Oleh: Ken Hanggara*
Sudah sejak lama aku melihatnya bak sebutir salju
di musim kemarau. Dialah sosok pemimpin yang amat kukagumi, pemimpin kami.
Segala tugas yang diamanahkan padanya, dikerjakan dengan sebaik-baiknya.
Tentulah kenyataan ini membuatku senang. Selama ini, menurutku tugas pemimpin
merupakan satu hal yang sangat berat. Tak terbayang jika aku yang disuruh
menjadi pemimpin. Bisa-bisa aku tak tahan. Sebab mataku tak biasa melihat uang
dalam jumlah yang banyak.
Maka tak ada yang buruk di mata seorang kerdil
sepertiku, bahwa bagaimanapun bentuk dan rupa pemimpin kami, bagiku ia tetap
orang yang baik selama aku masih bisa makan dan tinggal di tempat yang teduh.
Aku memang tak pernah mengharap banyak. tapi
pemimpin kami selalu memberi lebih. Aku senang dan berterima kasih. Hormatku
selalu padanya. Tidak seperti teman-temanku yang selalu menyumpahi,
mencaki-maki, bahkan mengutuki pemimpin kami yang sudah bekerja dengan baik
itu. Katanya tak becuslah. Katanya lagi, cuma cari untunglah.
Aku tak mengerti jalan pikiran mereka. Anehnya,
teman-temanku pun tak mengerti jalan pikiranku. Kami berseberangan dalam hal
berprinsip. Jika biasanya kami selalu satu, maka untuk urusan yang satu ini,
sepertinya aku cuma sendiri. Itulah sebabnya kuajak anak dan istriku. Mereka
patuh padahal aku tahu ada rasa tak rela di mata istriku ketika kusuruh dia
untuk membela pemimpin kami. Kukatakan bahwa tak ada orang yang lebih hebat di
negeri ini selain pemimpin kami itu.
"Tapi aku tak suka, Yah," sela istriku
dengan wajah kaku. Kalimat itu bergulir di dinding rumah kami, berputar-putar
lalu membumbung bak asap yang menyesakkan rongga dada. Sejak hari itu,
segalanya terasa kian datar. Istriku lama-lama tak tahan dan terang-terangan
menentangku.
"Kalau terus-terusan begini, aku nggak
bisa, Kang!"
"Lha, terus maumu apa?"
"Aku lebih sejalan dengan teman-temanmu
itu," jawabnya kesal. Ia seperti telah menahan kekesalan itu di dalam hati
selama bertahun-tahun kami menikah. Dikeluarkanlah sebagian dari rasa kesalnya
itu pagi ini.
"Kalau gitu, lebih baik ceraikan aku
saja!" sambungnya tiba-tiba. Ini sungguh di luar dugaan. Maksud hati ingin
mengajaknya hidup damai dengan pemimpin, malah rumah tangga kami
terhuyung-huyung di ujung tanduk.
"Kamu itu bicara apa, Dik? Tidak ada kata
cerai, tidak ada kata berpisah. Kita tetap satu keluarga yang utuh, meski beda
keyakinan sekalipun."
"Tapi aku tak sanggup, Kang!" katanya
sebelum akhirnya masuk ke kamar, melipat seluruh pakaiannya. Aku mencegahnya.
Aku terus memohon padanya untuk berpikir waras. Namun ia sudah bulat tekad. Ia
sudah muak dengan pemimpin kami. Katanya orang itu hanya membawa petaka saja.
Aku tak mengerti mengapa hampir semua orang
berpikiran buruk pada pemimpin kami. Seburuk itukah dia? Istriku mengumbar
kalimat terakhirnya keras-keras. Menurutnya, pemimpin kami itu tak 'kan pernah
menyatu dengan manusia-manusia macam kami.
Usai membungkus seluruh pakaiannya, ia menyuruh
Cipluk, anak kami, untuk pergi ke kamar dan membereskan baju-bajunya, karena
sebentar lagi mereka akan pergi dari rumah ini. Cipluk senang mendengar
perintah ibunya dan menjalankannya dengan senang hati. Situasi yang tadinya
baik-baik saja, kini tiba-tiba berubah menjadi bencana. Istriku kembali memaksa
minta cerai.
"Cipluk akan kurawat. Aku tak mau anakku
ketularan goblok seperti bapaknya!" tambahnya. Ucapan itu membuatku kesal.
Namun tidaklah tepat bila kulampiaskan amarahku sekarang. Tidak ada satu pun
yang kumiliki selain mereka. Andaipun kami benar-benar berpisah, aku ingin
Cipluk tetap bersamaku.
Kubujuk Cipluk dengan memberinya permen berhadiah
mainan boneka kecil yang bisa bergerak-gerak. Ia menolak. Cipluk lebih memilih
tinggal bersama ibunya. Kubujuk lagi dengan menjanjikannya untuk membelikan
sepeda keranjang untuknya, jika nanti hari ulang tahun Cipluk tiba. Tapi ia
tetap tak mau. Cipluk ingin bersama ibunya. Kata Cipluk, ia sudah bisa
menentukan di pihak mana ia akan berdiri. Dilihatnya aku, ayah kandungnya,
telah salah besar.
"Cipluk gak suka sama pemimpin itu!"
ucapnya ketus.
Aku tersentak. Apakah ini ilusi? Cipluk yang masih
kecil bagaimana bisa mengerti tabiat pemimpin kami? Kucubit pipiku, sakit.
Berarti ini nyata. Istri dan anakku akan pergi meninggalkanku. Apa yang harus
kulakukan untuk mencegah mereka? Mengapa mereka begitu membenci pemimpin kami,
sampai rela mengorbankan cinta antara kami bertiga yang saling bertautan
menjadi hancur berkeping-keping tanpa sisa?
Aku benar-benar tak dapat menghentikan laju kaki
mereka ketika sampai di halaman rumah. Bahkan aku tak dapat membuat mereka
membatalkan niat untuk pergi ketika sebuah bus menepi, menyediakan waktu bagi
anak istriku agar bisa naik dan segera meninggalkanku.
Sepi merayap ketika kendaraan itu menjauh.
Kukatakan pada tetangga-tetanggaku, bahwa gara-gara merekalah, Cipluk dan ibunya
pergi. Gara-gara provokasi berdasar kebencian kepada bapak pemimpin kamilah,
Cipluk dan ibunya tidak mau lagi melihatku. Mendengar tuduhanku mereka tak
terima. Mereka menolak disalah-salahkan oleh kejadian hancurnya keluargaku.
Kata mereka, semua itu bukan urusan mereka.
"Setiap orang punya pilihan, termasuk istri
dan anakmu. Kami tak terima dibilang begitu. Kami tak ingin merusak rumah
tangga siapa pun. Kau sendiri 'kan yang merusaknya!" bantah mereka.
Aku kesal. Marahku memuncak. Beginikah balasan
yang teman-teman beri untukku, ketika kuluruskan pandangan negatif mereka pada
bapak pemimpin? Beginikah mereka memperlakukanku ketika kubela mati-matian
orang yang selama ini selalu kupercaya memegang amanah demi kesejahteraan kami
semua?
Kutinggalkan mereka dalam ocehan soal ternodanya
amanah oleh ulah-ulah salah yang sengaja dianggap benar oleh bapak pemimpin.
Juga ulah-ulah salah yang sengaja tidak dipedulikan. Setahuku bapak pemimpin
tidak seburuk itu, tapi mereka terus saja mengoceh.
Aku pergi, jauh sekali. Kuniatkan dalam hati untuk
mendatangi langsung rumah bapak pemimpin. Aku pernah mendengar alamatnya
disebutkan di berita-berita televisi. Agak jauh memang dari rumahku. Tapi
karena aku tak punya ongkos atau kendaraan apa pun selain sepeda kayuh, maka dengan
senang hati aku mengayuh.
Tetes demi tetes keringatku berjatuhan. Matahari
membakar kepalaku sampai titik di mana seseorang akan tergoda untuk berhenti
selamanya, tidak melanjutkan perjalanan. Tapi aku tak sudi menyerah. Tanpa
sadar, peristiwa perginya Cipluk dan ibunya, serta perselisihanku dengan
teman-teman, membawaku pada pencapaian yang sama sekali tak pernah kubayangkan:
aku akan menemui bapak pemimpin! Ah, indahnya. Seperti apakah rupanya? Seperti
apakah rumahnya? Seperti apakah meja makannya? Seperti apakah keluarganya?
Seperti apakah caranya berbicara? Seluruh pertanyaan itu cukup membuatku tak
tenang. Sementara laju sepedaku tak tertahan.
Sesampai di kaki sebuah gunung, aku berhenti
karena kelelahan. Kukira aku tersesat. Rumah bapak pemimpin memang amatlah
jauh. Perasaan sudah hampir tiga jam aku mengayuh, tapi tak jua sampai. Di saat
itulah kemudian seseorang memanggilku. Ia bertanya-tanya soal siapa bapak dari
gadis kecil yang bernama Cipluk. Kujawab saja kalau akulah bapaknya.
"Bagus, Pak. Beruntung saya menemukan
Anda," katanya kemudian.
Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan Cipluk.
Kuharap dia baik-baik saja bersama ibunya. Tadi pagi kami bertengkar gara-gara
bapak pemimpin. Eh, tiba-tiba siang ini ada seseorang yang memungkinkan untuk
mempertemukan kami kembali. Kutunda saja kunjunganku ke rumah bapak pemimpin.
Lagi pula aku sudah tak tahu jalan. Ada baiknya kutemui dulu Cipluk.
Aku tak sempat bertanya alasan orang ini
menyebut-nyebut nama anakku. Sebab dia berjalan dengan langkah panjang-panjang
setengah berlari. Aku kewalahan menyusulnya karena semakin lama jalan di depan
semakin menanjak. Dari penampilannya yang tak biasa, dia pasti bukan orang
sembarangan. Bau seragamnya saja wangi. Tak pernah kulihat seragam sehebat itu.
Kukira dia bekerja di tempat yang memberinya gaji di atas rata-rata, alias gaji
yang superbesar. Kuikuti dia dari belakang, karena dia meminta untuk tidak
pura-pura kenal denganku.
Setelah pendakian panjang yang melelahkan,
akhirnya kami berhenti juga di depan sebuah rumah dengan gerbang setinggi pohon
kelapa. Letaknya hampir dekat dengan puncak gunung. Napasku tertahan mendapati
pemandangan rumah megah bak istana. Aku bertanya-tanya dalam hati, siapa
kira-kira pemilik rumah seindah ini? Belum lagi pondasinya yang berdiri di atas
gunung. Juga pagarnya yang sebesar itu, apalagi isinya. Sungguh tak terbayang.
Pasti pemiliknya bukan orang sembarangan. Bagaimana mungkin Cipluk dan ibunya
ada di tempat ini?
"Anda bapaknya Cipuk, 'kan?" tanyanya
sekali lagi.
"Ya, benar. Saya bapaknya Cipluk. Bisa tolong
Bapak jelaskan kenapa Cipluk bisa ada di tempat sehebat ini?"
Kucoba bertanya dengan sopan kepada orang itu.
Tapi dia hanya melirik sebentar padaku karena nampaknya masih sibuk dengan
sesuatu di balik pagar. Sempat kulihat ia mengeluarkan semacam kartu identitas
untuk dimasukkan ke sebuah lubang di tepi pagar. Seseorang di dalam pagar
berbicara dengan menggerutu, kemudian terdengar suara bel berdering keras
sekali, dreeetttttt ... seperti bunyi orang kentut. Terbukalah pintu
pagar.
"Cipluk ada di dalam dengan ibunya. Masuk
saja."
Seketika kurasakan angin meniup sebagian besar
wajahku. Itu disebabkan karena saking luasnya halaman rumah yang kami datangi.
Setelah mengatakan soal Cipluk dan ibunya, lelaki itu kemudian pergi entah ke mana.
Tinggallah aku seorang diri.
Aku berjalan menuju pintu utama yang berjarak
sekitar empat puluh lima meter dari pagar besar tadi. Di sekelilingku terdapat
taman dengan berbagai jenis bunga. Luar biasa tempat ini, tidak seperti
tempat-tempat lain yang pernah kudatangi. Tempat ini adalah sesuatu yang jauh.
Tempat ini adalah sesuatu yang bukan diriku.
Tak perlu waktu lama untuk membuat seseorang
membuka pintu utama, karena sebuah bel lagi-lagi membuatku terperanjat oleh
bunyinya yang begitu keras. Kali ini bukan seperti orang kentut, melainkan
seperti orang yang tengah bersendawa. Detik berikutnya, muncullah wajah kaku
dari balik daun pintu. Kuduga ia seorang yang juga bekerja di tempat ini.
"Ada perlu apa?"
"Saya mencari Cipluk, anak saya. Katanya ia
di sini bersama ibunya?"
"Benar. Tapi apa Anda sudah buat janji dengan
Tuan Besar?"
Siapa yang ia maksud dengan Tuan Besar?
"Belum."
"Berarti Anda harus mengisi ini,"
katanya sembari menyerahkan selembar kertas untukku. Di sana tertulis bahwa
siapa saja yang tidak mempunyai janji dengan Tuan Besar, harus membubuhkan
tanda tangan di sana, setelah sebelumnya mengisi nama lengkap, tempat sekaligus
tanggal lahir, status, profesi, gaji per bulan, dan lain-lain.
Setelah kuisi semuanya dengan benar, orang itu
meminta kartu identitasku. Kuberikan saja kartu itu. Aku sudah tidak sabar
bertemu dan mengetahui apa yang sedang terjadi dengan Cipluk dan ibunya di
dalam. Tapi setelah kuberikan kartu identitas yang kukira memang diperlukan
sebagai syarat terakhir untuk menemui Tuan Besar, orang itu malah menutup pintu
dengan keras. Aku panik.
"Hei ... biarkan saya masuk! Saya mau ketemu
anak istri saya!"
"Tunggu dulu yang sabar! Tuan Besar masih ada
tamu lain!"
Aneh sekali. Oh, mungkin begini cara orang kaya
untuk bertamu. Jika ada tamu lain sebelum tamu yang baru saja datang, maka tamu
yang baru itu harus rela menunggu sampai kepulangan tamu yang sebelumnya. Cukup
rumit, tapi apalah peduliku? Yang penting aku ingin segera tahu tentang Cipluk
dan ibunya.
Menit demi menit aku menunggu, tapi tak ada
seorang pun yang memberiku tanda untuk segera masuk. Demi membunuh waktu, aku
berjalan mengitari sebuah taman di sekitar halaman yang luas itu. Di sana ada
beberapa pekerja yang sibuk membersihkan taman dengan alat-alat mereka. Melihat
orang sepertiku berkeliaran dengan memakai baju kumal, mereka berteriak-teriak
memanggilku.
"Siapa kamu? Ada perlu apa ke tempat
ini?"
Kubalas dengan teriakan juga: "Aku ada perlu
dengan Tuan Besar. Anak istriku ada di sana!"
Mendengar jawabanku, orang-orang yang dari wajah
mereka sudah nampak sekali kalau hidup mereka sehari-hari susah, kurasa ada
semacam rasa senang sekaligus haru. Tapi aku tak tahu apa sebabnya. Kuhampiri
mereka, kujabat tangan mereka satu per satu. Mereka menyambutku dengan baik
meski telapak tanganku terasa dingin. Aku sendiri senang, mendapat teman-teman
baru sesama kaumku. Meski teman-teman lama kini membenciku gara-gara aku
membela bapak pemimpin negeri kami tercinta. Setidaknya aku punya teman baru di
tempat ini.
"Jarang-jarang lho, ada orang yang
bisa masuk ke sana," ujar salah satu mereka.
"Kenapa?"
"Memangnya kamu ndak tahu? Ini
rumahnya Bapak Pemimpin!"
Sama sekali tak kusangka. Ternyata di sinilah
tempat tujuanku. Ternyata Tuan Besar tak lain adalah bapak pemimpin kami. Tanpa
sengaja penundaanku untuk mendatangi tempat ini, justru membawaku ke tempat ini
juga. Mungkinkah Tuhan telah menakdirkanku untuk bertemu langsung dengan
pemimpin kami di tempat yang luar biasa ini? Tapi belum kutemukan satu hal pun
yang menghubungkan antara aku dan bapak pemimpin, dengan Cipluk bersama ibunya.
Seseorang kemudian memanggilku dari pintu samping.
Sepertinya Bapak Pemimpin sudah ingin menemuiku. Kulihat seseorang berpakaian
rapi keluar dari pintu depan. Aku tahu, dialah tamu yang datang sebelumku.
"Tuan Besar ingin menemui Anda!" kata
orang di pintu samping lagi, dengan suara yang lebih keras.
"Ayo, masuk, lewat sini!"
Aku berlari, tak sabar bertemu Cipluk dan ibunya
beserta Bapak Pemimpin. Ketika aku melangkah ke dalam ruangan, aroma janggal
menyerbu hidungku. Seperti bau amis darah, tapi bukan darah. Seperti bau busuk
bangkai, tapi bukan bangkai. Tak tahu bau apa itu. Ah, apalah peduliku?
Bukankah sebentar lagi aku bertemu orang yang selalu kuhormati dan kubela
mati-matian?
"Perkenalkan, saya Bapak Pemimpin," kata
seseorang mengulurkan tangannya padaku. Ramah sekali. Tapi aku tak percaya.
Kukira orang itu penipu. Lihatlah baju yang ia kenakan, sama sekali tidak
mewah, tidak seperti rumah ini. Lebih dari itu, wajahnya saja bukan wajah
manusia, penuh bulu dengan taring dan tanduk yang dapat sewaktu-waktu merobek
perut seseorang.
"Maaf, Pak, perkenalkan. Saya Bapak
Pemimpin," katanya lagi untuk kali kedua. Ramahnya tak surut. Detik itu
juga, barulah aku percaya. Aku mengenal dengan baik senyum itu dengan mata yang
teduh berwibawa. Mungkin hari ini beliau sedang sakit. Pantaslah wajahnya
terlihat sedikit seram. Tapi tak dusta kalau dialah Bapak Pemimpin negeri kami
tercinta.
Aku dipersilakannya duduk di kursi yang tingginya
sama rata dengannya. Dibuatkannya tiga cangkir teh untukku, Cipluk, dan ibunya.
Sewaktu kutanyakan mengapa tidak menyuruh pesuruh saja untuk membuat minuman
itu, ia menjawab bahwa kalau bisa dikerjakan sendiri, mengapa tidak?
Aku semakin kagum dengan sosok pemimpin yang
sangat merakyat ini. Tidak pernah ada pemimpin sebaik dia yang pernah kukenal,
meski buruk rupa sekalipun. Apalagi mengenalnya secara pribadi seperti hari
ini. Aku benar-benar dimuliakannya seperti layaknya tamu. Ternyata alasan
Cipluk dan ibunya ada di tempat ini adalah karena di tengah jalan mereka
dirampok. Beruntung dua orang yang kucintai itu tak terluka. Melihat kejadian
itu, Bapak Pemimpin segera menyelamatkan mereka dan membawa ke rumahnya di atas
gunung. Kulihat wajah Cipluk kembali manis. Ia berbisik padaku. Anakku yang
cerdas itu menagih boneka yang bisa bergerak-gerak.
"Nanti Bapak belikan, Nak ...."
Aku bersyukur. Ternyata Bapak Pemimpin tidak
sejahat yang para tetanggaku bilang. Tapi aku masih bingung, bau tak sedap tadi
datangnya dari mana, ya?
September 2013
* Ken Hanggara, penulis kelahiran 1991. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Menyukai seni dan sastra sebagai bagian dari indahnya hidup.
berkunjung.. :-)
ReplyDeleteSilakan. :)
DeleteMas ken...
ReplyDeletemaaf, sedikit terganggu dengan efek pointer mouse. Dan kutu yang berjalan...
fokusnya jadi berpindah-pindah
Sekedar unge-unge :)
Sip (y). Terima kasih sarannya. :)
Delete