Pernah suatu ketika dengan teganya seorang teman menuduh saya tidak
tulus dalam menulis, dan terlalu berambisi. Saya tanyakan apa arti kata
'tulus' dan 'ambisi' baginya, tapi dia tidak menjawab. Dia memang senang
mengalihkan obrolan dari satu topik ke topik lain, dalam selisih waktu
yang lumayan pendek; benar-benar mengingatkan saya pada tokoh Holden
yang agak kacau di "The Catcher in The Rye"-nya J.D Salinger. Tapi tentu
saja dia bukan Holden.
Saya sendiri tidak tahu apakah saya tulus
dalam menulis atau tidak, tetapi saya sadar betul apa yang saya lakukan
saat menulis adalah seperti pertemuan dengan orang tercinta. Saya tidak
betah jika harus berhenti menulis dua hari, karena sakit misalnya. Saya
juga merasa berat dan berdosa, jika belum juga menulis apa pun sampai
jam satu siang misalnya. Itulah kenyataannya.
Maka, agar saya tidak sedih dan merasa bersalah, saya harus menulis.
Jika saja kata 'tulus' dapat mewakili keadaan sebaliknya, mungkin
memang benar apa yang saya lakukan itu tidak tulus. Memang lucu, ya?
Sedang soal ambisi; apakah karena saya pernah berkata bahwa minimal
kita targetkan menulis satu bab novel atau satu cerpen per hari agar
bisa konsisten, maka niat semacam itu dapat disebut ambisi?
Saya
pikir menjaga semangat dan memupuk ambisi jauh berbeda. Saya sadar betul
kalau yang saya lakukan dengan memberi target per hari itu ada dalam
koridor semangat. Lagi pula, isi hati orang siapa yang tahu?
Jika
saja teman saya tahu kejadian dua tahun lalu, saat saya nyaris mendapat
sesuatu yang "wow" dari menulis, yang ternyata dibatalkan secara
sepihak, pastilah dia berpikir ulang mencomot kata 'ambisi' untuk sebuah
tuduhan. Seandainya dia benar, dua tahun lalu sudah saya bikin ramai
masalah itu. Kalau saja itu yang saya lakukan, barulah dia atau siapa
pun berhak menuduh seseorang terlalu berambisi. Tapi sampai hari ini
saya memutuskan bungkam, karena toh yang dirugikan hanya saya seorang
dan saya ikhlas. Teman-teman saya yang tahu tidak saya izinkan
membongkar soal ini di status terbuka maupun komentar, apalagi di
obrolan santai dalam acara-acara kopi darat. Alhamdulillah mereka bisa
menjaga.
Ada hal-hal tertentu yang kita tidak tahu, dan itu
letaknya ada dalam hati orang lain. Kita tidak tahu dan mungkin
selamanya tidak akan tahu. Soal niat atau apa pun, selama tidak
dikatakan secara terus terang, orang lain tidak mungkin tahu.
Perkara ada pabrik cerpen dalam kepala seseorang, atau bahkan anggap
saja ada manusia ajaib di dunia ini yang memiliki pabrik novel, atau
pabrik kamus edisi paling lengkap sejagat raya sekalian, itu semua
tergantung dari kondisi dan motivasi.
Jika kondisi mendukung,
kita dapat membangun pabrik apa pun dalam kepala dalam waktu seminggu.
Dan jika motivasi cukup kuat, kita bisa merawat pabrik itu sampai tua
dan punya cucu empat puluh enam, misalnya. Yang membedakan tiap individu
dengan individu lainnya adalah motivasi. Saya sendiri sering mengungkap
apa saja motivasi saya dalam menulis, juga bagaimana cikal bakal saya
'terjebak' di dunia mengasyikkan ini.
Sampai di titik ini saya
sadar, betapa teman saya yang satu itu tidak benar-benar mengenal siapa
saya. Sudah pasti dia tidak membaca 'pengakuan-pengakuan' saya soal
dunia literasi, yang sudah saya terbitkan di blog sejak beberapa tahun
yang lalu.
Jadi, apakah saya tulus dan berambisi? Saya tidak bisa
mengatakannya lebih dari ini, tetapi apa yang saya lakukan, saya
sendirilah yang paham dari mana semua itu bermula. Segala tindakan
berasal dari hati dan kepala kita, bukan orang lain.
Comments
Post a Comment