Skip to main content

[Review Film]: "The Nightshifter dan Eksekusi yang Kurang Maksimal"


Judul: The Nightshifter (Morto Não Fala)
Genre: Horror, mystery
Sutradara: Dennison Ramalho
Skenario: Cláudia Jouvin, Dennison Ramalho, Marco de Castro
Pemeran: Daniel de Oliveira, Fabiula Nascimento, Bianca Comparato, Marcos Kligman, Annalara Prates, Marco Ricca
Negara: Brazil
Tahun rilis: 2019

"The Nightshifter" atau "Morto Não Fala" (2019) mengisahkan Stênio, seorang petugas malam di sebuah kamar mayat, yang memiliki kemampuan berbicara dengan orang-orang mati. Kemampuan ini tak begitu ia pahami bagaimana mulanya, tetapi ia telah sangat terbiasa berbicara dengan para mayat. Tentu tak seorang pun tahu tentang ini. 

Melihat trailer film ini, dengan premis yang terdengar tak biasa itu, aku merasa "The Nightshifter" mungkin saja layak ditonton. Aku masih bertanya-tanya bagaimana cerita selengkapnya tentang seseorang yang bisa berbicara dengan orang-orang mati ini? Apa latar belakangnya? Keseraman macam apa yang disajikan? Sayangnya, apa yang kuharap tak sesuai dengan kenyataan.

Stênio memiliki istri yang tak pernah menghargainya, dan bahkan cenderung membencinya, meski mereka sudah mempunyai dua orang anak. Sang istri, Odete, senang menghambur-hamburkan uang dan berdandan berlebihan tanpa ia terlihat pernah membantu Stênio bekerja. Suatu kali, tanpa sengaja Stênio melihat istrinya berselingkuh dengan Jaime, lelaki paruh baya yang memiliki sebuah kafe tak jauh dari rumahnya.

Suatu ketika Stênio mendengar cerita dari beberapa mayat tentang permasalahan antar geng pengedar narkoba. Sebuah aturan yang lama ia anut, yakni menyimpan sendiri segala sesuatu yang dibicarakan para mayat kepadanya, ia langgar kali itu demi membalas dendamnya pada Jaime dan Odete. Stênio lantas mendatangi seorang bajingan yang cukup disegani dan menuduh Jaime terlibat dalam kematian seorang anggota geng. Jaime yang malam itu pergi berkencan bersama Odete, ditembak mati. Hal yang sama juga menimpa Odete.

Sampai di sini, jujur saja, film sudah mulai terasa membosankan. Aku jarang mengantuk di bioskop selama ini. Ya, karena biasanya hanya akan pergi nonton film yang benar-benar bagus atau kemungkinan besar bagus menurut standarku. Tapi, kali ini sangat lain. 

Setelah kematian Odete, seperti film-film horor pada umumnya, formula yang dipakai untuk meningkatkan tensi cerita ternyata tak ada yang spesial. Sudah bisa ditebak bahwa hantu Odete menuntut balas pada suaminya dengan berbagai cara. Ya, hanya itu. Tak lebih dari itu, meski penulis skenario dan sutradara berusaha mati-matian mengulur waktu agar durasi film ini terasa cukup memadai untuk disebut sebagai durasi standar film di bioskop.

Memang "rahasia" adalah sesuatu yang penting untuk selalu Stênio pegang mengenai pengetahuan yang ia dapatkan dari "ucapan" para mayat. Dan rahasia yang dimanfaatkan untuk membalas sakit hatinya itu memicu amarah banyak arwah. Kenapa harus Odete saja yang datang membalas dendam? Bagaimana nasib arwah Jaime? Apa yang istimewa dari arwah Odete?

Mengenai cincin Odete yang secara misterius kembali pada Stênio (padahal sudah dikubur bersama jenazahnya saat pemakaman) juga terlalu buram untuk dikaitkan dengan peristiwa keseluruhan. Tentang alasan Stênio dapat berbicara dengan para mayat juga tak diberikan penjelasan yang bisa dipercaya. Penonton hanya dibawa pada kelanjutan cerita yang klise, yang mana Lara (putri dari Jaime) kerap menemui Stênio sejak kematian Jaime dan Odete untuk menjaga kedua anak Stênio. Lara yang tak tahu apa-apa pun juga terpaksa kena imbas dari amarah arwah Odete. Kedua anak mereka bahkan juga terancam nyawanya.

Film ini sebenarnya memiliki embrio yang indah dan memukau. Hanya saja, eksekusinya terlalu buruk dan, mungkin, terburu-buru. Kita bisa melihat contoh yang baik tentang bagaimana proses panjang pembuatan film bisa menghasilkan karya yang memukau dari film "The Evil Within" (2017). Film tersebut mulai diproduksi pada tahun 2002 dan baru rilis pada tahun 2017. Saking panjangnya proses pembuatannya, sebelum film ini benar-benar kelar, sutradara dan seorang aktornya bahkan telah meninggal. Tapi, hasilnya? The Evil Within sukses memukau dengan horor yang ganjil dan tak terlupakan.

Nilai dariku untuk The Nightshifter: 5 dari 10.

Comments

Most Favourable:

Mengirim Cerpen ke Media Massa & Kumpulan Alamat E-mail Cerpen Media se-Indonesia

Banyak pertanyaan tentang bagaimana cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa. Jawabannya tidak sesingkat pertanyaannya. Untuk itulah, kali ini saya sajikan secara lengkap tata cara mengirim tulisan (khususnya cerpen) ke media massa yang selama ini saya terapkan. Selain itu, saya juga akan membagi kumpulan e-mail puluhan media yang ada di Indonesia lengkap dengan syarat dan ketentuan masing-masing. Di bawah ini adalah tata cara mengirim cerpen ke media. Untuk kumpulan alamat e-mail media, bisa kamu download di akhir postingan.

Menahan Mulas di Dalam Kelas

Tiba-tiba kepikiran nulis hal memalukan yang pernah terjadi di hidupku. Yah, bagi kalian, siapa pun yang gak sengaja membaca tulisan ini, di mana pun kalian berada, silakan tertawa sepuasnya, meski nanti yang kutulis belum tentu lucu. Dan setelah puas tertawa, kudoakan semoga kalian terhibur. Apa sih hal memalukan itu? Gak kuat nahan BAB di dalam kelas. Gimana ceritanya bisa begini, mulanya pas sehari sebelum kejadian. Waktu itu aku masih SMP. Ibu beli sekaleng biskuit Nissin rasa kepala, eh, kelapa. Tahu, 'kan? Yang kalengnya warna item , terus biskuitnya berbentuk persegi panjang gepeng? Nih, kukasih gambarnya biar gak susah jelasin .

[Esai]: "Tere Liye yang 'Segala Warna'" karya Ken Hanggara

Sumber gambar: pinimg.com (Dimuat di basabasi.co , 19 November 2015) Dunia literasi menuntut pegiatnya selalu kreatif. Ya, kita tahu banget itu. Tetapi, mengapa kita tak bisa selalu kreatif, ya? Melihat deretan buku di rak toko, mestinya sudah lebih dari cukup mendorong para penulis muda seperti saya untuk (segera) bisa beradaptasi secara kreatif. Pikir punya pikir, saya akhirnya menyadari bahwa fakirnya kreativitas kita disebabkan kita kurang piknik! Mari tanya Tere Liye, kenapa para penulis perlu piknik? Jawabnya akan sangat simpel: dengan piknik, pikiran menjadi segar, pengetahuan bertambah luas, dan dengan sendirinya kreativitas akan selalu berkembang. Setelah membaca novel-novel Tere Liye, saya kian yakin bahwa beliau ini hobi piknik. Tanpa piknik, nama beliau tidak mungkin sebesar kini. Agak sok tahu memang, tapi sudahlah jangan didebat. Apa belum capek juga berdebat-debat setiap saat tentang segala hal, yang sebagiannya jelas hanya membuatmu terlihat sangat luc

[Cerpen]: "Doa Ibu" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Tabloid NOVA edisi 1595/17-23 September 2018)       Sudah dua tahun aku menganggur dan tidak juga dapat pekerjaan. Ibu satu-satunya orang yang bersabar melihatku berusaha. Tapi, aku lebih sering berdiam di kamar dan di depan laptop kutulis beberapa hal menjadi semacam cerita. Aku tidak tahu akan kubawa ke mana tulisan-tulisan itu, tetapi di lubuk hati, kuharap tulisanku terbit sehingga aku mendapat uang agar orang tidak memandangku remeh.     Sebagai perempuan yang tak pernah berpacaran dan punya sedikit teman, aku tidak terlalu bahagia ketika keluar rumah. Ibu sering menyuruhku pergi entah ke mana, jika tidak ada kegiatan berburu pekerjaan di job fair atau hal-hal semacam itu. Biasanya aku hanya mengajak satu teman, atau sendirian, dan di toko buku kuhabiskan setengah hari untuk berkeliling dari rak ke rak dengan membawa rasa sepi yang sesak.     Aku tahu apa yang kulakukan tidak berarti apa-apa. Ijazahku seakan tidak berguna. Melamar kerja ke sana kemari pun tidak dap

[Esai]: "Membangun Budaya Membaca Melalui Tanda Baca" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Radar Surabaya, Minggu, 27 Maret 2016)       Media sosial dewasa ini, terutama Facebook, menumbuhkan bibit-bibit "penulis" baru. Bagaimana tidak begitu? Facebook kini tidak sekadar sebagai sarana update status seputar aktivitas sehari-hari, tetapi juga forum diskusi, fasilitas penampungan berbagai opini, serta tentu saja media untuk promosi bisnis.     Bibit-bibit "penulis" dalam hal ini bukan hanya mereka yang memang berniat ingin menjadi penulis sungguhan (konon, mereka yang menulis dan terbit dalam bentuk buku atau dimuat di media masa, itulah yang disebut sebagai penulis; terlepas dari pro dan kontra pendapat ini), melainkan juga mereka yang ingin sekadar bicara. Dan bagai riuh rendah suara di pasar tradisional, kita menemukan alangkah banyak suara-suara yang tidak berharap jadi tenar dalam upaya publikasi di bidang literasi, namun sekadar berangan ingin didengar.

Review Buku: "Ketabuan di Tengah Penjunjungan Tata Krama"

        Judul buku: Nyai Gowok     Penulis: Budi Sardjono     Kategori: Novel dewasa     Penerbit : Diva Press     ISBN : 978-602-255-601-5     Terbit : Mei 2014     Tebal : 332 halaman         Bagus Sasongko, pemuda belasan tahun, yang ketika itu sudah mulai memasuki masa akil baligh , sedang gundah gulana sebab kejadian yang akhir-akhir ini ia alami. Irawan (kakak kandungnya) beserta Kang Bogang (tukang rawat kuda di rumah ayahnya), belakangan menggodanya tentang keharusan seorang bocah yang beranjak dewasa untuk belajar mengenal seks dan seluk beluk tubuh wanita dewasa.

[Cerpen]: "Surga Pembangkang" karya Ken Hanggara

(Dimuat di Kompas, Minggu, 8 Oktober 2017)       Herman bermain-main di dalam tubuhku. Ia bajak laut dan aku cangkang raksasa. Ia membawa sepuluh prajurit terakhir di hari menjelang kiamat, lalu bersembunyi dalam cangkang—dalam aku—bersama kesepuluh prajuritnya.     "Sekarang kamu putuskan sebaiknya mengusir kami atau tidak. Sebab kalau sudah telanjur sembunyi, sampai sembilan bulan kami tidak keluar," kata Herman padaku.     Aku tidak ingin dia pergi, maka kukatakan terserah pada mereka.     Begitulah, Herman dan sepuluh lelaki gagah perkasa tidur dalam cangkangku pada satu malam. Tubuh mereka hangat dan basah. Aku sesak napas karena tubuhku ini tidak terlalu luas untuk menampung terlalu banyak manusia.     Suatu hari Herman bertanya kenapa aku merenung. Kujawab aku lelah, tetapi tidak sekali-kali membayangkan ingin membuang Herman dari hidupku. "Kau jadi bagianku, aku bagianmu," kataku.     Herman menambahkan betapa kami memang satu, sekalipun sepuluh prajuri