saatnya Bapak mewarisi ilmu ini padamu. Biar kamu yang jadi raja setelah ini, jadi pembawa keranda itu."
Aku manut saja. Tapi, istriku yang sedang hamil, juga anakku?
"Tenang. Bapak sudah punya gantinya. Kalau nanti kamu rindu, kamu bisa membujuk mereka ke sini. Ya, toh?"
Aku manut saja.
Sejak hari itu, aku tak lagi perlu bertanya-tanya soal apa, siapa, dan mengapa pembawa keranda itu hadir dan menjadikan orang-orang serakah mati sia-sia. Marjuki dan yang lain—yang mati menggiriskan selama berpuluh tahun lamanya—tak lebih dari kumpulan orang-orang rakus pengejar jabatan. Dan pembawa keranda itu, datang menjemput mereka setelah tawar-menawar dan jabat tangan terlaksana. Mereka sama-sama ikhlas meski keduanya benar-benar mampus di mata para pemuda kota.
Bapak dan Paman sengaja membawaku kemari hanya karena alasan keturunan. Mereka tahu aku enggan menjadi pembawa keranda, seperti apa yang selalu mereka harapkan selama ini. Tapi, dengan terpaksa, aku mengikuti kemauan dua orang yang membesarkanku itu. Sebab, nyatanya, semua yang kumakan selama ini adalah darah dari korban-korban yang bergelimpangan.
Kurasa Mul benar. Seharusnya semua orang berjalan, bukan berdiri. Tapi paling tidak Ratih dan anak-anak tidak ikut denganku. Moga mereka sehat selalu. [ ]

~Pinggiran Sawah, 19-20 April 2014.
Untuk kita yang bertanya-tanya pada kebobrokan sistem.

Comments

  1. eh tu lalat ya, kirain nyata hinggap di layar, mau kepukul tadi. :D
    waw, tulisannya bisa mempengaruhi fisikologis pembaca, keren. :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya lalat bohongan, hehe. Kritiknya? Barangkali ada sesuatu yang kurang pas atau aneh dalam ceroen ini? :)

      Delete
  2. Replies
    1. Emang genre realisme magis, bukan humor. :D

      Delete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri