Skip to main content

Posts

[Puisi]: "Kereta" oleh Ken Hanggara

Sebelum kereta berangkat, kubawa koper berisi namamu Nama dari dua huruf vokal dan tiga konsonan Hanya namamu Lalu semua seakan tidak penting Baju-baju, pasta gigi, sandal jepit, bahkan mobil Sebab koperku hanya muat membawa nama Koperku doa dan kereta waktu azan Hari ke hari bertambah lama kita Maju ke depan dan koper kian erat kupeluk Kubawa sampai jauh dan kupikul ke gunung dekat stasiun tujuan Di stasiun tujuan ada kios kecil Jual permen, kacang goreng, dan pulpen Kubeli sebatang pulpen dan sekali lagi kususun namamu di telapak tangan "Apa?" tanya seorang bocah "Rahasia," kataku Namamu rahasia dan biar hanya Tuhan dan barangkali kita yang tahu Kubawa koper itu sekuat-kuatnya ke puncak gunung Jika lelah kuintip telapak tanganku Tentu saja, pulpennya harus kualitas nomor satu Biar kalau kena hujan, tinta pengukir namamu tidak luntur Sekarang kereta bersiap-siap Aku dan koperku--berisi namamu--sudah duduk manis dekat jendela Ada

Pertanyaan tentang Orisinalitas yang Menyakitkan

Beberapa hari yang lalu ketika beberapa tulisan saya dimuat di beberapa media berbeda dalam sehari (dan tentu saja tulisan-tulisan tersebut juga berbeda), seseorang yang entah siapa mempertanyakan orisinalitas semua karya saya. Ya, semua, bukan hanya sebiji dua biji. Saya buka akun tersebut; tidak jelas pemiliknya siapa. Namun segera saya tanggapi dengan santai, bahwa: tentu tulisan saya orisinal. Jika dia ingin baca, saya sodorkan alamat blog saya (sekalian promosi, hehe), d an bacalah sebanyak yang ia sanggup, semua postingan yang saya buat di blog tersebut sejak tahun 2013 silam. Paling mendominasi cerita pendek dan resensi buku. Barangkali dengan membaca semuanya, pemilik akun misterius ini menemukan jawaban.

Secuil Kisah Penulis Cerita di Koran

Papa saya bertanya, setelah membaca cerpen saya di Republika kemarin, "Pak Kodir itu apa sosok dari dunia nyata?" Saya jawab tidak, kalau yang dimaksud individu tertentu. Tetapi saya yakin di luar sana ada banyak sosok seperti Pak Kodir. Lalu obrolan berlanjut ke soal cerita dan dunia literasi yang saya tekuni. Di keluarga kami, papa sayalah yang biasa mengapresiasi tulisan saya, sependek apa pun komentarnya, sesingkat apa pun ulasannya. Di rumah memang tidak banyak yang suka membaca karya fiksi. Bahkan saya pikir, saya dan Papalah yang paling banyak membaca di keluarga ini.

Masa Kecilku: Dari Bocah Nakal Hingga Anak Band

Saat SD, saya suka membuat gara-gara entah dengan siapa, hanya demi membuat orang itu jengkel. Asal umurnya tidak beda jauh dengan saya, boleh juga saya ganggu. Karena ini pula saya sering kena masalah, misal pertengkaran fisik dan bahkan kata-kata; dulu kami memakai nama orangtua lawan untuk menyerang, meski kedengarannya aneh. Jadi, anggap saja orangtua si A bernama Maman, maka musuhnya memanggil, "Man! Man!"  Tidak hanya di sekolah, di lingkungan rumah saya sering terlibat masalah serupa. Bedanya, di rumah kami tak pernah memakai pertengkaran jenis kedua. Jadi, saya harus benar-benar tangguh untuk menang, sebab tubuh saya kecil dan pendek waktu itu.

Produktif Tapi Jangan Lupa Waktu

Menulis setiap hari itu bagus. Tapi ingatlah waktu. Ada pekerjaan lain yang harus kita lakukan sebagai manusia normal. Kita bukan mesin, jadi menulis yang ideal per hari kurang lebih sekitar 3 jam. Itu pun tidak sekaligus. Bisa dua atau tiga kali duduk. Bila terbiasa melakukan, lama-lama mengubah kita jadi penulis produktif. Maksud 'menulis-tiap-hari' bukan full 12 jam kita duduk di depan laptop, misalnya. Itu bukan keren, tapi konyol. Kapan makan? Kapan minum? Kapan berinter aksi dengan manusia lain? Melakukan pekerjaan lain? Belajar jika kita pelajar/mahasiswa? Lalu, piknik? Bahkan, kapan ke kamar kecil?