Skip to main content

Posts

[Cerpen]: "Romansa Mugeni" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 13 Desember 2015) Tidak ada yang lebih tragis ketimbang kisah cinta Mugeni. Bertahun-tahun ia coba merayu pujaan hatinya, tetapi bukan cinta yang didapat, melainkan diam. Adakah yang lebih tragis ketimbang sikap diam, bahkan sekalipun Anda ditolak perempuan berkulit buaya? Mugeni memang keras kepala, tetapi kebanyakan menyebutnya gila, kecuali saya. Saya sebut Mugeni setia, sehingga saya juga dianggap gila. "Orang gila kok Anda bela," kata warga. Tapi di sini kita tidak bicara soal saya, melainkan Mugeni. Jadi, biarpun saya dianggap gila oleh mereka, silakan saja. Toh segala bentuk peristiwa, bahkan yang paling celaka di desa itu, tidak mengubah apa yang sudah Mugeni janjikan.

[Cerpen]: "Bidadari Tersesat" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Solopos, Minggu, 6 Desember 2015)     Rambut gadis itu panjang, lebat, dan hitam. Jatuh menjuntai, menutup punggung yang ramping. Sesekali berkibar ke kiri kanan, namun tak liar, sekadar bergoyang pelan seakan mengundangku melihat lebih lama. Pada saat itu, seandainya kau berada di sini, duduk bersisian denganku, kau akan menghirup aroma kesturi yang magis dan ganjil, seakan datang dari surga, membelai wajahmu manja dan membuaimu sampai tak sadar gelap merayap di sekitar mejamu. Dan, tentu saja, kau bangun saat malam menempel bulan di langit. Alangkah dingin saat itu, tapi tak seorang pun membangunkanmu!     Soal penilaian itu—maksudku, punggung yang ramping itu—terbit dari pandangan kira-kira satu menit yang lalu, sebelum ia di bawah pohon kelapa berdiri kaku menatap barat. Ia memang sempat menoleh utara, seolah mencari kawan; barangkali ia membikin janji, entahlah. Tetapi, karena kawan yang dinanti tak jua tiba (mungkin saja, 'kan?), ia putus asa dan memutuskan

[Cerpen]: "Neraka di Kota Kami" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Lombok Post, Minggu, 29 November 2015) Setan-setan bermain balon di dasar neraka. Suatu kali, bila kau ke kota kami dan tersesat—atau katakan saja: terperosok —ke bawah sebuah jembatan, maka pada saat itu kau tiba di neraka yang dimaksud. Setan-setan itu berbagai rupa. Seandainya saja kau percaya, bila kau manusia suci dan tak mungkin Tuhan membiarkanmu jatuh ke situ, ketahuilah bahwa setan ada dua macam: setan rupawan dan buruk rupa. Di dasar neraka, setan-setan segala rupa berkumpul di suatu ruang. Tak ada tembok, kecuali sekat-sekat yang dibuat dari potongan benda tipis serupa tripleks, serta ada yang sekadar kain lusuh disampir ke batang-batang pepohonan yang terbakar, lantas menjadi serupa arang. Semua sekat membentuk bilik-bilik.

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Dosa-dosa di Kotak Kado & Istri yang Membenci Suami" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Mojokerto, Minggu, 22 November 2015) 1/ Perempuan dari Masa Lalu Pesta pora semalam kurang cukup. Kau mesti tambah durasi tiga hingga empat jam, baru tuan rumah disebut mapan. Soal remeh temeh dijejalkan oleh Tuhan ke dalam otak manusia-manusia dangkal di sini, dan itu 24 jam non stop —setiap hari, nyaris sepanjang tahun—maka hal-hal duniawi layak naik kelas dari sekadar ngebir di sudut-sudut gang hingga mengundang maskot mahal dari kelab-kelab malam ibu kota. Kau tidak menduga kehadiranku. Analisa situasi membuatmu gusar, kurasa. Itulah gunanya lidahmu. Gusar mendorong pangkal berkontraksi, lantas cekatan beradaptasi dalam lincah gemulai memulai sapa, "Lama tak jumpa!" Ya , jawabku pendek. Aku paham sulitnya tinggal di kota. Kau pun paham betapa meluap dosa-dosa yang digelontorkan iblis melalui berbagai cara. Dari tahun ke tahun stok dosa menumpuk dan sulit dikalkulasi. Suatu waktu kita duduk di loteng rumahku, minum-minum, bercumbu, lalu m