Skip to main content

[Review Film]: Pesona Arini sang Ratu PHP

Judul: Love for Sale 2
Genre: Drama, comedy
Sutradara: Andibachtiar Yusuf
Skenario: Mohammad Irfan Ramly, Andibachtiar Yusuf
Pemeran: Della Dartyan, Adipati Dolken, Ratna Riantiarno, Ariyo Wahab, Bastian Steel, Putri Ayudya, Taskya Namya, Egy Fedly
Negara: Indonesia
Tahun rilis: 2019

"Love for Sale 2" (2019) adalah gambaran total kehidupan seorang single bahagia yang didesak untuk segera menikah di negeri ini. Menurutku ini lebih baik dari film pertamanya, meski antara kedua film ini mempunyai dua jalan cerita yang tak saling berkaitan. 

"Love for Sale 2" (2019) mengisahkan Ican, seorang pria single yang lama melajang dan tak kunjung menikah di usaianya yang sudah kepala tiga, sehingga terus didesak oleh keluarganya agar segera berumah tangga. Desakan paling pantang menyerah tentu saja dari ibunya sendiri.


Ican adalah anak kedua dari tiga bersaudara; hanya dia satu-satunya yang belum menikah. Di tengah kegelisahan sang ibu lantaran ia tak juga bertemu jodohnya, rumah tangga kedua saudaranya yang terlihat kurang berjalan mulus agaknya membuat Ican masih menikmati kehidupannya yang sendiri.

Sang ibu mencoba memperkenalkannya dengan para gadis di berbagai kesempatan, tapi selalu saja gagal. Sebuah peristiwa lantas membuat Ican merasa harus berbuat sesuatu untuk meredam kegelisahan ibunya. 

Dengan aplikasi Love Inc, Ican mencoba mengelabui keluarganya tentang pacar yang selama ini tak pernah ia miliki. Dari aplikasi itu, ia bisa mendapatkan pacar bayaran yang profesional, yang mengikuti berbagai skenario dan syarat tertentu yang Ican inginkan agar keluarganya tak curiga.

Maka, suatu malam, datanglah Arini Chaniago, sesosok pacar "bayaran" yang mengaku pernah dekat dengan Ican semasa kuliah dulu. Tak disangka, gadis itu berhasil merebut hati sang ibu. Di satu sisi, Ican sendiri malah mulai menyukai Arini. Dalam kondisi demikian, keadaan rumah jadi lebih adem; hubungan ibu Ican dengan saudara iparnya (istri dari sang kakak) membaik dengan ajaib. Sayangnya, Arini bukanlah kekasih nyata. Arini hanyalah sesosok pacar yang datang dengan perjanjian kontrak sejauh 40 hari.

Ibu yang telanjur jatuh hati pada wanita yang kemungkinan dia pikir bakal menjadi menantunya itu jelas mengenalkan Arini pada siapa saja dengan begitu bangganya tanpa tahu ia sedang terlibat dalam sandiwara yang seharusnya tak perlu Ican mulai.

"Love for Sale 2" (2019) memberikan kita drama keluarga yang manis, sekaligus tontonan kisah asmara yang tragis. Betapa tidak tragis? Ketulusan dan cinta yang Arini tebarkan pada keluarga Ican justru adalah racun, sebab tak bersifat nyata. Kepahitan yang terulang seperti di film pertama, membuat saya sempat mengumpat dalam hati pada pemilik ide cerita kedua film ini. Bagaimana mungkin Arini mengaku melakoni pekerjaan ini demi membuat orang lain bahagia, sementara ia sendiri tahu, kepergiannya setelah kontrak berakhir bisa membuat hidup orang lain jadi hancur?

Tapi, meski membenci karakter Arini, tak bisa kumungkiri, aku menyukai Love for Sale 2. Barangkali persoalan single yang didesak untuk segera kawin hanya akan bisa diresapi oleh mereka yang mengalami (bukan mereka yang sudah nikah muda atau cepat dapat jodoh). Barangkali karena itulah aku menyukainya. Perkara jodoh jelas hanya Tuhan yang tahu. Manusia bisa berusaha, tapi hasil akhir ada di luar kuasa manusia.

Love for Sale 2 (2019) layak mendapat skor 8.5 dari 10 untuk plot cerita yang rapi, penokohan yang baik dan tentu saja ending yang menyebalkan; saya yakin para pemilik cerita ini bakal membuat film lanjutannya, dengan atau tanpa Ican dan Richard sebagai dua korban pertama ratu PHP, Arini Kusuma.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri