Skip to main content

Ford v Ferrari (2019): Film Balap Terbaik Sejauh Ini


Judul: Ford v Ferrari
Genre: Sport, drama, biopic
Sutradara: James Mangold
Skenario: Jez Butterworth, John-Henry Butterworth, Jason Keller
Pemain: Matt Damon, Christian Bale, Jon Bernthal, Caitriona Balfe, Josh Lucas, Noah Jupe, Tracy Letts, Remo Girone
Negara: Amerika Serikat
Tahun rilis: 2019

"Ford v Ferrari" (2019) memuaskan dari banyak segi; mulai dari skenario yang baik, pemilihan pemeran yang tepat, sinematografi yang baik, dan tata suara yang dahsyat. Ini termasuk film balap terbaik yang pernah kutonton. Sangat direkomendasikan bagi kalian penggemar film-film balap. Kalian akan dimanjakan oleh scenes ketika Ken Miles menguji coba mobil balap sekaligus mengadunya di arena.

"Ford v Ferrari" (2019) dimulai dari perusahaan mobil Ford yang berada di ujung tanduk kebangkrutan. Henry Ford II memberhentikan semua pekerjanya, kecuali mereka yang berhasil membawa ide atau dobrakan baru yang dapat menyelamatkan perusahaan yang dia warisi dari kakek dan ayahnya.

Lee Iacocca, salah satu orang Ford, mencoba menghubungi mantan pembalap Carroll Shelby yang akhir-akhir itu kerap bekerjasama dengan pembalap Ken Miles di ajang-ajang balap nasional. Tujuannya untuk kerjasama membuat mobil balap Ford. 

Lee Iacocca beranggapan Ford bisa bangkit dengan meniru cara Ferrari, yakni memenangi ajang balap bergengsi Le Mans yang digelar tiap tahun dengan waktu balap 24 jam non-stop. Henry Ford II berhasil diyakinkan setelah Ford mengalami penolakan kerjasama dari Ferrari yang cukup memalukan. Maka, proyek pembuatan mobil balap pun dimulai, dengan Carroll Shelby yang didapuk sebagai perancang mobil tersebut.

Bersama Ken Miles, Shelby memulai pekerjaan itu, dan mereka menemui titik terang. Orang-orang yang tak yakin Ford bisa membuat mobil balap dalam waktu 90 hari pun, kini mulai bisa menarik ucapan mereka. 

Hanya saja, Ken Miles yang juga seorang pembalap andal, yang memahami mobil balap rancangan mereka, tidak diperkenankan oleh Leo Beebe, seorang petinggi Ford, menjadi pembalap utamanya. Perangai yang urakan dan kata-kata yang kasar dari Ken Miles bisa membunuh trik pemasaran yang mungkin saja akan berhasil jika mobil balap itu sukses di Le Mans mendatang.

Ken Miles pun mengalah. Para pembalap yang terjun di Le Mans di tahun pertama partisipasi Ford di ajang tersebut gagal meraih gelar. Mereka mencoba merancang mobil balap yang lebih sempurna, tapi kali ini Shelby enggan mengalah pada Leo Beebe; ia melakukan segala upaya agar Ken Miles-lah yang nanti terjun ke Le Mans, sebab hanya dia pembalap terbaik yang dikenalnya saat itu, yang juga memahami mobil balap rancangan mereka.

"Ford v Ferrari" (2019) berhasil menjadi film balap terbaik yang pernah ada sampai sejauh ini; tentu pendapat ini bisa disanggah dan tak lepas dari perkara selera belaka. Aku berani bilang ini terbaik karena scenes uji coba mobil pun dapat memacu adrenalinku. Belum lagi ketika Ken Miles akhirnya terjun ke Le Mans, dan mendapat berbagai tipuan dari pihak Ford sendiri, sebab semua ini semata hanyalah soal "berjualan mobil", dan bukan "kemuliaan pembalap".

"Ford v Ferrari" (2019) layak mendapat skor 9/10. Aku berharap ke depannya ada film balap yang lebih baik dari ini, tapi sepertinya itu akan sulit dicapai. Kita lihat saja nanti.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri