Skip to main content

Dolittle (2020): Film Keluarga yang Menghibur, tapi Cepat Terlupakan


Judul: Dolittle
Genre: Adventure, fantasy
Sutradara: Stephen Gaghan
Pemain: Robert Downey Jr., Antonio Banderas, Michael Sheen, Jim Broadbent, Jessie Buckley, Harry Collet, Emma Thompson, Rami Malek, John Cena, Kumail Nanjiani, Octavia Spencer, Tom Holland, Craig Robinson, Ralph Fiennes, Selena Gomez, Marion Cotillard, Kasia Smutniak, Camel Laniado, dan Frances de la Tour
Negara: Amerika Serikat, Inggris
Tahun rilis: 2020

"Dolittle" (2020) rupanya sukses membuatku tertipu. Film ini tidak terlalu bagus, tapi juga bukan film buruk. Sedang-sedang saja. Mungkin ekspektasiku terlalu tinggi, hingga begitu keluar dari teater aku merasa tak mendapatkan apa-apa selain waktuku yang tersita selama kurang lebih seratus menit untuk sebuah film yang tak menyuguhkan sesuatu yang memorable.


"Dolittle" (2020) jelas sebuah film yang sangat menghibur, tapi akan segera kita lupakan. Ia termasuk film yang dibuat bukan untuk dikenang atau didiskusikan atau bahkan menjadi tontonan wajib dalam momen-momen tertentu bagi penggila film. Memang tak ada yang buruk dari soal teknis. Kelemahan ada di segi cerita yang kurang dalam dan terkesan buru-buru.

"Dolittle" mengisahkan Dr. John Dolittle yang mengurung diri selama beberapa tahun setelah kematian sang istri di tengah laut. Mereka berdua tadinya adalah pasangan dokter hewan yang sangat disegani. Ratu Victoria bahkan memberikan mereka tanah yang sangat luas untuk tempat keduanya merawat dan hidup bersama berbagai jenis binatang. 

Tidak dijelaskan bagaimana John bisa berbicara dengan segala hewan. Ia dan istri hanya senang bertualang dan menolong para satwa, serta menjadi sahabat mereka. Kematian sang istri, Lily, sangat memukul John hingga akhirnya rumahnya yang luas serupa kerajaan kecil bagi para binatang itu, tutup. Tak ada seorang pun manusia yang berinteraksi dengannya sampai sejauh itu.

Suatu ketika seorang bocah dari keluarga pemburu, Tommy Stubbins, tak sengaja menembak seekor tupai. Poly, burung nuri sahabat Dolittle, melihat itu sebagai peluang untuk membuat sang dokter kembali bertemu dengan manusia. Maka ia menggiring agar sang bocah membawa serta tupai tersebut ke rumah "istana" Dolittle untuk diselamatkan. Tommy Stubbins sendiri tak pernah serius menekuni pelajaran berburu. Ia sebenarnya pencinta binatang.

Di saat bersamaan, putri kerajaan, Lady Rose, mencoba mendatangi kediaman John Dolittle untuk membawakan pesan dari Sang Ratu yang sedang sakit. Ratu ingin John-lah yang merawatnya, sebab dokter kerajaan tampaknya tak becus melakukan apa-apa. Maka, kedatangan Stubbins dan Lady Rose yang membuat gaduh rumahnya di suatu pagi yang damai, membuat Dolittle tak berkutik. Ia akhirnya memenuhi saja permintaan Lady Rose setelah mengobati Kevin (si tupai yang tertembak tadi), agar rumah suakanya tak disita oleh Dewan Keuangan, sebab kematian sang ratu membuat akta tanah itu akan jatuh menjadi milik negara dan Dolilttle beserta para sahabat binatangnya tak mendapat tempat tinggal yang aman.

Sayangnya di istana ada persekongkolan antara seorang bangsawan dan dokter istana yang menjadi pesaing serta terobsesi mengalahkan karir Dolittle sejak lama, agar Ratu Victoria mati. Dolittle mulai curiga orang-orang itu memberi ratu racun, dan ia memang mendapatkan gelagat tak bagus dari obrolan singkatnya bersama seekor gurita di akuarium yang berada di kamar sang ratu. 

Mau tak mau, Dolittle terpaksa harus berlayar ke Sumatra. Di sana ada sebuah pulau di mana sebatang Pohon Eden tumbuh dan berbuah obat langka, yang bisa menyembuhkan sakit apa pun. Satu-satunya petunjuk yang ia miliki adalah jurnal mendiang sang istri yang ternyata tersimpan dengan baik di negeri asal Lily.

John Dolittle beserta para sahabat binatangnya pun berangkat, dan mereka ditemani oleh Tommy Stubbins yang bersumpah akan setia mengikuti sang dokter sebagai muridnya. Lord Thomas Badgley yang mengharapkan kematian ratu pun mengutus dokter pesaing Dolittle, Dr. Blair Müdfly, untuk menumpang kapal perang Britania dan mengupayakan cara apa pun agar Dolittle tak pernah kembali.

Secara keseluruhan, "Dolittle" (2020) memang menghibur, tapi tak perlu terlalu berharap sesuatu yang segar di sini. Sangat cocok untuk mereka yang senang menonton film-film fantasi. Bagian-bagian terbaik yang ditawarkan film ini ada pada dialog dan kelakuan para binatang sahabat sang dokter yang lucu. Skor dariku 6/10.


Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri