Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Usaha Terakhir Sebelum Mati" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Minggu Pagi edisi Jumat, 30 November 2018)     Aku tidak pernah bisa bergaul dengan orang-orang di sekitarku. Sejak dulu kurasa inilah kutukan yang harus kupikul. Tidak tahu kenapa setiap siswa seakan-akan tercipta untuk membenciku di sekolah. Dan setelah lulus lalu mendapat kerja, orang-orang yang berada di sekelilingku bersikap seolah aku tidak ada.     Memang pekerjaanku tidak membanggakan dan itu tidak kusebutkan di sini. Aku bekerja di gedung ternama, tetapi hanya sebagai bagian tidak penting dari sebuah sistem. Status sosial yang biasa saja, ditambah kesulitan bersosialisasi, membuat hidupku terasa sepi.     Kalau dihitung, orang yang pernah menjadi temanku tidak lebih dari tiga. Itu pun salah satunya adalah seekor anjing sewaktu aku masih kelas empat SD, dan sayangnya si anjing sudah mati tertabrak truk beberapa hari setelah kutolong dia dengan sebungkus roti. Anjing itu kelaparan dan kuberi makan, dan kemudian ia mendatangiku selama dua hari berturut-turut de

[Cerpen]: "Penghuni Tetap Apartemen Tua" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Padang Ekspres edisi Minggu, 25 November 2018)       Aku sudah pindah ke apartemen tua ini sejak seminggu yang lalu, tapi sampai saat ini belum seorang pun kutemui, kecuali si penjaga gedung yang tidak pernah membalas sapaanku selain dengan cara kurang ramah. Si penjaga gedung itulah satu-satunya yang tinggal di sini selain diriku dan aku pun sadar betapa di bangunan tiga tingkat ini yang bisa kuajak bicara hanya diriku sendiri.     Aku memang sengaja pindah ke lokasi yang jauh dari keramaian. Ini membantu pekerjaanku sebagai pengarang. Aku punya uang, tapi memilih apartemen yang, konon kata teman-teman, busuk. Aku tidak percaya rumor. Ternyata apartemen ini, sekalipun tua, dirawat oleh si pemilik dan penjaga dengan sangat baik.     Kubilang pada teman-temanku, "Tempat ini jauh lebih baik ketimbang tempat yang kalian tawarkan."     Penjaga itu bekerja lebih dari dua puluh tahun, demikianlah kata si pemilik gedung ini ketika kami bertemu empat hari sebe

[Cerpen]: "Gadis Etalase" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Analisa Medan edisi Minggu, 18 November 2018)     Di seberang jalan tempat bengkel saya berdiri, ada kios pulsa yang baru dibuka dua minggu lalu. Penjaganya gadis bermata bening, dengan rambut sebahu. Meli namanya. Dia datang dari luar kota dan bekerja di sini karena problem keluarga yang tidak saya ketahui.     Meli cantik. Seandainya saya bujang, sudah saya dekati dan saya nikahi dia. Hanya saja, sebagai gadis, ia terlalu sedikit bicara. Yang keluar dari bibirnya tidak pernah lebih dari transaksi pulsa. Lain-lain, jangan harap keluar.     Seandainya Anda suka bicara dan memancing obrolan, barangkali Anda kecewa saat menghadapnya. Cuma sedikit pemuda yang tertarik pada Meli, yang lama-lama jadi tidak ada sama sekali. Bahkan ada gosip yang menyatakan gadis itu sudah gila. Itulah yang membuat para pemuda mundur satu-satu.     Saya tidak percaya. Kalau Meli gila, mana mungkin dipercaya pemilik kios untuk menjaga kios pulsa? Dan kalau benar gosip itu, yang membuatnya

[Cerpen]: "Persoalan Teman Lama" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Bromo edisi Minggu, 14 Oktober 2018)       Jarang-jarang Mudakir mampir ke rumahku seperti sore itu. Ia duduk di kursi teras dan menyapaku begitu mesin motor kumatikan. Aku turun dari motor dan langsung saja menyambut jabat tangannya.     Kami tetap duduk di kursi teras, karena Mudakir meminta demikian. Sejak tiba ke rumahku sejam yang lalu, istriku memintanya duduk di ruang tamu, tetapi tamu kami ini bersikeras duduk di teras rumah.     Karena tadi menolak suguhan teh atau kopi sebelum aku tiba di rumah, istri pun ke dapur untuk membuatkan minum. Setelah minuman disuguhkan, aku bertanya apa yang membuat Mudakir berubah?     Teman lamaku itu menunduk malu, karena selama ini kami jarang bertemu meski rumah kami tidak terlalu jauh. Aku sering mampir ke tempat Mudakir, sekadar ingin ngobrol atau mengajaknya mancing ketika libur, tetapi dia sering kali tidak sempat atau tidak ada di rumah.

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

[Cerpen]: "Mudakir dan Sejarahnya yang Tak Akurat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto edisi 7 Oktober 2018)       Mudakir memacu motornya bagai kesetanan. Orang-orang di jalan bergelimpangan setelah dengan brutal dia tendangi satu per satu. Ya, orang-orang itu adalah pengendara motor lain di jalan raya. Tentu saja di antara mereka ada yang pingsan, ada yang bangun lalu memaki-maki, dan bahkan ada yang tidak sempat menyadari kalau mereka sedang menggelinding di aspal, sebab terlebih dulu tubuh mereka disambut kendaraan lain dari belakang.     Aku tadinya tidak tahu penyebabnya. Aku hanya sedang makan rawon di suatu warung, lalu orang-orang berteriak dan kudengar umpatan salah satu korban Mudakir. Aku keluar bersama orang-orang lain yang kemudian memadati trotoar dengan saling pandang dan bertanya, "Apa yang membuat lelaki bujang lapuk itu begitu?"

[Cerpen]: "Memburu Sekutu Iblis" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Tempo edisi 6-7 Oktober 2018)       Seorang lelaki melompati tubuh kereta api saat kendaraan itu melintas dengan amat cepat, tapi tak ada sepercik darah. Tak ada sepotong kepala atau bola mata manusia atau usus atau liver atau lambung atau jantung atau organ vital apa pun yang tergeletak di sepanjang rel, sehingga malam itu situasi di pinggiran kota tetaplah sunyi sebagaimana biasa.     Saya mendengar kabar seseorang telah kabur dari penjara sekitar tiga hari lalu, dan sampai detik ini, polisi belum mendapatkan petunjuk apa pun yang dapat mengantar mereka untuk sekali lagi meringkus bajingan laknat itu.     Dahulu, bertahun-tahun silam, laki-laki pemerkosa yang di suatu malam tertangkap mata seorang pemulung sedang melompat ke tubuh kereta yang melintas namun justru tak mati, membuat hidup seorang perempuan rusak.     Perempuan itu telah lama membangun hidupnya mulai dari nol; tanpa orangtua dan bahkan tanpa orang-orang yang sedia melindunginya. Tubuh gadis itu be