Skip to main content

[Review Film]: Teror Santet di Rumah Panti

Judul: Ratu Ilmu Hitam
Genre: horor
Sutradara: Kimo Stamboel
Skenario: Joko Anwar
Pemeran: Aryo Bayu, Hannah Al Rashid, Adhisty Zara, Muzakki Ramdhan, Ari Irham, Ade Firman Hakim, Sheila Dara Aisha, Tanta Ginting, Miller Khan, Imelda Therinne, Salvita Decorte, Yayu A.W. Unru, Ruth Marini, Putri Ayudya.
Negara: Indonesia
Tahun rilis: 2019

"Ratu Ilmu Hitam" (2019) ternyata biasa saja. Ada beberapa kekurangan; yang paling mengganggu penggunaan backsound horor yang terlalu berlebihan hingga menutupi suara beberapa dialog penting, dan tentu saja pemakaian kata "kita" yang harusnya "kami" di dialog satu atau dua scene.

Sebenarnya cerita "Ratu Ilmu Hitam" (2019) lumayan bagus, tapi sudah banyak cerita macam ini. Bagi orang-orang tertentu, seluruh adegan gore-nya tak terlalu memukau (termasuk bagiku yang sudah menonton entah berapa banyak adegan gore dari entah berapa film sejauh ini yang lebih baik dari adegan-adegan gore di "Ratu Ilmu Hitam" (2019)). Salah satu scene di ruang biliar mengingatkanku pada "Evil Dead 2" (1987), dan itu cukup mengganggu.


"Ratu Ilmu Hitam" (2019) mengisahkan Hanif, Anton, dan Jefri yang diundang ke panti asuhan di mana dulu mereka dibesarkan untuk menjenguk pemilik panti yang merawat mereka sejak kecil, Pak Bandi. Tentu saja saat ini mereka bertiga telah dewasa dan berkeluarga. Selain pergi bersama istrinya, Hanif bahkan membawa serta anak-anaknya.

Suasana panti saat itu cukup sepi. Kabarnya anak-anak panti sedang berdarmawisata ke luar kota, dan yang masih berada di sana hanya dua orang anak, Hasbi dan Rani. Seorang penghuni panti lama, Maman, tak pernah meninggalkan tempat itu karena tak ada yang mengadopsinya. Bersama Siti yang juga penghuni panti sedari kecil, mereka menjaga tempat itu bersama Pak Bandi hingga kini. Maman dan Siti bahkan telah menikah.

Sejak kedatangan rombongan Hanif dan semuanya, suasana aneh sudah mulai terasa. Pak Bandi menderita sakit aneh yang tak bisa membuatnya berbicara. Rani, anak panti yang berusia belasan, menuturkan kisah mengerikan pada salah seorang anak Hanif tentang mantan pengurus panti yang telah meninggal puluhan tahun lalu bernama Bu Mira. Bu Mira konon kabarnya menjadi sinting dan memecahkan kepalanya sendiri akibat hilangnya anak panti kesayangannya yang bernama Murni. Kisah itu bagai terlingkupi kabut ketika Hanif, Anton, dan Jefri terlihat membisu dan tak ingin bicara banyak begitu Haqi yang polos menguak kisah yang baru saja ia dengar dari Rani tentang Bu Mira.

Dalam ketenangan itu, tiba-tiba Hanif tak sengaja menemukan sesuatu menempel di bagian depan mobilnya, yang mendesaknya untuk pergi sebentar meninggalkan panti: beberapa helai rambut dan darah manusia. Sebelum tiba di panti, mobilnya tadi sempat menabrak sesuatu, yang mulanya ia pikir hanyalah seekor kijang. Setelah diperiksa malam itu bersama Jefri, ternyata ia menemukan tubuh seorang bocah yang tampak pucat dan berbaring dengan penuh luka di sisi lain jalan.

Hanif panik karena sadar ia mungkin menabrak dan membunuh seorang bocah. Saat itu juga tak jauh dari tempat tubuh bocah tersebut berbaring, mereka melihat bus terparkir secara aneh di balik semak belukar. Bus itu berisi anak-anak panti yang telah meninggal.

Sejak penemuan bus berisi mayat anak-anak panti itulah, satu per satu santet menyerang Hanif dan yang lain. Rumah panti menjelma lokasi horor di mana setiap orang dilanda halusinasi dan luka-luka mengerikan akibat ilmu hitam yang entah dikirim oleh siapa. Seiring perjalanan waktu, malam itu juga terungkap kelakuan bejat Pak Bandi di masa lalu, juga bagaimana kisah sebenarnya terkait kematian Bu Mira. Dari situlah titik terang terlihat tentang siapa sosok pengirim santet yang sesungguhnya.

"Ratu Ilmu Hitam" (2019) jelas bukan film yang buruk, tapi bukan juga film istimewa. Seandainya digarap oleh Joko Anwar sendiri pun, menurutku masih saja ada yang berlubang. Menonton film ini aku seperti disuguhi barang lama dengan bungkus/kemasan baru. Tak ada sesuatu yang menyegarkan setelah keluar dari ruang teater; yang ada hanya kesan biasa saja dan kurasa tak lama setelah menonton, aku bakal segera melupakan film ini, bahkan mungkin termasuk bagian terbaiknya.

Secara keseluruhan, "Ratu Ilmu Hitam" hanya mampu memancingku memberi skor 5 dari 10. Itu lebih dari cukup; kalau tidak ada scene pemenggalan si tukang santet yang menurutku bisa jadi semacam icon seperti "Ibu" di "Pengabdi Setan" (2017) dengan dialognya yang juga ngena: "Lancang!", kurasa film ini cuma kuberi skor 3 dari 10.

Yang membenci "Perempuan Tanah Jahanam" (2019), barangkali tak perlu berharap lebih pada film ini, kecuali kalau kamu jarang nonton film-film sarat adegan gore.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri