Skip to main content

Posts

Sepuluh Tahun yang Lalu?

Sepuluh tahun yang lalu saya patah hati untuk pertama kalinya karena suatu cinta monyet. Pada saat itu saya menyukai seorang cewek berambut keriting dengan gigi agak berantakan. Dia lumayan cantik kalau mingkem, tapi tidak secantik cewek yang jadi idola di sekolah SMP itu. Pada suatu hari seorang teman menggoda saya dengan duduk di dekat cewek itu dan berbicara banyak hal, sementara saya hanya berdiri melihat dari jauh, lalu saya patah hati. Saya ingat siang hari itu, sepulang sekolah, makan nasi hangat lauk kornet sapi; rasanya sama sekali bukan seperti mengunyah kornet yang gurih dan agak pedas sebagai rasa kesukaan saya, melainkan seperti mengunyah muntahan bayi dan saya jadi tidak nafsu makan. Saya belum pernah mencoba muntahan bayi, tetapi mungkin patah hati dapat membuat siapa saja seolah merasakannya, atau mungkin sesuatu yang lebih mengerikan ketimbang muntahan bayi dapat saja terjadi dan seperti betul-betul dirasakan oleh penderita patah hati lainnya.

Lebih Baik Dikenang Jadi Orang Biasa, Daripada ...

Bagaimanapun rezeki kita itu sudah ada yang mengatur, yaitu Allah. Tidak perlu cemas mendapat rezeki yang seakan "salah" selama kita tidak menyimpang dari koridor yang tepat. Bermimpi menjadi penulis itu bagus. Semua orang boleh. Kalau memang benar-benar cinta, kita pasti konsisten. Dan jika sudah konsisten, terbukti kita orang yang tekun. Kalau sudah begitu, tidak perlu cemas dengan kegagalan, karena ada saatnya rezeki dari menulis akan didapat. Kan kita sudah konsisten; tinggal menunggu waktu saja dan tidak henti belajar. Dari awal ini sudah harus diyakini. Jika kita tidak kunjung dapat rezeki dari menulis, sementara kenyataannya kita memang tidak konsisten berusaha (untuk tidak menyebut kata 'malas'), ya berarti niat ingin sukses jadi penulis hanya ikut-ikutan atau cuma ingin gaya di depan teman-teman, dan rezeki kita mungkin bukan dari jalan menulis.

Langit Mencatat Perjuangan Orang-Orang Jujur

Sedih ada kasus plagiasi lagi yang mencuat belakangan ini. Rasanya belum juga ada penggila kesuksesan instan yang jera. Dari waktu ke waktu polanya hampir selalu begini: ketahuan, ramai, pelaku meminta maaf, ramai, surut, dilupakan. Atau begini: ketahuan, ramai, pelaku menghilang, dilupakan. Dan itu terus berputar seperti fase-fase di atas ditempel di sebuah roda. Rodanya tidak berhenti menggelinding karena tidak ada rem. Apa yang mereka, para plagiator itu, pikirkan? Ketika kita selesai menulis cerpen, misalnya, lalu terbit di sebuah koran, maka biasanya kita bahagia dan bangga. Benarkah? Karya orisinal tampil, sebut saja oleh penulis A, maka sangat wajar dia merasa bangga. Apalagi jika baru menapaki dunia literasi. Perasaan semacam itu sudah pasti manusiawi.

"Baper" Itu Wajar, tapi Jangan Overdosis

Ini dari curhatan seorang teman wanita. Dia mengeluh soal usahanya membantu orang lain yang dianggapnya sia-sia. Saya heran apa yang dia maksud sia-sia. Lalu dia dengan kesal menjawab, "Orang itu nggak bilang terima kasih. Aku membantu sepenuh hati, begitu beres langsung ditinggal pergi! Gak ada basa-basi. Sesulit itu bilang terima kasih, ya?!" Saya sejenak diam. Saya melihat teman saya ini penulis yang berbakat. Saya tidak menyangka dia berkata seperti itu. Mungkin karena me lihat saya diam, dia bertanya soal pendapat saya. Maka saya jawab sesuai yang saya yakini, bahwa ada atau tidaknya ucapan terima kasih, bagi saya, sekiranya saya telah membantu orang lain, tidak terlalu penting. Ucapan itu bukankah semacam penghargaan atau pengakuan dari sesama manusia? "Lalu?" tanya teman ini setelah saya diam kembali.

Tulus-TidakTulus, Itu Bukan Urusan Anda

Pernah suatu ketika dengan teganya seorang teman menuduh saya tidak tulus dalam menulis, dan terlalu berambisi. Saya tanyakan apa arti kata 'tulus' dan 'ambisi' baginya, tapi dia tidak menjawab. Dia memang senang mengalihkan obrolan dari satu topik ke topik lain, dalam selisih waktu yang lumayan pendek; benar-benar mengingatkan saya pada tokoh Holden yang agak kacau di " The Catcher in The Rye "-nya J.D Salinger. Tapi tentu saja dia bukan Holden. Saya sendiri tidak tahu apakah saya tulus dalam menulis atau tidak, tetapi saya sadar betul apa yang saya lakukan saat menulis adalah seperti pertemuan dengan orang tercinta. Saya tidak betah jika harus berhenti menulis dua hari, karena sakit misalnya. Saya juga merasa berat dan berdosa, jika belum juga menulis apa pun sampai jam satu siang misalnya. Itulah kenyataannya.