Skip to main content

[Cerpen]: Cipluk & Bapak Pemimpin


Oleh: Ken Hanggara*
Sudah sejak lama aku melihatnya bak sebutir salju di musim kemarau. Dialah sosok pemimpin yang amat kukagumi, pemimpin kami. Segala tugas yang diamanahkan padanya, dikerjakan dengan sebaik-baiknya. Tentulah kenyataan ini membuatku senang. Selama ini, menurutku tugas pemimpin merupakan satu hal yang sangat berat. Tak terbayang jika aku yang disuruh menjadi pemimpin. Bisa-bisa aku tak tahan. Sebab mataku tak biasa melihat uang dalam jumlah yang banyak.
Maka tak ada yang buruk di mata seorang kerdil sepertiku, bahwa bagaimanapun bentuk dan rupa pemimpin kami, bagiku ia tetap orang yang baik selama aku masih bisa makan dan tinggal di tempat yang teduh.
Aku memang tak pernah mengharap banyak. tapi pemimpin kami selalu memberi lebih. Aku senang dan berterima kasih. Hormatku selalu padanya. Tidak seperti teman-temanku yang selalu menyumpahi, mencaki-maki, bahkan mengutuki pemimpin kami yang sudah bekerja dengan baik itu. Katanya tak becuslah. Katanya lagi, cuma cari untunglah.
Aku tak mengerti jalan pikiran mereka. Anehnya, teman-temanku pun tak mengerti jalan pikiranku. Kami berseberangan dalam hal berprinsip. Jika biasanya kami selalu satu, maka untuk urusan yang satu ini, sepertinya aku cuma sendiri. Itulah sebabnya kuajak anak dan istriku. Mereka patuh padahal aku tahu ada rasa tak rela di mata istriku ketika kusuruh dia untuk membela pemimpin kami. Kukatakan bahwa tak ada orang yang lebih hebat di negeri ini selain pemimpin kami itu.
"Tapi aku tak suka, Yah," sela istriku dengan wajah kaku. Kalimat itu bergulir di dinding rumah kami, berputar-putar lalu membumbung bak asap yang menyesakkan rongga dada. Sejak hari itu, segalanya terasa kian datar. Istriku lama-lama tak tahan dan terang-terangan menentangku.
"Kalau terus-terusan begini, aku nggak bisa, Kang!"
"Lha, terus maumu apa?"
"Aku lebih sejalan dengan teman-temanmu itu," jawabnya kesal. Ia seperti telah menahan kekesalan itu di dalam hati selama bertahun-tahun kami menikah. Dikeluarkanlah sebagian dari rasa kesalnya itu pagi ini.
"Kalau gitu, lebih baik ceraikan aku saja!" sambungnya tiba-tiba. Ini sungguh di luar dugaan. Maksud hati ingin mengajaknya hidup damai dengan pemimpin, malah rumah tangga kami terhuyung-huyung di ujung tanduk.
"Kamu itu bicara apa, Dik? Tidak ada kata cerai, tidak ada kata berpisah. Kita tetap satu keluarga yang utuh, meski beda keyakinan sekalipun."
"Tapi aku tak sanggup, Kang!" katanya sebelum akhirnya masuk ke kamar, melipat seluruh pakaiannya. Aku mencegahnya. Aku terus memohon padanya untuk berpikir waras. Namun ia sudah bulat tekad. Ia sudah muak dengan pemimpin kami. Katanya orang itu hanya membawa petaka saja.
Aku tak mengerti mengapa hampir semua orang berpikiran buruk pada pemimpin kami. Seburuk itukah dia? Istriku mengumbar kalimat terakhirnya keras-keras. Menurutnya, pemimpin kami itu tak 'kan pernah menyatu dengan manusia-manusia macam kami.
Usai membungkus seluruh pakaiannya, ia menyuruh Cipluk, anak kami, untuk pergi ke kamar dan membereskan baju-bajunya, karena sebentar lagi mereka akan pergi dari rumah ini. Cipluk senang mendengar perintah ibunya dan menjalankannya dengan senang hati. Situasi yang tadinya baik-baik saja, kini tiba-tiba berubah menjadi bencana. Istriku kembali memaksa minta cerai.
"Cipluk akan kurawat. Aku tak mau anakku ketularan goblok seperti bapaknya!" tambahnya. Ucapan itu membuatku kesal. Namun tidaklah tepat bila kulampiaskan amarahku sekarang. Tidak ada satu pun yang kumiliki selain mereka. Andaipun kami benar-benar berpisah, aku ingin Cipluk tetap bersamaku.
Kubujuk Cipluk dengan memberinya permen berhadiah mainan boneka kecil yang bisa bergerak-gerak. Ia menolak. Cipluk lebih memilih tinggal bersama ibunya. Kubujuk lagi dengan menjanjikannya untuk membelikan sepeda keranjang untuknya, jika nanti hari ulang tahun Cipluk tiba. Tapi ia tetap tak mau. Cipluk ingin bersama ibunya. Kata Cipluk, ia sudah bisa menentukan di pihak mana ia akan berdiri. Dilihatnya aku, ayah kandungnya, telah salah besar.
"Cipluk gak suka sama pemimpin itu!" ucapnya ketus.
Aku tersentak. Apakah ini ilusi? Cipluk yang masih kecil bagaimana bisa mengerti tabiat pemimpin kami? Kucubit pipiku, sakit. Berarti ini nyata. Istri dan anakku akan pergi meninggalkanku. Apa yang harus kulakukan untuk mencegah mereka? Mengapa mereka begitu membenci pemimpin kami, sampai rela mengorbankan cinta antara kami bertiga yang saling bertautan menjadi hancur berkeping-keping tanpa sisa?
Aku benar-benar tak dapat menghentikan laju kaki mereka ketika sampai di halaman rumah. Bahkan aku tak dapat membuat mereka membatalkan niat untuk pergi ketika sebuah bus menepi, menyediakan waktu bagi anak istriku agar bisa naik dan segera meninggalkanku.
Sepi merayap ketika kendaraan itu menjauh. Kukatakan pada tetangga-tetanggaku, bahwa gara-gara merekalah, Cipluk dan ibunya pergi. Gara-gara provokasi berdasar kebencian kepada bapak pemimpin kamilah, Cipluk dan ibunya tidak mau lagi melihatku. Mendengar tuduhanku mereka tak terima. Mereka menolak disalah-salahkan oleh kejadian hancurnya keluargaku. Kata mereka, semua itu bukan urusan mereka.
"Setiap orang punya pilihan, termasuk istri dan anakmu. Kami tak terima dibilang begitu. Kami tak ingin merusak rumah tangga siapa pun. Kau sendiri 'kan yang merusaknya!" bantah mereka.
Aku kesal. Marahku memuncak. Beginikah balasan yang teman-teman beri untukku, ketika kuluruskan pandangan negatif mereka pada bapak pemimpin? Beginikah mereka memperlakukanku ketika kubela mati-matian orang yang selama ini selalu kupercaya memegang amanah demi kesejahteraan kami semua?
Kutinggalkan mereka dalam ocehan soal ternodanya amanah oleh ulah-ulah salah yang sengaja dianggap benar oleh bapak pemimpin. Juga ulah-ulah salah yang sengaja tidak dipedulikan. Setahuku bapak pemimpin tidak seburuk itu, tapi mereka terus saja mengoceh.
Aku pergi, jauh sekali. Kuniatkan dalam hati untuk mendatangi langsung rumah bapak pemimpin. Aku pernah mendengar alamatnya disebutkan di berita-berita televisi. Agak jauh memang dari rumahku. Tapi karena aku tak punya ongkos atau kendaraan apa pun selain sepeda kayuh, maka dengan senang hati aku mengayuh.
Tetes demi tetes keringatku berjatuhan. Matahari membakar kepalaku sampai titik di mana seseorang akan tergoda untuk berhenti selamanya, tidak melanjutkan perjalanan. Tapi aku tak sudi menyerah. Tanpa sadar, peristiwa perginya Cipluk dan ibunya, serta perselisihanku dengan teman-teman, membawaku pada pencapaian yang sama sekali tak pernah kubayangkan: aku akan menemui bapak pemimpin! Ah, indahnya. Seperti apakah rupanya? Seperti apakah rumahnya? Seperti apakah meja makannya? Seperti apakah keluarganya? Seperti apakah caranya berbicara? Seluruh pertanyaan itu cukup membuatku tak tenang. Sementara laju sepedaku tak tertahan.
Sesampai di kaki sebuah gunung, aku berhenti karena kelelahan. Kukira aku tersesat. Rumah bapak pemimpin memang amatlah jauh. Perasaan sudah hampir tiga jam aku mengayuh, tapi tak jua sampai. Di saat itulah kemudian seseorang memanggilku. Ia bertanya-tanya soal siapa bapak dari gadis kecil yang bernama Cipluk. Kujawab saja kalau akulah bapaknya.
"Bagus, Pak. Beruntung saya menemukan Anda," katanya kemudian.
Aku tak mengerti apa yang terjadi dengan Cipluk. Kuharap dia baik-baik saja bersama ibunya. Tadi pagi kami bertengkar gara-gara bapak pemimpin. Eh, tiba-tiba siang ini ada seseorang yang memungkinkan untuk mempertemukan kami kembali. Kutunda saja kunjunganku ke rumah bapak pemimpin. Lagi pula aku sudah tak tahu jalan. Ada baiknya kutemui dulu Cipluk.
Aku tak sempat bertanya alasan orang ini menyebut-nyebut nama anakku. Sebab dia berjalan dengan langkah panjang-panjang setengah berlari. Aku kewalahan menyusulnya karena semakin lama jalan di depan semakin menanjak. Dari penampilannya yang tak biasa, dia pasti bukan orang sembarangan. Bau seragamnya saja wangi. Tak pernah kulihat seragam sehebat itu. Kukira dia bekerja di tempat yang memberinya gaji di atas rata-rata, alias gaji yang superbesar. Kuikuti dia dari belakang, karena dia meminta untuk tidak pura-pura kenal denganku.
Setelah pendakian panjang yang melelahkan, akhirnya kami berhenti juga di depan sebuah rumah dengan gerbang setinggi pohon kelapa. Letaknya hampir dekat dengan puncak gunung. Napasku tertahan mendapati pemandangan rumah megah bak istana. Aku bertanya-tanya dalam hati, siapa kira-kira pemilik rumah seindah ini? Belum lagi pondasinya yang berdiri di atas gunung. Juga pagarnya yang sebesar itu, apalagi isinya. Sungguh tak terbayang. Pasti pemiliknya bukan orang sembarangan. Bagaimana mungkin Cipluk dan ibunya ada di tempat ini?
"Anda bapaknya Cipuk, 'kan?" tanyanya sekali lagi.
"Ya, benar. Saya bapaknya Cipluk. Bisa tolong Bapak jelaskan kenapa Cipluk bisa ada di tempat sehebat ini?"
Kucoba bertanya dengan sopan kepada orang itu. Tapi dia hanya melirik sebentar padaku karena nampaknya masih sibuk dengan sesuatu di balik pagar. Sempat kulihat ia mengeluarkan semacam kartu identitas untuk dimasukkan ke sebuah lubang di tepi pagar. Seseorang di dalam pagar berbicara dengan menggerutu, kemudian terdengar suara bel berdering keras sekali, dreeetttttt ... seperti bunyi orang kentut. Terbukalah pintu pagar.
"Cipluk ada di dalam dengan ibunya. Masuk saja."
Seketika kurasakan angin meniup sebagian besar wajahku. Itu disebabkan karena saking luasnya halaman rumah yang kami datangi. Setelah mengatakan soal Cipluk dan ibunya, lelaki itu kemudian pergi entah ke mana. Tinggallah aku seorang diri.
Aku berjalan menuju pintu utama yang berjarak sekitar empat puluh lima meter dari pagar besar tadi. Di sekelilingku terdapat taman dengan berbagai jenis bunga. Luar biasa tempat ini, tidak seperti tempat-tempat lain yang pernah kudatangi. Tempat ini adalah sesuatu yang jauh. Tempat ini adalah sesuatu yang bukan diriku.
Tak perlu waktu lama untuk membuat seseorang membuka pintu utama, karena sebuah bel lagi-lagi membuatku terperanjat oleh bunyinya yang begitu keras. Kali ini bukan seperti orang kentut, melainkan seperti orang yang tengah bersendawa. Detik berikutnya, muncullah wajah kaku dari balik daun pintu. Kuduga ia seorang yang juga bekerja di tempat ini.
"Ada perlu apa?"
"Saya mencari Cipluk, anak saya. Katanya ia di sini bersama ibunya?"
"Benar. Tapi apa Anda sudah buat janji dengan Tuan Besar?"
Siapa yang ia maksud dengan Tuan Besar?
"Belum."
"Berarti Anda harus mengisi ini," katanya sembari menyerahkan selembar kertas untukku. Di sana tertulis bahwa siapa saja yang tidak mempunyai janji dengan Tuan Besar, harus membubuhkan tanda tangan di sana, setelah sebelumnya mengisi nama lengkap, tempat sekaligus tanggal lahir, status, profesi, gaji per bulan, dan lain-lain.
Setelah kuisi semuanya dengan benar, orang itu meminta kartu identitasku. Kuberikan saja kartu itu. Aku sudah tidak sabar bertemu dan mengetahui apa yang sedang terjadi dengan Cipluk dan ibunya di dalam. Tapi setelah kuberikan kartu identitas yang kukira memang diperlukan sebagai syarat terakhir untuk menemui Tuan Besar, orang itu malah menutup pintu dengan keras. Aku panik.
"Hei ... biarkan saya masuk! Saya mau ketemu anak istri saya!"
"Tunggu dulu yang sabar! Tuan Besar masih ada tamu lain!"
Aneh sekali. Oh, mungkin begini cara orang kaya untuk bertamu. Jika ada tamu lain sebelum tamu yang baru saja datang, maka tamu yang baru itu harus rela menunggu sampai kepulangan tamu yang sebelumnya. Cukup rumit, tapi apalah peduliku? Yang penting aku ingin segera tahu tentang Cipluk dan ibunya.
Menit demi menit aku menunggu, tapi tak ada seorang pun yang memberiku tanda untuk segera masuk. Demi membunuh waktu, aku berjalan mengitari sebuah taman di sekitar halaman yang luas itu. Di sana ada beberapa pekerja yang sibuk membersihkan taman dengan alat-alat mereka. Melihat orang sepertiku berkeliaran dengan memakai baju kumal, mereka berteriak-teriak memanggilku.
"Siapa kamu? Ada perlu apa ke tempat ini?"
Kubalas dengan teriakan juga: "Aku ada perlu dengan Tuan Besar. Anak istriku ada di sana!"
Mendengar jawabanku, orang-orang yang dari wajah mereka sudah nampak sekali kalau hidup mereka sehari-hari susah, kurasa ada semacam rasa senang sekaligus haru. Tapi aku tak tahu apa sebabnya. Kuhampiri mereka, kujabat tangan mereka satu per satu. Mereka menyambutku dengan baik meski telapak tanganku terasa dingin. Aku sendiri senang, mendapat teman-teman baru sesama kaumku. Meski teman-teman lama kini membenciku gara-gara aku membela bapak pemimpin negeri kami tercinta. Setidaknya aku punya teman baru di tempat ini.
"Jarang-jarang lho, ada orang yang bisa masuk ke sana," ujar salah satu mereka.
"Kenapa?"
"Memangnya kamu ndak tahu? Ini rumahnya Bapak Pemimpin!"
Sama sekali tak kusangka. Ternyata di sinilah tempat tujuanku. Ternyata Tuan Besar tak lain adalah bapak pemimpin kami. Tanpa sengaja penundaanku untuk mendatangi tempat ini, justru membawaku ke tempat ini juga. Mungkinkah Tuhan telah menakdirkanku untuk bertemu langsung dengan pemimpin kami di tempat yang luar biasa ini? Tapi belum kutemukan satu hal pun yang menghubungkan antara aku dan bapak pemimpin, dengan Cipluk bersama ibunya.
Seseorang kemudian memanggilku dari pintu samping. Sepertinya Bapak Pemimpin sudah ingin menemuiku. Kulihat seseorang berpakaian rapi keluar dari pintu depan. Aku tahu, dialah tamu yang datang sebelumku.
"Tuan Besar ingin menemui Anda!" kata orang di pintu samping lagi, dengan suara yang lebih keras.
"Ayo, masuk, lewat sini!"
Aku berlari, tak sabar bertemu Cipluk dan ibunya beserta Bapak Pemimpin. Ketika aku melangkah ke dalam ruangan, aroma janggal menyerbu hidungku. Seperti bau amis darah, tapi bukan darah. Seperti bau busuk bangkai, tapi bukan bangkai. Tak tahu bau apa itu. Ah, apalah peduliku? Bukankah sebentar lagi aku bertemu orang yang selalu kuhormati dan kubela mati-matian?
"Perkenalkan, saya Bapak Pemimpin," kata seseorang mengulurkan tangannya padaku. Ramah sekali. Tapi aku tak percaya. Kukira orang itu penipu. Lihatlah baju yang ia kenakan, sama sekali tidak mewah, tidak seperti rumah ini. Lebih dari itu, wajahnya saja bukan wajah manusia, penuh bulu dengan taring dan tanduk yang dapat sewaktu-waktu merobek perut seseorang.
"Maaf, Pak, perkenalkan. Saya Bapak Pemimpin," katanya lagi untuk kali kedua. Ramahnya tak surut. Detik itu juga, barulah aku percaya. Aku mengenal dengan baik senyum itu dengan mata yang teduh berwibawa. Mungkin hari ini beliau sedang sakit. Pantaslah wajahnya terlihat sedikit seram. Tapi tak dusta kalau dialah Bapak Pemimpin negeri kami tercinta.
Aku dipersilakannya duduk di kursi yang tingginya sama rata dengannya. Dibuatkannya tiga cangkir teh untukku, Cipluk, dan ibunya. Sewaktu kutanyakan mengapa tidak menyuruh pesuruh saja untuk membuat minuman itu, ia menjawab bahwa kalau bisa dikerjakan sendiri, mengapa tidak?
Aku semakin kagum dengan sosok pemimpin yang sangat merakyat ini. Tidak pernah ada pemimpin sebaik dia yang pernah kukenal, meski buruk rupa sekalipun. Apalagi mengenalnya secara pribadi seperti hari ini. Aku benar-benar dimuliakannya seperti layaknya tamu. Ternyata alasan Cipluk dan ibunya ada di tempat ini adalah karena di tengah jalan mereka dirampok. Beruntung dua orang yang kucintai itu tak terluka. Melihat kejadian itu, Bapak Pemimpin segera menyelamatkan mereka dan membawa ke rumahnya di atas gunung. Kulihat wajah Cipluk kembali manis. Ia berbisik padaku. Anakku yang cerdas itu menagih boneka yang bisa bergerak-gerak.
"Nanti Bapak belikan, Nak ...."
Aku bersyukur. Ternyata Bapak Pemimpin tidak sejahat yang para tetanggaku bilang. Tapi aku masih bingung, bau tak sedap tadi datangnya dari mana, ya?

September 2013
* Ken Hanggara, penulis kelahiran 1991. Menulis puisi, cerpen, dan novel. Menyukai seni dan sastra sebagai bagian dari indahnya hidup.

Comments

  1. Mas ken...
    maaf, sedikit terganggu dengan efek pointer mouse. Dan kutu yang berjalan...
    fokusnya jadi berpindah-pindah
    Sekedar unge-unge :)

    ReplyDelete

Post a Comment

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri