Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Maria Pergi ke Wonderland" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Koran Pantura edisi Rabu, 20 April 2016) Maria berhenti merengek setelah saya telan tubuhnya bulat-bulat. Saya lebih dulu membujuk anak ini agar masuk lubang kelinci Wonderland, tempat Alice si gadis aneh berpetualang bertemu para makhluk sinting di bawah sana, untuk kemudian menenggak habis sebotol ramuan yang membikin tubuhnya menyusut. Maria mula-mula tidak mau, tetapi kata saya, di bawah sana ada kelinci berdasi. "Wah, yang benar, Om?"

[Cerpen]: "Agama Baru Penemu Dompet" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Suara Merdeka edisi Minggu, 17 April 2016) Sebuah dompet tergeletak di dekat selokan, berisi uang jutaan rupiah dan beberapa lembar tulisan aneh. Aku tidak tahu siapa pemilik dompet ini, tetapi kukira dia manusia dermawan dan tidak memikirkan soal dunia. Salah satu tulisan itu berbunyi: boleh ambil sesuka Anda, tetapi jangan semua, dan kembalikan dompet itu ke tempat di mana Anda menemukannya. Memang aneh, tetapi karena dompet ini nyata, bukan gaib, dan berisi pecahan uang seratus ribu dalam jumlah sedemikian banyak, diam-diam aku menepi dan memeriksa lebih teliti. Sudah pasti, yang dimaksud ambil oleh tulisan itu tidak lain adalah uang. Jadi, aku boleh ambil berapa pun, tetapi sesudah itu harus menaruh dompet itu kembali? Jalanan ini sepi. Jam segini siang, biasanya bus-bus dari luar kota melintas dan tak ada apa pun selain debu. Sesekali mungkin pedagang es tua yang memikul dagangannya sambil menggoyang-goyang lonceng ciri khas dengan gerakan pilu dan kepasra

[Cerpen]: "Pak Kodir" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Republika edisi Minggu, 17 April 2016) Orang-orang berkumpul di masjid pagi itu, menonton seorang ahli ibadah sedang berada dalam posisi sujud selama lebih dari satu jam. Tentu saja beliau sudah mangkat . Orang memanggilnya Pak Kodir. Sehari-hari jualan soto di pertigaan dan semua orang kenal soto ayamnya yang lezat. Jadi, ketika kabar ini merebak, orang-orang pun berpikir, "Siapa yang jual soto seenak itu lagi, ya?" Meninggalnya Pak Kodir segera jadi kabar yang melesat ke segala arah. Tidak ada yang bicara keburukan; semua kenal beliau baik dan suka memberi makan gelandangan, pengemis, atau sesekali orang gila. Siapa pun mampir ke warungnya, tetapi tidak bawa uang, tidak perlu khawatir, karena Pak Kodir bakal memberi seporsi gratis buat Anda (kalau mau lebih juga boleh). Meski begitu, sotonya laris manis dan beliau tidak pernah rugi.

[Puisi]: "Kereta" oleh Ken Hanggara

Sebelum kereta berangkat, kubawa koper berisi namamu Nama dari dua huruf vokal dan tiga konsonan Hanya namamu Lalu semua seakan tidak penting Baju-baju, pasta gigi, sandal jepit, bahkan mobil Sebab koperku hanya muat membawa nama Koperku doa dan kereta waktu azan Hari ke hari bertambah lama kita Maju ke depan dan koper kian erat kupeluk Kubawa sampai jauh dan kupikul ke gunung dekat stasiun tujuan Di stasiun tujuan ada kios kecil Jual permen, kacang goreng, dan pulpen Kubeli sebatang pulpen dan sekali lagi kususun namamu di telapak tangan "Apa?" tanya seorang bocah "Rahasia," kataku Namamu rahasia dan biar hanya Tuhan dan barangkali kita yang tahu Kubawa koper itu sekuat-kuatnya ke puncak gunung Jika lelah kuintip telapak tanganku Tentu saja, pulpennya harus kualitas nomor satu Biar kalau kena hujan, tinta pengukir namamu tidak luntur Sekarang kereta bersiap-siap Aku dan koperku--berisi namamu--sudah duduk manis dekat jendela Ada

Pertanyaan tentang Orisinalitas yang Menyakitkan

Beberapa hari yang lalu ketika beberapa tulisan saya dimuat di beberapa media berbeda dalam sehari (dan tentu saja tulisan-tulisan tersebut juga berbeda), seseorang yang entah siapa mempertanyakan orisinalitas semua karya saya. Ya, semua, bukan hanya sebiji dua biji. Saya buka akun tersebut; tidak jelas pemiliknya siapa. Namun segera saya tanggapi dengan santai, bahwa: tentu tulisan saya orisinal. Jika dia ingin baca, saya sodorkan alamat blog saya (sekalian promosi, hehe), d an bacalah sebanyak yang ia sanggup, semua postingan yang saya buat di blog tersebut sejak tahun 2013 silam. Paling mendominasi cerita pendek dan resensi buku. Barangkali dengan membaca semuanya, pemilik akun misterius ini menemukan jawaban.

Secuil Kisah Penulis Cerita di Koran

Papa saya bertanya, setelah membaca cerpen saya di Republika kemarin, "Pak Kodir itu apa sosok dari dunia nyata?" Saya jawab tidak, kalau yang dimaksud individu tertentu. Tetapi saya yakin di luar sana ada banyak sosok seperti Pak Kodir. Lalu obrolan berlanjut ke soal cerita dan dunia literasi yang saya tekuni. Di keluarga kami, papa sayalah yang biasa mengapresiasi tulisan saya, sependek apa pun komentarnya, sesingkat apa pun ulasannya. Di rumah memang tidak banyak yang suka membaca karya fiksi. Bahkan saya pikir, saya dan Papalah yang paling banyak membaca di keluarga ini.

Masa Kecilku: Dari Bocah Nakal Hingga Anak Band

Saat SD, saya suka membuat gara-gara entah dengan siapa, hanya demi membuat orang itu jengkel. Asal umurnya tidak beda jauh dengan saya, boleh juga saya ganggu. Karena ini pula saya sering kena masalah, misal pertengkaran fisik dan bahkan kata-kata; dulu kami memakai nama orangtua lawan untuk menyerang, meski kedengarannya aneh. Jadi, anggap saja orangtua si A bernama Maman, maka musuhnya memanggil, "Man! Man!"  Tidak hanya di sekolah, di lingkungan rumah saya sering terlibat masalah serupa. Bedanya, di rumah kami tak pernah memakai pertengkaran jenis kedua. Jadi, saya harus benar-benar tangguh untuk menang, sebab tubuh saya kecil dan pendek waktu itu.